MACAM-MACAM WAHYU

Wahyu, secara bahasa artinya adalah, pemberitahuan secara rahasia nan cepat. Secara syar’i, wahyu berarti pemberitahuan dari Allah kepada para nabiNya dan para rasulNya tentang syari’at atau kitab yang hendak disampaikan kepada mereka, baik dengan perantara atau tanpa perantara. Wahyu secara syar’i ini jelas lebih khusus, dibandingkan dengan makna wahyu secara bahasa, baik ditinjau dari sumbernya, sasarannya maupun isinya.
Ada bermacam-macam wahyu syar’i, dan yang terpenting ialah sebagaimana penjelasan berikut.
Pertama : Taklimullah (Allah Azza wa Jalla berbicara langsung) kepada NabiNya dari belakang hijab. Yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyampaikan apa yang hendak Dia sampaikan, baik dalam keadaan terjaga maupun dalam keadaan tidur.
Sebagai contoh dalam keadaan terjaga, yaitu seperti ketika Allah Azza wa Jalla berbicara langsung dengan Musa Alaihissallam, dan juga dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada peristiwa isra’ dan mi’raj. Allah berfirman tentang nabi Musa :
” …Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung” [an Nisaa`/4 : 164].
Adapun contoh ketika dalam keadaan tidur, yaitu sebagaimana diceritakan dalam hadits dari Ibnu Abbas dan Mu’adz bin Jabal. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَتَانِي رَبِّي فِي أَحْسَنِ صُورَةٍ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ قُلْتُ لَبَّيْكَ رَبِّ وَسَعْدَيْكَ قَالَ فِيمَ يَخْتَصِمُ الْمَلَأُ الْأَعْلَى قُلْتُ رَبِّ لَا أَدْرِي فَوَضَعَ يَدَهُ بَيْنَ كَتِفَيَّ فَوَجَدْتُ بَرْدَهَا بَيْنَ ثَدْيَيَّ فَعَلِمْتُ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ فَقُلْتُ لَبَّيْكَ رَبِّ وَسَعْدَيْكَ قَالَ فِيمَ يَخْتَصِمُ الْمَلَأُ الْأَعْلَى قُلْتُ
“Aku didatangi (dalam mimpi) oleh Rabb-ku dalam bentuk terbaik, lalu Dia berfirman : “Wahai, Muhammad!”
Aku menjawab,”Labbaik wa sa’daika.”
Dia berfirman,”Apa yang diperdebatkan oleh para malaikat itu?”
Aku menjawab,”Wahai, Rabb-ku, aku tidak tahu,” lalu Dia meletakkan tanganNya di kedua pundakku, sampai aku merasakan dingin di dadaku. Kemudian, aku dapat mengetahui semua yang ada di antara timur dan barat.
Allah Azza wa Jalla berfirman,”Wahai, Muhammad!”
Aku menjawab,”Labbaik wa sa’daika!”
Dia berfirman,”Apa yang diperdebatkan oleh para malaikat itu?”
Aku menjawab,”………”. (Al hadits).
Dalam hal wahyu ini, para ulama salaf, Ahli Sunnah wal Jama’ah memegangi pendapat, bahwa Nabi Musa Alaihissallam dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keduanya pernah mendengar kalamullah al azaliy al qadim [1], yang merupakan salah satu sifat di antara sifat-sifat Allah. Pendapat ini sangat berbeda dan tidak seperti yang dikatakan oleh sebagian orang, bahwa yang terdengar adalah bisikan hati atau suara yang diciptakan oleh Allah Azza wa Jalla pada sebatang pohon.
Kedua : Allah Azza wa Jalla menyampaikan risalahNya melalui perantaraan Malaikat Jibril, dan ini meliputi beberapa cara, yaitu :
1). Malaikat Jibril menampakkan diri dalam wujud aslinya. Cara seperti ini sangat jarang terjadi, dan hanya terjadi dua kali. Pertama, saat Malaikat Jibril mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah masa vakum dari wahyu, yaitu setelah Surat al ‘Alaq diturunkan, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menerima wahyu beberapa saat. Masa ini disebut masa fatrah, artinya kevakuman. Kedua, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Malaikat Jibril dalam wujud aslinya, yaitu saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dimi’rajkan.
2) Malaikat Jibril Alaihissallam terkadang datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam wujud seorang lelaki. Biasanya dalam wujud seorang lelaki yang bernama Dihyah al Kalbiy. Dia adalah seorang sahabat yang tampan rupawan. Atau terkadang dalam wujud seorang lelaki yang sama sekali tidak dikenal oleh para sahabat. Dalam penyampaian wahyu seperti ini, semua sahabat yang hadir dapat melihatnya dan mendengar perkataannya, akan tetapi mereka tidak mengetahui hakikat permasalahan ini. Sebagaimana diceritakan dalam hadits Jibril yang masyhur, yaitu berisi pertanyaan tentang iman, Islam dan ihsan. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Di awal hadits ini, ‘Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu menceritakan :
بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعَرِ لَا يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلَا يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Pada suatu saat, kami sedang duduk bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba muncul seorang lelaki yang berpakaian sangat putih, sangat hitam rambutnya, tidak terlihat tanda-tanda melakukan perjalanan jauh, dan tidak tidak ada seorangpun di antara kami yang mengenalnya, sampai dia duduk di dekat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Kemudian di akhirnya, yaitu sesaat setelah orang itu pergi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Umar Radhiyallahu ‘anhu :
يَا عُمَرُ أَتَدْرِي مَنْ السَّائِلُ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِينَكُمْ
“Wahai, ‘Umar. Tahukah engkau, siapakah orang yang bertanya tadi?” Aku menjawab,”Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui,” (kemudian) Rasulullah bersabda,”Dia itu adalah Malaikat Jibril datang kepada kalian untuk mengajarkan kepada kalian din (agama) kalian.”

Ini menunjukkan, meskipun para sahabat dapat melihatnya dan bisa mendengar suaranya, namun mereka tidak mengetahui jika dia adalah Malaikat Jibril yang datang membawa wahyu. Mereka mengerti setelah diberitahu oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

3).  Malaikat Jibril mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun ia tidak terlihat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui kedatangan Malaikat Jibril dengan suara yang mengirinya. Terkadang seperti suara lonceng, dan terkadang seperti dengung lebah. Inilah yang terberat bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga dilukiskan saat menerima wahyu seperti ini, wajah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berubah. Meski pada cuaca yang sangat dingin, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bermandikan keringat, dan pada saat itu bobot fisik Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berubah secara mendadak.

Sebagaimana diceritakan oleh salah seorang sahabat, yaitu Zaid bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata : “Allah Azza wa Jalla menurunkan wahyu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara itu paha beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berada di atas pahaku. Lalu paha beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi berat, sampai aku khawatir pahaku akan hancur”.[2]

Beratnya menerima wahyu dengan cara seperti ini, juga diceritakan sendiri oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa ass ditanya :

يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يَأْتِيكَ الْوَحْيُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْيَانًا يَأْتِينِي مِثْلَ صَلْصَلَةِ الْجَرَسِ وَهُوَ أَشَدُّهُ عَلَيَّ فَيُفْصَمُ عَنِّي وَقَدْ وَعَيْتُ عَنْهُ مَا قَالَ وَأَحْيَانًا يَتَمَثَّلُ لِي الْمَلَكُ رَجُلًا فَيُكَلِّمُنِي فَأَعِي مَا يَقُولُ
“Wahai, Rasulullah. Bagaimanakah cara wahyu sampai kepadamu?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Terkadang wahyu itu datang kepadaku seperti suara lonceng, dan inilah yang terberat bagiku, dan aku memperhatikan apa dia katakan. Dan terkadang seorang malaikat mendatangi dengan berwujud seorang lelaki, lalu dia menyampaikannya kepadaku, maka akupun memperhatikan apa yang dia ucapkan.”

Berdasarkan riwayat dan penjelasan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, maka dapat dipahami bahwa saat menerima semua wahyu, Rasulullah merasa berat. Namun, yang paling berat ialah cara yang semacam ini.

4) Wahyu disampaikan dengan cara dibisikkan ke dalam kalbu.
Yaitu Allah Azza wa Jalla atau Malaikat Jibril meletakkan wahyu yang hendak disampaikan ke dalam kalbu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam disertai pemberitahuan bahwa, ini merupakan dari Allah Azza wa Jalla. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam kitab al Qana’ah, dan Ibnu Majah, serta al Hakim dalam al Mustadrak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ رُوْحَ الْقُدُسِ نَفَثَ فِي رُوْعِي : لَنْ تَمُوْتَ نَفْسٌ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رِزْقَهَا فَاتَّقُوْا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ وَلاَ يَحْمِلَنَّ أَحَدَكُمْ اسْتِبْطَاءُ الرِّزْقِ أَنْ يَطْلُبَهُ بِمَعْصِيَةِ اللهِ فَإِنَّ اللهَ لاَ يُنَالُ مَاعِنْدَهُ إِلاَّ بِطَاعَتِهِ

“Sesungguhnya Ruhul Quds (Malaikat Jibril) meniupkan ke dalam kalbuku : “Tidak akan ada jiwa yang mati sampai Allah Azza wa Jalla menyempurnakan rizkinya. Maka hendaklah kalian bertakwa kepada Allah, dan carilah rizki dengan cara yang baik. Janganlah keterlambatan rizki membuat salah seorang di antara kalian mencarinya dengan cara bermaksiat kepada Allah. Sesungguhnya apa yang di sisi Allah Azza wa Jalla tidak akan bisa diraih, kecuali dengan mentaatiNya”.

Keempat :  Wahyu diberikan Allah Azza wa Jalla dalam bentuk ilham.Yaitu Allah memberikan ilmu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, saat beliau berijtihad pada suatu masalah.

Kelima :      Wahyu diturunkan melalui mimpi. Yaitu Allah Azza wa Jalla terkadang memberikan wahyu kepada para nabiNya dengan perantaraan mimpi. Sebagai contoh, yaitu wahyu yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim Alaihissalllam agar menyembelih anaknya. Peristiwa ini diceritakan oleh Allah Azza wa Jalla: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. [ash Shaffat/37 : 102].

Demikian cara-cara penerimaan wahyu Allah Azza wa Jalla yang diberikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semua jenis wahyu ini dibarengi dengan keyakinan dari si penerima wahyu, bahwa apa yang diterima tersebut benar-benar datang dari Allah Azza wa Jalla, bukan bisikan jiwa, apalagi tipu daya setan.

[Diangkat dari as-Siratun Nabawiyah fi Dau-il Qur'an was Sunnah, Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, hlm. 269-271]

FN:
[1]. Kalamullah secara hakiki
[2]. Shahih Bukhari

MAKNA WAZAN تفعّل, تفاعل, افعلّ, استفعل, FI’IL JAMID DAN MUTASHARRIF


A.           TAFA’_‘ALA ( تَفَعَّلَ )
Memiliki 7 makna, yaitu
1.              مُطَاوَعَة dari fi’il wazan fa’-‘ala yang bermakna taktsir.
Contoh: كَسَّرْتُ الزُّجَاجَ, فَتَكَسَّرَ ( saya memecah-mecah kaca, maka jadi pecah-pecahlah)
2.              Takalluf, maksudnya pelaku berusaha lebih untuk menampakkan sesuatu dari dalam dirinya.
Contoh: تَشَجَّأَ زَيْدٌ (zaid memberanikan diri)
3.              Fa’il mengambil asal fi’il dari maf’ul
Contoh: تَبَنَّيْتُ يُوْسُفَ ( Saya mengambil anak [mengadopsi] yusuf)
4.              Menunjukan menghindari suatu pekerjaan.
Contoh: تَذَمَّمَ زَيْدٌ (zaid manghindari perbuatan tercela)
5.              Menunjukkan makna “(berubah) menjadi”
Contoh: تَأَيَّمَتِ اْلمَرْأَةُ (perempuan itu menjadi janda)
6.              Menunjukkan hasil suatu pekerjaan secara berangsur-angsur
Contoh: تَفَهَّمَ زَيْدٌ ( zaid faham sedikit demi sedikit)
7.              Menuntut atau meminta sutau hasil pekerjaan.
Contoh: تَبَيَّنَ زَيْدٌ عَمْرًو ( zaid meminta penjelasan terhadap ‘amr)

B.           TAFAA_’ALA ( تَفَاعَلَ )
1.              Saling (masing-masing fail bisa jadi maful)
Contoh: تَضَارَبَ زَيْدٌ وَ عَمْرٌو (Zaid dan ‘Amr saling memukul)
2.              Menunjukkan  arti pura-pura.
Contoh: تَمَارَضَ زَيْدٌ (Zaid berpura-pura sakit)
3.              Terjadinya pekerjaan secara bertahap
Contoh: تَوَارَدَ اْلقَوْمُ (Kaum itu datang secara berangsur-angsur)
4.              Menjadi Muthaw’ahnya wazan Faa’ala,
Contoh: بَاعَدْتُهُ, فَتَبَاعَدَ  ( Saya menjauhkannya, maka jadilah jauh)

C.           IF’ALLA ( افْعَلَّ )
1.              Masuknya fa’il pada suatu sifat..
Contoh: احْمَرَّ اْلبُسْرُ (buah kurma itu memerah)
2.              Penekanan terhadap sifat yang dimiliki fa’il
Contoh: اسْوَدَّ الَّيْلُ (malam ini sangat pekat)

D.          ISTAF’ALA ( اسْتَفْعَلَ )
  1. Fa’il meminta maf’ul melakukan suatu pekerjaan.
Contoh: أَسْتَغْفِرُ اللهَ (saya memohon ampun kepada Allah) berarti saya meminta Allah mengampuni saya.
  1. Menemukan suatu sifat yang dimiliki oleh maf’ul.
Contoh: اسْتَعْظَمْتُ مُحَمَّدًا (saya menemukan keagungan dari diri muhammad)
  1. Perubahan keadaan fa’il kepada asal fi’il.
Contoh: اسْتَحْجَرَ الطِّيْنُ ( tanah ini membatu)
  1. Takalluf, maksudnya pelaku berusaha lebih untuk menampakkan sesuatu dari dalam dirinya.
Contoh: اسْتَجْرَأَ مُحَمَّدٌ ( Muhammad memberanikan diri)
  1. Makna فَعَلَ Mujarrod
Contoh: اسْتَقْرَأَ bermakna قَرَّ (tetap)
  1. Menjadi Muthaw’ahnya wazan فَاعَلَ dan أَفْعَلَ.
Contoh: أَحْكَمْتُهُ, فَسْتَحْكَمَ (saya telah mengukuhkannya, maka jadilah  kukuh.)

E.      FI’IL  JAMID (STATIS)
Fi’il Jamid Adalah Kalimah Fi’il yang hanya mempunyai satu bentuk Shighah. Baik hanya berbentuk Fi’il Madhi saja. atau hanya berbentuk Fi’il Amar saja. Atau ada hanya berbentuk Fi’il Mudhari’  saja tapi jarang.

Contoh Fi’il Jamid yang hanya mempunyai bentuk Fi’il Madhi saja:
FI’IL MADHI JAMID
TERJEMAH
CONTOH
عَسَى
Mengharap
عَسَى اللَّهُ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ
mudah-mudahan Allah memaafkan mereka
لَيْسَ
Meniadakan
وَأَنَّ اللَّهَ لَيْسَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ
Dan sesungguhnya Allah sekali-kali bukanlah penganiaya hamba-hamba-Nya
بِئْسَ
Celaan, Kecaman
بِئْسَ الرَّجُلُ أبُو لَهَبَ
Seburuk-buruknya lelaki adalah Abu Lahab
نِعْمَ
Pujian, Sanjungan
نِعْمَ الرَّجُلُ أبُو بَكْرٍ
Sebaik-baiknya lelaki adalah Abu Bakar
تَبَارَكَ
Maha Suci
تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam


Contoh Fi’il Jamid yang hanya mempunyai bentuk Fi’il Amar saja:
FI’IL AMAR JAMID
TERJEMAH
CONTOH
تَعَلَّمْ
Percayalah!
تَعَلَّمْ أَنّ الرِّبَا بَلاَءٌ
Percayalah! Sesungguhnya Riba itu membawa petaka
هَبْ
Anggaplah!
فَقُلْتُ أَجِرْنِي أَبَا خَالِدٍ × وَإِلاَّ فَهَبْنِي امْرَأً هَالِكًا
Aku Cuma bisa berkata… pertahankanlah aku wahai Abu Khalid…atau jika tidak… maka anggaplah aku seorang yang telah binasa
تَعَالَ
Kemari!, Yuk!
هَيَّا زَيْد تَعَالَ
Hai Zaid…Kemarilah!
هَاتِ
Bawalah kemari!, Tunjukkanlah!
قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Katakanlah: Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.”

Contoh Fi’il Jamid yang hanya mempunyai bentuk Fi’il Mudhari’ saja:
FI’IL MUDHARI’ JAMID
TERJEMAH
يَهْبِطُ
Memekik, mengerang, berteriak karena takut.

F.      FI’IL MUTASHARRIF (ELASTIS)

Fi’il Mutasharrif adalah kalimah fi’il yang dapat berubah bentuknya sesuai tashrif ishtilahiy. Fi’il Mutasharrif terbagi dua:
 1. Tam Tasharruf (تام التصرّف)"sempurna dalam mutasharrif-nya”
Fi’il Tam Tasharruf adalah kalimah fi’il Mutasharrif yang tersedia dalam tiga bentuk Fi’il Tiga Serangkai (Fi’il Madhi, Fi’il Mudhari’ dan Fi’il Amar) seperti نصر dan دحرج.

FI’IL AMAR
FI’IL MUDHARI’
FI’IL MADHI
اُنْصُرْ!
يَنْصُرُ
نَصَرَ
دَحْرِجْ!
يُدَحْرِجُ
دَحْرَجَ


2. Naqis Tasharruf (ناقص التصرّف) “cacat dalam mutasharrif-nya”
Fi’il Naqis Tasharruf adalah kalimah fi’il Mutasharrif yang tidak tersedia untuk semua bentuk Fi’il Tiga Serangkai. Baik hanya berbentuk Mudhari’ dan Madhi saja, atau Mudhari’ dan Amar saja, Seperti contoh pada table.

FI’IL AMAR
FI’IL MUDHARI’
FI’IL MADHI
×
يَكَادُ
كَادَ
×
يُوْشِكُ
أَوْشَكَ
دَعْ!
يَدَعُ
×
ذَرْ!
يَذَرُ
×

Tadwin al-Hadits

Al-Hadits merupakan sumber hukum utama sesudah al-Qur’an. Keberadaan al-Hadits merupakan realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Quran. Hal ini karena tugas Rasul adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang terkandung dalam risalah yakni al-Quran. Sedangkan al-Hadits pada hakikatnya adalah sebagai penjelas dari ajaran al-Quran itu sendiri.
Meski demikian, keberadaan al-Hadits dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Quran yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah SAW maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan al-Qur'an telah secara resmi dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang dilanjutkan dengan Utsman bin Affan yang merupakan waktu yang relatif dekat dengan masa Rasulullah.
Sementara itu, perhatian terhadap al-Hadits tidaklah demikian, hal itu karena adanya larangan Nabi terhadap penulisan selain al-Qur’an. Upaya kodifikasi al-Hadits secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz salah satu dari khalifah Bani Umayyah yang memerintah antara tahun 99-101 H, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah saw. Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan otentisitas al-Hadits.

  1. Proses Kodifikasi al-Hadits
Proses kodifikasi hadits tidak seperti al-Qur’an dalam arti semua telah ditulis pada masa Nabi masih hidup, hal ini diantaranya karena adanya larangan Nabi untuk menulis selain al-Qur’an karena dikhawatirkan hadits tercampur dengan al-Qur’an, juga karena sebagian besar sahabat mempelajari hadits dari Nabi dengan cara mendengarkan langsung, disamping itu pada waktu itu para sahabat kurang mempunyai kompetensi dalam hal tulis-menulis [1].
Tidak segera munculnya inisiatif pendokumentasian hadits oleh para Khalifah menunjukan betapa efektifnya hadits yang melarang penulisan apa saja selain al-Qur’an, meskipun larangan itu bukanlah harga mati, hal ini dibuktikan dengan adanya hadits yang memperbolehkan penulisan hadits meskipun terhadap orang-orang tertentu, seperti Abu Syah[2] dan Abdullah bin Amr bin Ash.
Banyak dari generasi sahabat atau orang sesudahnya yang mengandalkan daya ingatan dalam meriwayatkan hadits, tetapi ada juga banyak sahabat yang secara perseorangan mempunyai catatan hadits, maka dokumen yang ada hanyalah catatan hadits milik perseorangan, yang tentunya hal tersebut disesuaikan dengan kepentingan masing-masing. Hal ini juga menunjukan bahwa izin penulisan hadits kepada sahabat tertentu juga efektif.
Adanya larangan penulisan al-Hadits ini secara lahir kontradiksi dengan fakta penulisan al-Hadits dan perintah penulisan al-Hadits. Dalam menyikapi kontradiksi tersebut para ulama berbeda pendapat. Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat yaitu[3]:
a.       Hadits pelarangan telah di-nasakh dengan hadits perintah, hal ini didasarkan atas fakta bahwa hadits perintah khususnya hadits Abu Syah disampaikan setelah terjadinya peristiwa Fathu al-Makkah.
b.      Larangan bersifat umum, sedangkan perintah bersifat khusus, yaitu berlaku bagi para sahabat yang yang mempunyai kompetensi dalam hal tulis-menulis, hal ini lebih disebabkan karena kebanyakan sahabat adalah ummi atau kurang mampu dalam hal tulis-menulis sehingga dikhawatirkan terjadi kesalahan penulisan.
c.       Larangan bersifat khusus yaitu menulis al-Hadits bersama dengan al-Quran, karena hal ini lambat laun akan berpotensi menimbulkan kerancuan.
Sebenarnya inisiatif penulisan hadits pernah muncul pada masa kekhalifahan Umar bi Khattab, akan tetapi inisiatif atu gagasan tersebut diurungkan bukan karena takut hadits bercampur dengan al-Qur’an, tetapi lebih dikarenakan suatu kekhawatiran yaitu jikalau terlalu berkonsentrasi pada hadits lambat laun perhatian pada al-Qur’an akan menurun atau bahkan terabaikan.[4]
Para ulama membagi perkembangan hadits itu kepada tujuh periode yaitu :
a.       Masa Nabi.
b.      Masa Sahabat.
c.       Masa Tabi’in
d.      Masa pembukuan hadits (Abad II H ).
e.       Masa penyaringan dan seleksi ketat (Abad III H ) sampai selesai.
f.        Periode Penyempurnaan (Abad-IV H).
g.       Masa Klasifikasi dan Sistemisasi Penyusunan Kitab-kitab Hadits (Abad-V H).
a.       Hadits pada masa Rasul
Pada masa Rasulullah al-Hadits belum ditulis, akan tetapi dihapalkan oleh para sahabat. Para sahabat yang tidak langsung mendengar hadits langsung dari Nabi dikarenakan kesibukan mereka, maka masing-masing dari mereka belajar kepada sahabat yang mendengar langsung, sehingga pada masa ini transmisi hadits hanya melalui media pendengaran dan dihafalkan untuk selanjutnya, hal ini dikarenakan beberapa sebab, yaitu[5] :
1.       Nabi sendiri pernah melarangnya, kecuali bagi sahabat-sahabat tertentu yang diizinkan beliau dan itupun hanya untuk sebatas sebagai catatan pribadi.
2.       Rasulullah  masih berada di tengah-tengah ummat Islam sehingga penulisan diwaktu itu dirasa tidak diperlukan.
3.       sangat sedikit dari kalangan sahabat yang mempunyai kompetensi dalam bidang tulis-menulis.
4.       Ummat Islam sedang dikonsentrasikan kepada Al-Qur'an.
5.       Kesibukan-kesibukan ummat Islam yang luar biasa dalam menghadapi perjuangan da'wah yang sangat penting.
b.       Hadits pada masa Sahabat
Pada masa ini penulisan al-Qur’an telah selesai begitu juga sudah banyaknya sahabat yang menguasai tulis-menulis, sehingga pada masa ini sudah ada sebagian sahabat yang menghimpun hadits meskipun dalam hal ini masih ada perdebatan diantara mereka, sebagian ada yang memperbolehkan seperti Umar, Ali dan Ibnu Abbas, sedangkan sebagian yang lain memilih untuk tetap menjaga hadits dengan cara menghafalkan seperti Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit dan Abu Hurairah.[6]
Diantara yang menulis hadits pada masa ini adalah khalifah Abu Bakar yang mengumpulkan hadits-hadits yang menjelaskan tentang zakat dan shadaqah yang diberikan kepada para penguasa daerah untuk dijadikan pedoman. Juga Abdullah bin Amr bin Ash yang mengumpulkan hadits yang dikemudian hari kumpulan hadist tersebut dikenal denag sebutan Shahifah as- Shadiqah.[7]
c.       Hadits pada masa Tabi’in.
Pada periode ini penulisan hadits belum menunjukkan perkembangan yang signifikan karena para tabi’in masih berbeda pendapat mengenai kebolehan menulis hadits sebagaimana perbedaan pendapat yang terjadi pada masa sahabat, hal ini dapat dimaklumi karena para tabi’in belajar kepada sahabat, dan  tentunya dalam perbedaan pendapat mereka cenderung sama dan mengekor.
diantara  para Tabi’in yang melarang penulisan hadits adalah :
a.       Ubaidah bin Amr as-Salmani (W 72 H)
b.      Ibrahim bin Yazid at-Taimi (W 92 H)
c.       Jabir bin Zaid (W 93 H)
d.      Ibrahim an Nakha’i (W 96 H)
d.       Masa pembukuan hadits (akhir abad ke I - abad ke-II)
Proses pembukuan hadits secara resmi atau yang lebih populer dengan istilah Tadwin baru dilakukan atas instruksi Khalifah Umar bin Abd al-Aziz (memerintah tahun 99-101 H). Beliau merasakan adanya kebutuhan yang sangat mendesak untuk memelihara perbendaraan Hadits. Untuk itulah beliau mengeluarkan surat perintah ke seluruh wilayah kekuasaannya agar setiap orang yang hafal Hadits menuliskan dan membukukannya tanpa adanya seleksi supaya tidak ada Hadits yang akan hilang pada masa sesudahnya.
Ulama besar yang diperintah melakukan tugas adalah Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm (w. 117 H) untuk mengumpulkan hadits-hadits yang ada pada ‘Amrah binti Abd al-Rahman bin Saad bin Zahrah al- Anshariyah (21- 98 H) dan al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Shiddiq (37- 107 H).[8]
Abu Naim menuliskan dalam bukunya Tarikh Isbahan bahwa Khalifah Umar bin Abd al-Aziz mengirimkan pesan  kepada Ibnu Hazm “perhatikan hadits Nabi dan Kumpulkan”. Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Umar bin Abd al-Aziz mengirim surat kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm sebagai berikut: “Perhatikanlah apa yang ada pada hadits-hadits Rasulullah saw, dan tulislah, karena aku khawatir akan terhapusnya ilmu sejalan dengan hilangnya ulama, dan janganlah engkau terima selain hadits Nabi saw”.[9]
 Usaha pengumpulan al-Hadits, khususnya yang terjadi di Madinah ini belum sempat dilakukan secara lengkap oleh Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm, dan akhirnya usaha ini diteruskan oleh Imam Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri (w. 124) yang terkenal dengan sebutan Ibnu Syihab al-Zuhri. Beliaulah ahli Hadits yang paling menonjol di zamannya. Atas dasar ini Umar bin Abd al-Aziz pun memerintahkan kepada anak buahnya untuk menemui beliau. Dari sini jelaslah bahwa Tadwin al-Hadits bukanlah semata-mata taktib al-Hadits (penulisan al-Hadits).
Setelah kedua tokoh ini maka mulailah banyak yang mengikuti mereka seperti Ibnu Juraij (150-H) di makkah; Imam Malik (93-179H), Ibnu Ishaq (151-H) dan Muhammad bin Abdurrohman bin Abi Di’bu (pengarang Muwatha’ tandingan) di Madinah, Khalid bi Jamil al-Abd dan Ma'mar (95-153 H) di Yaman, Al-Auza'i (88-156-H) di Syam, Abu Arubah (156-H) dan Hammad bin Salamah (176-H) di Basrah, Sufyan ats-Tsauri (97-161-H) di Kufah, Abdullah bin Mubarak (118-181H) di Khurasan, Husyaim bin Basyir (104-183-H) di Wasith, Jarir bin abdul Hamid (110-188H) di Ray serta Abdullah bin Wahab (125-197 H) di Mesir. Mereka tidak hanya menulis hadits-hadits nabi SAW saja, tetapi juga atsar para sahabat dan tabi'in[10].
Kitab-kitab hadits yang masyhur di masa itu adalah :
a.       Mushannaf oleh Syu'bah bin al-Hajjaj (160-H)
b.      Mushannaf oleh Al-Laits bin Sa'ad (175-H)
c.       Al-Muwaththa' oleh Malik bin Anas al-Madani, Imam Darul Hijrah (179-H).
d.      Mushannaf oleh Sufyan bin Uyainah (198-H)
e.       Al-Musnad oleh asy-Syafi'i (204-H)
f.        Jami al-Imam oleh Abdurrazzaq bin Hammam ash-Shan'ani (211-H)
Pada masa tadwin ini penulisan hadits belum tersistematika sebagaimana kitab-kitab Hadits yang ada saat ini tetapi tidak lebih  hanya sekadar dihimpun dalam bentuk kitab-kitab jami’ dan mushannaf. Demikian juga belum terklasifikasikannya Hadits atas dasar shahih dan tidaknya. Barulah pada periode sesudahnya muncul kitab Hadits yang disusun berdasarkan bab-bab tertentu, juga kitab hadits yang memuat hanya hadits-hadits shahih saja. Pada periode-periode akhir ini pengembangan ilmu jarh wa tadil telah semakin mantap dengan tampilnya Muhammad bin Ismail al-Bukhari.
e.       Masa penyaringan dan seleksi ketat (abad III H ) sampai selesai.
Pada awal abad ini penulisan hadits belum dibedakan antara yang sahih dan Dhaif dan masih bercampur dengan fatwa para sahabat atau tabi’in, kemudian pada pertengahan abad-III ini para ulama membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat hadits shahih. Sehingga muncul ide-ide untuk mengumpulkan yang shahih-shahih saja yang dipelopori oleh Imam Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Bardizbah al-Bukhari (Imam Bukhari) dengan karyanya Jami'us Shahih dan disusul oleh muridnya Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi (Imam Muslim), sehingga abad ini merupakan era keemasan bagi hadits dengan munculnya para ahli hadits terkemuka dan disusunnya kutubus-sittah (6 kumpulan hadits) yang memuat hampir seluruh hadits-hadits yang shahih.
Diantara kitab-kitab hadits yang sudah tersusun waktu itu adalah[11] :
a.       Mushannaf Said bin Manshur (227-H)
b.       Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (156-239H)
c.       Musnad Imam Ahmad bin Hanbal (164-241H)
d.       Shahih al-Bukhari (194-256-H)
e.       Shahih Muslim (204-261-H)
f.         Sunan Abu Daud (202-275-H)
g.       Sunan Ibnu Majah (207-273-H)
h.       Sunan At-Tirmidzi (215-H)
i.         Sunan An-Nasa'i (215-303-H)
j.         Al-Muntaqa fil Ahkam Ibnu Jarud (307-H)
k.       Tahdzibul Atsar Ibnu Jarir at-Thabari (310-H)
f. Periode Penyempurnaan (Abad-IV H)
Pada periode ini para ulama berusaha menyempurnakan apa yang tidak terdapat pada masa sebelumnya dan berusaha menambahkan, mengkritik dan men-syarah-nya (memberikan ulasan tentang isi hadits-hadits tersebut), karena pada masa sebelumnya seolah-olah kajian tentang hadits telah final.
Kitab-kitab hadits yang populer pada abad ini diantaranya adalah :
a.       Shahih Ibnu Khuzaimah (311-H)
b.       Shahih Abu Awwanah (316-H)
c.       Shahih Ibnu Hibban (354-H)
d.       Al-Muntaqa tulisan dari Qasim bin Ashbag salah satu ahli hadits berkebangsaan Andalusia (Spanyol) (340-H)
e.       Sunan Daraquthni (385-H)
f.         Mustadrak Imam Abi Abdillah al Hakim (405-H).
g.       Periode Klasifikasi dan Sistemisasi Penyusunan Kitab-kitab Hadits (Abad-V dan seterusnya ).
Penulisan hadits pada periode ini mengacu kepada klasifikasi hadits, mengumpulkan kandungan-kandungan dan tema-tema hadits yang sama. Disamping itu juga men-syarahi (memberi semacam komentar atau ulasan) kepada hal-hal yang gharib dan musykil, men-takhrij hadits-hadits yang berada pada kitab-kitab fiqih atau tafsir dan meringkas kitab-kitab hadits sebelumnya, sehingga muncullah berbagai kitab-kitab hadits yang membahas hukum, seperti[12]:
a.       Sunan al-Kubra, al-Baihaqi (384-458 H).
b.      Muntaqal Akhbar, Majduddin al-Harrani (652-H).
c.       Bulughul Maram min Adillati al-Ahkam, Ibnu Hajar al-Asqalani (852-H).
Dan berbagai kitab targhib wa tarhib (kitab yang berisi berbagai hal untuk menggemarkan dalam beribadah dan mengancam bagi yang lalai), seperti :
a.       At-Targhib wa Tarhib, Imam al-Mundziri (656-H).
b.      Riyadhus Shalihin, oleh Imam Nawawi (767-H).
  1. Sistematika penyusunan kitab-kitab hadits
Dalam penyusunan kitab-kitab hadits para ulama menempuh cara-cara antara lain[13] :
a.       Penyusunan berdasarkan bab-bab fiqhiyah[14], mengumpulkan hadits-hadits yang berhubungan dengan shalat umpamanya dalam bab salat, hadits-hadits yang berhubungan dengan masalah wudhu dalam bab wudhu dan sebagainyaa artinya penulisan hadist lebih bersifat tematik (maudhu’i). Cara ini terbagi menjadi dua macam :
a.        Dengan mengkhususkan hadits-hadits yang shahih saja, seperti yang ditempuh oleh Imam Bukhari dan Muslim.
b.       Dengan tidak mengkhususkan hadits-hadits yang shahih (asal tidak munkar), seperti yang ditempuh oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i, dan sebagainya.
b.      Penyusunan berdasarkan nama sahabat-sahabat yang meriwayatkannya. Cara ini terbagi empat macam, yaitu:
a.       Dengan menyusun nama-nama sahabat berdasarkan abjad.
b.       Dengan menyusun nama-nama sahabat berdasarkan nama qabilah. Mereka lebih mendahulukan Banu Hasyim, kemudian qabilah yang terdekat dengan Rasulullah.
c.       Dengan menyusun nama-nama sahabat berdasarkan kronologi masuknya Islam. Mereka mendahulukan sahabat-sahabat yang termasuk assabiqunal awwalun kemudian ahlul Badr, kemudian ahlul Hudaibiyah, kemudian yang turut hijrah dan seterusnya.
d.       Dengan menyusun sebagaimana ketiga dan dibagi-bagi berdasarkan awamir, nawahi, ikhbar, ibadat, dan af'alun Nabi. Seperti yang ditempuh oleh Ibnu Hibban dalam shahih-nya.
c.       Penyusunan berdasarkan abjad-abjad huruf dari awal matan hadits, seperti yang ditempuh oleh Abu Mansur Abdailani dalam Musnadul Firdausi dan oleh as-Suyuti dalam Jamiush-Shagir.
  1. Tingkatan Kitab Hadits
Menurut penyelidikan para ulama ahli hadits secara garis besar tingkatan kitab-kitab hadits tersebut bisa dibagi sebagai berikut :
a.       Kitab Hadits ash-Shahih yaitu kitab-kitab hadits yang telah diusahakan para penulisnya untuk hanya menghimpun hadits-hadits yang shahih.
b.       Kitab-kitab Sunan yaitu kitab-kitab hadits yang tidak sampai kepada derajat munkar. Walaupun mereka memasukkan juga hadits-hadits yang dha'if (yang tidak sampai kepada munkar). Dan sebagian mereka menjelaskan ke-dha'ifan-nya.
c.       Kitab-kitab Musnad yaitu kitab-kitab hadits yang jumlahnya sangat banyak sekali. Para penghimpunnya memasukkan hadits-hadits tersebut tanpa penyaringan yang seksama dan teliti. Oleh karena itu didalamnya bercampur-aduk antara hadits-hadits yang shahih, yang dha'if dan yang lebih rendah lagi tingkatannya. Adapun kitab-kitab lain adalah disejajarkan dengan al-Musnad ini.
d.       Kitab yang ditulis tidak dengan sungguh-sungguh pada abad-abad terakhir, yaitu dari sumber-sumber yang tidak bisa dipertanggung jawabkan, para sufi dan sejarawan yang kurng diakui kredibilitasnya.
Diantara kitab-kitab hadits yang ada, maka Shahih Bukhari-lah kitab hadits yang terbaik dan menjadi sumber kedua setelah al-Qur'an, dan kemudian menyusul Shahih Muslim. Ada para ulama hadits yang meneliti  kitab Muslim lebih baik daripada Bukhari, tetapi ternyata kurang dapat dipertanggungjawabkan, walaupun dalam cara penyusunan hadits-hadits, kitab Muslim lebih baik daripada Bukhari, sedang syarat-syarat hadits yang digunakan Bukhari ternyata tetap lebih ketat dan lebih teliti daripada apa yang ditempuh Muslim. Seperti tentang syarat yang diharuskan Bukhari berupa keharusan kenal baik antara seorang penerima dan penyampai hadits, dimana bagi Muslim hanya cukup dengan muttashil (bersambung) saja[15].
  1. Tipologi Kitab-kitab Hadits
Tipologi penulisan hadits berawal pada bentuk sahifah (lembaran-lembaran) seperti sahifah Ali bin Abu Thalib, Abdullah bin Amr bin Ash dan lain sebagainya yang kemudian seiring dengan perkembangan penulisan hadits sehingga bentuk penulisan hadits menjadi berbagai macam, yaitu[16] :
1.      Al Jami’ yaitu kitab koleksi hadits yang memuat materi pokok hadits meliputi aqidah, hukum, akhlak, tafsir sejarah dan lain sebagainya, seperti Karya al Bukhori.
2.      Musnad yaitu kitab hadits yang penulisannya berdasarkan urutan nasab,  nama periwayat dan senioritas keislaman perawi, seperti Musnad Imam Ahmad bin Hanbal (164-241H), Musnad Imam Syafi’I  dan lain sebagainya.
3.      Sunan yaitu kitab susnannya fokus kepada hadits Marfu’ (hadits yang disandarkan kepada Nabi) seperti ashabus sunan yaitu Abu Dawud, Nasai, Turmudzi, Ibnu Majah dan lain sebagainya.
4.      Mustadrak yaitu kitab yang memuat hadits-hadits shahih yang tidak ditulis pada kitab standart sebelumnya. Seperti Mustadrak Imam Hakim an Naisaburi yang mengacu pada standarisasi shahih versi Imam Bukhori dan Abu Dzar Al Anshari yang mengacu pada Imam Muslim.
5.      Mustakhraj yaitu kitab yang mengeluarkan hadits berdasrkan sanad untuk dirinya sendiri, yang memungkinkan bergabung bersama seorang guru atau orang lain yang lebih senior seperti Mustakhraj Abu Bakar Isma’il terhadap al Bukhori.
6.      Takhrij yaitu kitab yang meneliti terhadap derajat suatu hadits, yang tertulis dalam kitab-kitab fiqh, tafsir dan lain sebagainya, serta memberikan komentar, kritik dari para  Ahli Tarjih, seperti karya Ibnu Hajar yang mentahrij hadits kitab fiqih al Minhaj.
7.      Mu’jam yaitu Kitab yang berisi Hadits-hadits yang menyebutkan nama-nama guru, negeri atau kabilah seperti Mu’jam At Thabarani.
  1. Thabaqah Perawi
Thabaqah adalah sekumpulan orang yang sebaya dalam usia dan dalam menemukan seorang guru. Para perawi dibagi menjadi beberapa thabaqah, yakan tetapi dalam pembagiannya terdapat perbedaan pendapat[17].
Thabaqah versi Ibnu Hajar, yaitu :[18]
1.      Sahabat dengan berbagai tingkatannya.
2.      Tabi’in pertama seperti Said bin Musaiyyab.
3.      Tabi’in pertengahan seperti Ibnu Sirin.
4.      Tabi’in akhir yaitu yang tidak bisa dipastikan mereka mendengar hadits langsung dari sahabat seperti Al A’masi.
5.      orang yang satu masa dengan thabaqah keempat akan tetapi tidak pernah bertemu dengan sahabat, seperti Ibnu Juraij.
6.      Thabaqah Atba’ut Tabi’in yang pertama seperti Imam Malik dan Sufyan ats Tsauri.
7.      Thabaqah Atba’ut Tabi’in pertengahan seperti Ibnu Uyainah.
8.      Thabaqah Atba’ut Tabi’in akhir seperti Abu dawud dan Syafi’i.
9.      orang-orang pertama yang mengutip dari Atba’ut Tabi’in seperti Ahmad bin Hambal.
10.  orang-orang pertengahan yang mengutip dari Atba’ut Tabi’in seperti Bukhori
11.  orang-orang terakhir yang mengutip dari Atba’ut Tabi’in seperti Turmudzi.
 Kesimpulan
Proses penulisan hadits tidak seperti al-Qur’an dalam arti semua telah ditulis pada masa Nabi masih hidup, hal ini karena adanya beberapa sebab diantaranya karena adanya larangan Nabi untuk menulis selain al-Qur’an.
Perkembangan hadits terbagi menjadi tujuh periode yaitu :
a.       Masa Nabi.
b.      Masa Sahabat.
c.       Masa Tabi’in
d.      Masa pembukuan hadits (Abad II H ).
e.       Masa penyaringan dan seleksi ketat (Abad III H ) sampai selesai.
f.        Periode Penyempurnaan (Abad-IV H).
g.       Masa Klasifikasi dan Sistemisasi Penyusunan Kitab-kitab Hadits (Abad-V H).



Daftar Pustaka

Abu Syuhbah, Muhammad bin Muhammad ,  Al Wasith fi Ulum wa Mushtalah al Hadits, Darl Fikr al Araby, Beirut,tt.
Ajjaj Al Khotib, Ushul al Hadits ulumuhu wa mushtalahuhu, Darl Fikr, Beirut, 1989 M.
Hasyim Abbas, Kodifikasi Hadits dalam Kitab Mu’tabar, IAIN Press,Surabaya,2003.
Khauly, Muhammad Abdul Aziz. Miftah as Sunnah au Tarikhi Funun al Hadits, Dar al Kutub al Ilmiyah, Beirut, tt.
Shalih, Subhi. Ulum al Hadits wa Musthalahuhu, Dar al Ilm lil Malayin, Beirut, 1977.
Suyuthi, Jalaluddin Abdurrohman, Tadrib al Rawi. Dar al Kutub al Ilmiyah, Beirut, 1423 H.
Turmusy, Muhammad Mahfud i, Manhaj dzawin Nadhar, Haramain, Surabaya, 1394 H.


[1] Muhammad bin Muhammad  Abu Syuhbah,  Al Wasith fi Ulum wa Mushtalah al Hadits, Darl Fikr al Araby, Beirut, tt, hal 51
[2]  Beliau adalah sahabat yang buta, beliau mendapat ijin penulisan hadits ketika fathu makkah
[3] Ibid hal : 57-58
[4] Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Op.Cit hal 59.  Ajjaj Al Khotib, Ushul al Hadits ulumuhu wa mushtalahuhu, Darl Fikr, Beirut, 1989 M, hal 154
[5] Abu Syuhbah, Muhammad bin Muhammad. Op.Cit hal 51-52. Khauly, Muhammad Abdul Aziz. Miftah as Sunnah au Tarikhi Funun al Hadits, Dar al Kutub al Ilmiyah, Beirut, tt, hal : 16
[6] Ibid hal : 56 . Al Khotib, Ajjaj Op.Cit hal 153-164. Suyuthi, Jalaluddin Abdurrohman, Tadrib al Rawi. Dar al Kutub al Ilmiyah, Beirut, 1423, Vol I hal 41
[7]  Al Khotib, Ajjaj Op.Cit hal 160, 194. Abu Syuhbah, Muhammad bin Muhammad. Op.Cit hal 55-58
[8] Khauly, Muhammad Abdul Aziz. Op.Cit hal : 16.
[9]  Abu Syuhbah, Muhammad bin Muhammad, Op.Cit hal 56-66
[10]  Al Khotib, Ajjaj Op.Cit hal 181-182. Abu Syuhbah, Muhammad bin Muhammad. Op.Cit hal 67-68
[11] Jalaluddin Abdurrohman Suyuthi, Op.Cit. Vol I hal 40. Turmusy, Muhammad Mahfud i, Manhaj dzawin Nadhar, Haramain, Surabaya, 1394 H, hal 18. Ajjaj Al Khotib, Op.Cit hal 183-184. Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Op.Cit hal 69-70
[12]Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah.,Op.Cit hal 72-76. Khauly, Muhammad Abdul Aziz. Op.Cit hal : 30-32
[13] Ibid, hal 69
[14]  Ini terjadi pada abad ke III
[15] Jalaluddin Abdurrohman Suyuthi, Op.Cit. Vol I hal 42-44. Shalih, Subhi. Ulum al Hadits wa Musthalahuhu, Dar al Ilm lil Malayin, Beirut, 1977. hal : 118-119
[16] Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah.,Op.Cit hal 72, Jalaluddin Abdurrohman Suyuthi, Op.Cit. Vol I hal 55-56. Hasyim Abbas, Kodifikasi Hadits dalam Kitab Mu’tabar, IAIN Press,Surabaya,2003, Hal : 8-12. Shalih, Subhi Op.Cit hal : 119-123
[17]  Hal ini dikarenakan perbedaan pendapat dalam menghitung satu kurun, ada yang berpendapat satu kurun adalah masa 100 tahun ada yang mengatakan hanya 40 tahun.
[18] Shalih, Subhi Op.Cit hal : 323-325.