Mashlahah Mursalah & 'Urf

PENDAHULUAN

Adapun ilmu ushul fiqh, tidaklah tumbuh kecuali pada abad kedua Hijriyah, karena pada abad pertama Hijriyah ilmu tersebut belum diperlukan, dimana rasul SAW, berfatwa dan menjatuhkan keputusan (hukum) menurut ajaran al-Qur’an yang diwahyukan kepadanya, dan menurut al-sunnah yang diilhamkan kepadanya. Juga menurut ijtihadnya secara naluri (al-fitri) tanpa memerlukan ushul dan kaidah yang dijadikan pedoman dalam istimbath dan berijtihad. Sedangkan apra sahabat Nabi SAW, memberikan fatwa hukum dan menelorkan keputusan dengan dalil dan nash yang dapat mereka pahami berdasarkan kemampuan bahasa Arab yang baik tanpa memerlukan kaidah bahasa yang dijadikan pedoman dalam memahami nash. Mereka juga melakukan istimbath terhadap hukum yang tidak terdapat nash baginya berdasarkan kemampuan mereka dalam membina hukum syari’at Islam yang telah mereka jiwa lontarkan pergaulan mereka dengan Rasulullah SAW. Disamping itu mereka juga menyaksikan sebab musabab turunnya ayat dan datangnya hadits. Mereka telah memahami tujuan dan pembuat hukum syari’at Islam (syar’i) dan dasar yang pembentuknya.

PEMBAHASAN

A.     Al-Maslahah Al-Mursalah
·        Definisinya
Mashlahatul mursalah yaitu memperoleh suatu hukum yang sesuai menurut akal dipandang dari kebaikannya, sedangkan tidak diperoleh alasannya, seperti seseorang menghukum terhadap sesuatu yang belum ada ketentuannya oleh agama. Apakah perbuatan itu haram atau boleh. Maka hendaklah dipandang kemudharatannya dan kemanfaatannya. Bila kemudharatannya lebih banyak dari kemanfaatannya berarti perbuatan itu terlarang. Sebaliknya bila kemanfaatannya lebih banyak dari kemudharatannya berarti perbuatan itu dibolehkan oleh agama, karena agama membawa kepada kebaikan oleh sebab itu dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah:
حكم الشئ اهو حرام  او مباح فلينظر الى مفسدته ومصلخته
Artinya: “Hukum sesuatu adakah dia haram atau mubah, maka dilihat dari segi kebiasaannya dan kebaikannya.”[1]
·        Syarat-syarat mushalahah mursalah;
1)      Hanya berlaku dalam muamalat, karena soal-soal ibadah tetap tidak berubah-ubah
2)      Tidak berlawanan dengan maksud syari’at atau salah satu dalilnya yang sudah dikenal
3)      Mashlahah adalah karena kepentingan yang nyata dan diperlukan oleh masyarakat.
·        Kedudukan Mashlahah Mursalah
Diantara fuqaha yang paling banyak menggunakan mashlahah mursalah ialah Imam Malik. Alasannya: Tuhan mengutus utusan-utusannya untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia. Apabila ada kemaslahatan, keraslah dugaan kita bahawa maslahat itu dikehendaki syara’ karena hukum Allah diadakan untuk kepentingan manusia.[2]
·        Dalil-dalil ulama yang menjadikan hujjah maslahah mursalah
Jumhur ulama umat Islam berpendapat bahwa maslahah mursalah itu adalah hujjah syari’at yang dijadikan dasar pembentukan hukum dan bahwasannya kejadian yang tidak ada hukumnya dalam nash dan ijma atau qiyas atau istihsan itu disyari’atkan padanya hukum yang dikehendaki oleh mashlahah umum, dan tidaklah berhenti pembentukan hukum atas dasar maslahah mursalah ini karena adanya saksi syar’I yang mengakuinya.[3]
·        Contoh-contohnya
1)      Dalam al-Qur’an dan hadits tidak ada nash yang melarang pengumpulan al-Qur’an dan hafalan dan tulisan. Meskipun demikian para sahabat di zaman Abu Bakar bersepakat untuk menulis dan mengumpulkannya, karena mengingat maslahah umat.
2)      Waktu Islam masuk Irak, tanah negeri tersebut tetap berada di tangan pemiliknya dengan dikenakan pajak (Kharaj). Karena untuk menjaga kemaslahatan umat Islam umumnya, seharusnya empat perlima tanah tersebut diberikan kepada orang yang berperang sebagai harta keuntungan perang.
3)      Mensyaratkan adanya surat nikah untuk salinnya guguhan dalam soal perkawinan nafkah, waris dan lain-lain.

B.     Al-‘Urf
·        Definisinya
‘Urf ialah sesuatu yang telah sering dikenal oleh manusia dan telah menjadi tradisinya baik berupa ucapan atau perbuatannya dan atau hal meninggalkan sesuatu juga disebut adat.
Menurut istilah ahli syara’ tidak ada perbedaan diantara ‘Urf dan adat, maka ‘Urf yang bersifat perbuatan adalah seperti saling pengertian manusia tentang jual beli dengan pelaksanaannya tanpa shigat yang diucapkan. Sedang ‘Urf yang bersifat ucapan adalah seperti saling mengerti mereka tentang kemutlakan lafadz “al-walad” atau anak laki-lakinya bukan anak perempuan, dan juga saling mengerti mereka agar tidak mengitlakkan lafadz “al-lahm” yang bermakna daging atas “al-samak” yang bermakna ikan tawar. Jadi ‘Urf adalah terdiri dari saling pengertian manusia atas perbedaan
·        Perbedaan ‘Urf dan Ijma’
1)      ‘Urf adalah persamaan (penyesuaian dalam kata-kata atau perbuatan yang terjadi antara orang banyak, baik orang-orang biasa, orang-orang pandai/orang-orang ahli ijtihad. Sedang ijma’nya terjadis dari persesuaian/kebulatan pendapat para ahli ijtihad saja.
2)      ‘Urf tetap dianggap ada, baik persesuaian/persamaan tersebut terjadi antara seluruh orang tidak ada kecuali atau hanya antara sebagian besarnya saja. Dengan perkataan lain, penyimpangan beberapa orang dari kebanyakan orang tidak mempengaruhi adanya “’Urf lima” hanya terjadi dengan adanya kebulatan pendapat. Semua ahli ijtihad atas sesuatu soal yang disodorkan kepada mereka, perbedaan pendapat, meskipun dari seorang saja berakibat tidak adanya ijma’.
3)      Hukum yang didasarkan atas ijma’ sama kuatnya dengan hukum yang didasarkan atas nash-nash. Kedua-duanya tidak menjadi lapangan ijtihad. Sedang hukum yang berdasarkan ‘Urf dapat berubah menurut perubahan ‘Urf itu sendiri. Karena itu ulama-ulama sebelumnya bahkan pendapat seseorang dapat berubah-ubah pula karena ‘Urf. Imam Syafi’I waktu datang ke Mesir, lain pendapatnya dengan sewaktu ia masih berada di Irad.
·        Macam-macam ‘Urf
‘Urf dibagi menjadi 2 bagian
1)      ‘Urf shohih (benar), yaitu sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan dalil syara’, juga tidak menghalalkan yang haram dan juga tidak membatalkan yang wajib, seperti saling mengerti manusia tentang kontrak pemborongan, atau saling mengerti mereka tentang pembagian maskawin (mahar) kepada mahar yang didahulukan dan yang diakhirkan. Juga saling mengerti mereka bahwa isteri tidak boleh menyerahkan dirinya kepada suaminya kecuali apabila dia telah menerima sebagian dari maharnya. Dan saling mengerti mereka pula bahwa sesuatu yang telah diberikan oleh pelamar (calon suami) kepada calon isteri yang berupa perhiasan atau pakaian adalah termasuk hadiah dan bukan sebagian dari mahar.
2)      ‘Urf fasid (salah), yaitu sesuatu yang telah saling kenal manusia, tetapi sesuatu itu bertentangan dengan syara’ atau menghalalkan yang haram dan membatalkan yang wajib, seperti saling mengerti manusia tentang beberapa perbuatan mungkar dalam upacara kelahiran anak dan dalam tempat kedukaan. Juga saling mengerti mereka tentang makna riba dan kontrak jadi.
·        Kedudukan ‘Urf
‘Urf (adat kebiasaan) yang benar, yaitu yang tidak menyalahi syara’, hendaknya menjadi bahan pertimbangan seseorang ahli ijtihad dalam melakukan ijtihadnya bagi seseorang hukum dalam mengeluarkan keputusan.
Alasan mengambil ‘Urf tersebut ialah:
a)      Syari’at Islam dalam mengadakan hukum juga memperhatikan kebiasaan (‘Urf) yang berlaku bagi bangsa Arab. Seperti syarat, “seimbang” (Kafa’ah) dalam perkawinan dan urutan-urutan perwalian dalam nikah dan perwarisan harta pustaka atas dasar ‘ashobah (pertalian dan susunan keluarga/ahli waris yang bukan penerima pembagian pasti)
b)      Apa yang dibiasakan orang, baik kata-kata maupun perbuatan, menjadi pedoman hidup mereka yang dibutuhkan.
‘Urf yang salah, yaitu yang berlawanan dengan syara’/berlawanan dengan hukum yang sudah jelas karena ada nashnya, maka tidak menjadi bahan pertimbangan seseorang mujtahid/seseorang hakim. Syari’at Islam tidak memperhatikan kebiasaan-kebiasaan bangsa Arab yang salah seperti perkawinan “maat” (yaitu perkawinan seorang laki-laki dengan seorang perempuan bekas isteri ayahnya yang meninggal), thawaf sekitar Ka’bah tanpa berpakaian.
Ada beberapa perjanjian/perikatan yang sudah dibiasakan orang seperti menggadaikan barang dengan syarat di penerima gadai dapat menggunakan barang tersebut, mengambil keuntungan tertentu dari modal kapital yang dijalankan orang lain, atau perjanjian asuransi. Bagaimana hukum perbuatan tersebut?
Sebagaimana ulama mengatakan bahwa kalau memang perjanjian/perikatan tersebut sudah dibiasakan orang dan memang dibutuhkan sekali, maka diperbolehkan dan termasuk dalam bidang pengecualian/kemurahan. Batas-batas dan lapangan-lapangan perjanjian/perikatan tersebut dapat ditetapkan ahli ijtihad berdasarkan penelitiaannya.

DAFTAR PUSTAKA

§         Bakkry, nazar, 1996, “Fiqh dan Ushul Fiqh” Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
§         Hanafie, Achmad, 1989. “Ushul Fiqh”. Jakarta: Wijaya
§         Khallaf, Abdul Wahad, 1996, Kaidah-Kaidah Hukum Islam” Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.