Metodologi Penafsiran al-Thabari

Sebelum Nabi Muhammad wafat, sumber penafsiran ada pada nabi. namun, setelah wafat, semakin bertambahnya hari dan permasalahan yang semakin kompleks membuat penafsiran Alquran mengalami perkembangan. Oleh karena itu, sumber penafsirannya adalah dari sahabat, sebab para sahabat ini menerima langsung penjelasan dari nabi.

Namun, dikarenakan para sahabat tidak selalu berada di samping nabi, dan nabi juga bertemu dengan sahabat yang berbeda-beda setiap harinya, maka tidak dapat dihindarkan dalam perbedaan penafsiran suatu ayat Alquran. Para sahabat pada masa ini adalah seperti khalifah rasyidin, Abdullah ibn Abbas, Abdullah Ibn Masud dan lain-lain. Pada masa sahabat tafsir belum dibukukan menjadi satu kitab tafsir yang khusus, walaupun terdapat beberapa sahabat yang mempunyai penafsiran yang dibukukan dalam satu mushaf.
Setelah masa sahabat berakhir dengan wafatnya semua sahabat, maka mulailah tabiin yang merupakan murid-murid sahabat menafsirkan Alquran. Jika para sahabat menerima tafsir dari nabi, maka para tabiin menerima tafsir dari para sahabat. Salah satu tabiin adalah al-Thabari yang konon tafsirnya jami’ al-bayan adalah tafsir pertama dari abad ke-3 Hijriah dalam sejarah penulisan kitab-kitab tafsir dan kitab tafsir tertua yang sampai kepada kita.
Karena itulah kami sebagai penulis akan membahas tafsir karya al-Thabari dalam makalah ini sebagai wacana dalam mengetahui mengenai kitab tafsir pada abad pertengahan tiga Hijriah.


METODOLOGI PENAFSIRAN AL-THABARI DALAM JAMIUL BAYAN
A. Biografi al-Thabari
Nama lengkap dari al-Thabari adalah Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Katsir ibn Ghalib al-Thabari al-Amuli, beliau dilahirkan di kota Amul yang merupakan ibukota Thabaristan, di negara Iran. Beliau lahir pada akhir tahun 224 Hijriah awal tahun 225 Hijriah (al-Dzahabi, 20041:147).
Al-dzahabi (20041:148) menjelaskan bahwa pada waktu kecil al-Thabari sudah hafal Alquran pada umur tujuh tahun dan mendapatkan kepercayaan untuk menjadi imam sholat pada masa itu. Beliau juga menulis hadis pada umur sembilan tahun.
Al-Dzahabi (20041:148) menyatakan bahwa al-Thabari mengetahui berbagai macam cara baca Alquran, memahami makna yang terkandung di dalamnya serta memiliki pengetahuan yang mendalam tentang hukum-hukum di dalam Alquran.
Beliau tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga yang memberikan cukup perhatian terhadap pendidikan, terutama bidang keagamaan. Beliau sangat bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu. Hal itu tampak pada saat beliau mencari ilmu keliling pada tiap kota untuk memperkaya pengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu. Menurut al-Dzahabi (20041:148), al-Thabari dikirim oleh ayahnya ke Rayy, Basrah, Kufah, Mesir, Syiria. di Rayy beliau belajar pada Ibn Humayd, Abu Abdillah Muhammad ibn Humayyad al-Razi, beliau juga pernah pergi ke Baghdad untuk menimba ilmu kepada Ahmad ibn Hanbal, tetapi sesampainya di sana Ahmad ibn Hanbal telah wafat.
Menurut al-Dzahabi (20041:148), al-Thabari menghabiskan waktunya untuk mempelajari ilmu ke-Islaman dan tradisi-tradisi Arab. Selain ahli fiqih beliau juga ahli sejarah, tafsir, sastra, tata bahasa, logika, matematika dan kedokteran. Beliau merupakan salah satu tokoh terkemuka yang menguasai benar berbagai disiplin ilmu, beliau meninggalkan warisan cukup besar yang mendapatkan sambutan besar di setiap masa dan generasi yaitu karya beliau yang masyhur Jami’ al-Bayan fi tafsir al-Qur’an. Karya tafsirnya tersebut merupakan rujukan utama bagi para mufasir yang menaruh perhatian terhadap tafsir bi al-ma’tsur. Beliau meninggal pada tahun 310 Hijriah.
Nama lengkap tafsir ini adalah Jami’ al-Bayan Fi Tafsir al-Qur’an. Al-Dzahabi (20041:149) berpendapat bahwa kitab tafsir tersebut ditulis pada Tahun 306 Hijriah dan terdiri dari dua belas jilid. Mulanya tafsir ini hilang tetapi kemudian terdapat satu manuskrip yang di simpan oleh Amir Mahmud ibn Abd al-Rasyid seorang pengusaha Naj, dari manuskrip ini kemudian diterbitkan dan beredar luas serta menjadi sebuah ensiklopedi tafsir bi al-Ma’tsur.

B. Metode Penafsiran
Al-dzahabi (20041:148) beranggapan bahwa Ibn Jarir al-Thabari dipandang sebagai tokoh terpenting dalam tradisi keilmuan Islam klasik, yaitu dalam ilmu fiqih, hadis, bahasa, sejarah dan termasuk dalam bidang tafsir Alquran, seperti pada dua buah karya besarnya yaitu tarikh al- Umam wa al-Mulk, yang berbicara tentang sejarah dan al-bayan Fi tafsir Alquran, sehingga berhasil mengangkat popularitas beliau pada saat itu dan sampai saat ini pun karya beliau masih dikenal oleh banyak kalangan.
Tafsir ini dikenal dengan tafsir bi al-ma’tsur, walaupun demikian al-Thabari dalam menentukan makna yang paling tepat pada sebuah lafad juga menggunakan ra’yu. Tafsir ini menggunakan metode tahlili, sebab penafsirannya berdasarkan pada susunan ayat dan surat sebagaimana dalam urutan mushaf (al-Dzahabi, 20041:149).
Di samping sebagai mufasir, beliau juga pakar sejarah yang mana dalam penafsirannya yang berkenaan dengan historis beliau jelaskan panjang lebar dengan dukungan cerita-cerita israiliyat (al-Dzahabi, 20041:147). Dengan pendekatan sejarah yang beliau gunakan tampak kecenderungannya yang independen. Beliau menyatakan bahwa ada dua konsep sejarah menurutnya: pertama, menekankan esensi ketauhidan dari misi kenabian dan yang kedua, pentingnya pengalaman-pengalaman dari umat dan pengalaman konsisten sepanjang zaman (al-Dzahabi, 20041:149).
Berikut merupakan metode yang digunakan oleh al-Thabari dalam tafsirnya (al-Dzahabi,20041:151):
1. Menempuh jalan tafsir dan atau takwil.
Menurut al-Dzahabi (20041:151), ketika al-Thabari akan menafsirkan suatu ayat, al-Thabari selalu mengawali dengan kalimat القول فى تأويل قوله تعالى. Kemudian, barulah menafsirkan ayat tersebut.
2. Menafsirkan Alquran dengan sunah/hadis (bi al-ma’tsur).
Al-Dzahabi (20041:151) menyatakan bahwa al-Thabari dalam menafsirkan suatu ayat selalu menyebutkan riwayat-riwayat dari para sahabat beserta sanadnya.
3. Melakukan kompromi antar pendapat bila dimungkinkan, sejauh tidak kontradiktif dari berbagai aspek termasuk kesepadanan kualitas sanad (al-Dzahabi, 20041:153).
4. Pemaparan ragam qiraat dalam rangka mengungkap makna ayat.
Al-Dzahabi (20041:153) berpendapat bahwa al-Thabari juga menyebutkan berbagai macam qiraat dan menjelaskan penafsiran dari masing-masing qiraat tersebut serta menjelaskan hujjah dari ulama qiraat tersebut.
5. Menggunakan cerita-cerita israiliyat untuk menjelaskan penafsirannya yang berkenaan dengan historis.
Al-Dzahabi (20041:154) menerangkan bahwa al-Thabari dalam penafsirannya yang berkenaan dengan sejarah menggunakan cerita-cerita israiliyat yang diriwayatkan dari Ka’ab al-Ahbar, Wahab ibn Manbah, Ibn Juraij dan lain-lain.
6. Mengeksplorasi syair dan prosa Arab lama ketika menjelaskan makna kata dan kalimat.
Menurut al-Dzahabi (20041:156) metode ini tidak hanya digunakan oleh al-Thabari saja, tetapi juga dipergunakan oleh mufasir lain seperti Ibn Juraij ketika menafsirkan ayat dengan riwayat yang diperoleh dari Ibn Abbas.
7. Berdasarkan pada analisis bahasa bagi kata yang riwayatnya diperselisihkan.
Al-Dzahabi (20041:156) menuturkan bahwa ketika al-Thabari mendapati kata dalam suatu ayat ada perselisihan antar ulama nahwu, al-Thabari menjelaskan kedudukan kata tersebut menurut tiap-tiap mazhab degan memperhatikan aspek i’rab dengan proses pemikiran analogis untuk ditashih dan ditarjih serta menjelaskan penafsirannya.
8. Menjelaskan perdebatan di bidang fiqih dan teori hukum Islam untuk kepentingan analisis dan istinbath (penggalian dan penetapan) hukum.
Menurut pejelasan al-Dzahabi (20041:157), al-Thabari selalu menjelaskan perbedaan pendapat antar mazhab fikih tanpa mentarjih salah satu pendapat dengan pendekatan ilmiah yang kritis.


9. Menjelaskan perdebatan di bidang akidah.
Al-Dzahabi (20041:158) menuturkan bahwa dalam ayat-ayat yang berhubungan dengan masalah akidah al-Thabari menjelaskan perbedaan pendapat antar golongan.

C. Contoh Penafsiran
Ketika menafsirkan Surat al-Maidah ayat 89 yang berbunyi :
لايوأخذكم الله باالغوفي ايمانكم ولكن يوأخذكم بما عقد تم الايمان فكفارته إطعام عشرة مساكين من أوسط ماتطعمون أهليكم أوكسوتهم أوتحريررقبه
Yang dicermati al-Thabari adalah kalimat من أوسط ماتطعمون أهليكم yang mana potongan ayat ini ditafsirkan oleh sebagian sahabat nabi dengan pendapat yang berbeda-beda. Ibn Abbas (Al-Thabari, 20018:616) menafsirkan ayat tersebut dengan : من أوسط ماتطعمون أهليكم من عسرهم يسرهم , yaitu jenis makanan yang di konsumsi sehari-hari oleh keluarga (pembayar denda) secara moderat tidak terlalu mahal dan tidak terlalu murah, tidak terlalu sulit dan tidak terlalu mudah.
Sementara Sa’id ibn Jubair dan Ikrimah (Al-Thabari, 20018:616) menafsirkan dengan : اي من اعدل ماتطعمون اهليكم (atau makanan dari jenis yang sederhana yang di konsumsi keluarga).
Di samping penafsiran para sahabat yang beliau jadikan rujukan penafsirannya, beliau juga menjadikan hadits yang berkaitan dengan penafsirannya sebagai rujukan juga. Seperti yang di riwayatkan oleh Ibn Sirin dari Ibn Umar, Rasulullah bersabda : والخيروالتمر, ومن افضل مااهليكم, الخبزواللحم, الخبزوالسمن, والخبزواللبن,والخبزوالزيت (Al-Thabari, 20018:616).
Setelah ditopang oleh sejumlah refrensi yang cukup akurat, kemudian al-Thabari menyatakan, bahwa yang dimaksud dari ayat di atas adalah dalam hal kuantitas, moderat, tidak sedikit dan tidak pula banyak. (Al-Thabari, 20018:616).

D. Penilaian Ulama’ Tentang Al-Thabari
Abu Hamid al-Isfarayini (wafat 1015 Hijriah) (Dosen TH UIN Sunan Kalijaga, 2004:39) menyatakan bahwa semua informasi yang diberikan oleh al-Tabari diperoleh secara berantai dari para periwayat. Mata rantai ini dipelajari oleh Dr. H. Horst, yang menghitung ada 13.026 mata rantai yang berbeda dalam tiga jilid tafsir al-Thabari. Dua puluh satu dari 13.026 ini termasuk di dalamnya 15.700 dari 35.400 macam bentuk informasi, hadis-hadis, yang menjadi jaminan bagi kebenaran atas berbagai mata rantai peristiwa.
Di pihak lain, Dr. F. Sezgin (Dosen TH UIN Sunan Kalijaga, 2004:40) membandingkan kutipan-kutipan al-Thabari dengan sumber-sumber aslinya, pada akhirnya beliau berkesimpulan bahwa tafsir al-Tabari sangat luas dan ensiklopedis. Isinya sangat bervariasi dengan subyek pembahasan yang sangat kaya.
Dalam suatu kesempatan Muhammad Abduh (Dosen TH UIN Sunan Kalijaga, 2004:40) mengomentari tafsir   al-Thabari dengan menyatakan bahwa kitab-kitab terpercaya di kalangan penunut ilmu, karena pengarang-pengarangnya telah melepaskan diri dari belenggu taklid dan berusaha untuk menjelaskan ajaran-ajaran Islam tanpa melibatkan diri dalam perselisihan dan perbedaan paham yang dapat menimbulkan perpecahan.
Berdasarkan penelitian Taufik Adnan Amal (Dosen TH UIN Sunan Kalijaga, 2004:39-40) menyatakan bahwa Ibn Jarir al-Thabari adalah mufasir “tradisional” paling terkemuka, menyusun suatu kitab yang menghimpun lebih dari dua puluh sistem bacaan (qiraat).
Penulis tafsir Ayat-ayat Ahkam Muhammad Ali al-Sabuni (1990:57) berkomentar bahwa kitab tafsir Ibn Jarir termasuk tafsir bi al-ma’tsur yang paling agung, paling benar dan paling banyak mencakup pendapat sahabat dan tabiin serta dianggap sebagai pedoman pertama bagi para mufasir. Hal itu senada dengan apa yang dinyatakan oleh Manna’ al-Qattan (Tanpa Tahun 386), yakni kitab tafsir al-Tabari merupakan tafsir paling besar dan utama serta menjadi rujukan penting bagi para mufasir bi al-ma’tsur.
Tak ketinggalan pula dedengkot orientalis, Ignaz Goldziher (Dosen TH UIN Sunan Kalijaga, 2004:40) secara jujur mengakui kapasitas kitab tafsir Al-Thabari dengan mengatakan bahwa karya sejarahnya pernah menjadi  mahakarya, karena kelengkapan informasi dan kompleksitas materi kajiannya, banyak di antara para ilmuwan dan sejarawan yang menggunakan data-data darinya sebagai rujukan.

E. Analisis
Setelah melihat dari penjelasan di atas, maka dapat dianalisis bahwa Al-Tabari dipandang sebagai tokoh penting dalam jajaran mufasir klasik setelah masa tabi’ al-tabiin, karena lewat karya monumentalnya jami’ al-bayan fi tafsir Alquran mampu memberikan inspirasi baru bagi mufasir sesudahnya. Struktur penafsiran yang selama ini monolitik sejak zaman sahabat sampai abad 3 Hijriyah. Kehadiran tafsir ini memberikan aroma dan corak baru dalam bidang tafsir. Eksplorasi dan kekayaan sumber yang beraneka ragam terutama dalam hal makna kata dan penggunaan bahasa Arab yang telah dikenal secara luas di kalangan masyarakat. Di sisi lain, tafsir ini sangat kental dengan riwayat-riwayat sebagai sumber penafsiran (ma’tsur) yang disandarkan pada pendapat dan pandangan para sahabat, tabi tabiin melalui hadis yang mereka riwayatkan.
Penerapan metode secara konsisten beliau tetapkan dengan tahlili menurut perspepsi sekarang. Metode ini memungkinkan terjadinya dialog antara pembaca dengan teks-teks Alquran dan diharapkan adanya kemampuan untuk menangkap pesan-pesan yang didasarkan atas konteks kesejarahan yang kuat.
Itulah sebabnya tafsir ini memiliki karakteristik tersendiri dibanding dengan tafsir-tafsir lainnya. Paling tidak analisis bahasa yang sarat dengan syair dan prosa Arab kuno, varian qiraat, perdebatan isu-isu bidang kalam, dan diskusi seputar kasus-kasus hukum tanpa harus melakukan klaim kebenaran subyektifnya, sehingga al-Thabari tidak menunjukkan sikap fanatisme mazhab atau alirannya. Kekritisannya mengantarkan pada satu kesimpulan bahwa al-Thabari termasuk mufasir professional dan konsisten dengan bidang sejarah yang beliau kuasai.

Simpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa nama lengkap dari al-Thabari adalah Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Ghalib al-Thabari al-Amuli, beliau dilahirkan di kota Amul yang merupakan ibukota Thabaristan, di negara Iran. Beliau lahir pada tahun akhir tahun 224 Hijriah awal tahun 225 Hijriah dan nama lengkap dari karya al-Thabary adalah Jami’ al-Bayan Fi Tafsir Alquran. Ditulis pada tahun 306 Hijriah dan terdiri dari dua belas jilid.
Kitab tafsir ini sangat kental dengan riwayat-riwayat sebagai sumber penafsiran (ma’tsur) yang disandarkan pada pendapat dan pandangan para sahabat, tabiin, tabi tabiin melalui hadis yang mereka riwayatkan, maupun riwayat-riwayat yang muktabar dari kalangan Yahudi dan Nasrani yang telah setia memeluk Islam. Kitab ini juga didukung dengan nalar kritis untuk membangun pemahaman-pemahaman objektifnya.
Metode penafsirannya adalah (1) Menempuh jalan tafsir dan atau takwil, (2) Melakukan penafsiran ayat yang berhubungan dengan sejarah dengan penjelasan kisah-kisah israiliyat, (3) Menafsirkan Alquran dengan sunah/hadis (bi al-ma’tsur), (4) Berdasarkan pada analisis bahasa bagi kata yang riwayatnya diperselisihkan, (5) Mengeksplorasi syair dan menggali prosa Arab lama ketika menjelaskan makna kata dan kalimat, (6) Memperhatikan aspek i’rab dengan proses pemikiran analogis untuk ditashih dan ditarjih, (7) Pemaparan ragam qiraat dalam rangka mengungkap makan ayat, (8) Menjelaskan perdebatan di bidang fiqih dan teori hukum Islam untuk kepentingan analisis dan istinbath (penggalian dan penetapan) hukum, (9) Melakukan kompromi antar pendapat bila dimungkinkan, sejauh tidak kontradiktif dari berbagai aspek termasuk kesepadanan kualitas sanad.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Dzahabi, Muhammad Husain. 1976. Al-Tafsir Wa al-Mufasirun. Jilid I. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Shabuni, Muhammad Ali. 1990. Al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an. Beirut: Dar al-Iftikar.
Al-Thabari, Abu ja’far ibn Muhammad Jarir. 2001. Jami’ al-bayan fi Tafsir Alquran. Jilid VIII. Tanpa Tempat: Hijr
Al-Qattan, Manna’. 1973. Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an. Beirut: Masyurat al-‘Ashr al-Hadits.
Dosen TH UIN Sunan Kalijaga. 2004. Studi Kitab Tafsir. Yogyakarta: Teras.

Islam Iman dan Ihsan

Diantara perbendaharaan kata dalaaam agama islam ialah iman, islam dan ihsan. Berdasarkan sebuah hadits yang terkenal, ketiga istilah itu memberi umat Islam (Sunni) ide tentang Rukun Iman yang enam, Rukun Islam yang lima dan ajaran tentang penghayatan terhadap Tuhan Yang Maha Hadir dalam hidup. Dalam penglihatan itu terkesan adanya semacam kompartementalisasi (peleburan) antara pengertian masing-masing istilah itu, seolah-olah setiap satu dari ketiga noktah itu dapat dipahami secara tersendiri, dapat bentuk sangkutan tertentu yang lain.
Sudah tentu hakikatnya tidaklah demikian. Setiap pemeluk Islam mengetahui dengan pasti bahwa Islam (al-Islam) tidak abash tanpa iman (al-Iman), dan iman tidak sempurna tanpa ihsan (al-Ihsan). Sebaliknya, ihsan adalah mustahil tanpa iman,dan iman juga tidak mungkin tanpa inisial Islam. Dalam telaah lebih lanjut oleh para ahli, ternyata pengertian antara ketiga istilah itu terkait satu dengan yang lain, bahkan tumpang tindih sehingga setiap satu dari ketiga istilah itu mengandung makna dua istilah yang lainnya. Dalam iman terdapat Islam dan ihsan, dalam Islam terdapat iman dan ihsan dan dalam ihsan terdapat iman dan Islam. Dari sudut pengertian inilah kita melihat iman, Islam dan ihsan sebagai trilogy ajaran Ilahi.
Berikut ini saya akanmencoba membahas dalam makalah yang jauh dari kesempurnaan karena kesempurnaan hanya milik AllahSWT semata, berdasarkan pembahasan para ulama, apa pengertian ketiga istilah itu dan bagaimana wujudnya dalam hidup keagamaan seorang pemeluk Islam. Diharapkan bahwa dengan memahami lebih baik pengertian istilah-istilah yang amat penting itu kemampuan kita menangkap makna luhur agama dan pesan-pesan sucinya dapat ditingkatkan.

MAKNA DASAR ISLAM
Ada indikasi bahwa Islam adalah  inisial  seseorang  masuk  ke dalam  lingkaran ajaran Ilahi. Sebuah Ayat Suci melukiskan bagaimana orang-orang Arab Badui mengakui telah beriman tapi Nabi diperintahkan untuk mengatakan kepada mereka bahwa mereka belumlah beriman melainkan baru ber-Islam, sebab iman  belum masuk ke dalam hati mereka.[1]
 Jadi, iman lebih mendalam daripada Islam, sebab dalam  konteks firman  itu, kaum Arab  Badui tersebut barulah tunduk kepada Nabi secara lahiriah, dan itulah  makna  kebahasaan  perkataan "Islam",  yaitu  "tunduk" atau  menyerah." Tentang hadits yang terkenal yang menggambarkan pengertian masing-masing  Islam, iman  dan  ihsan,  Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa agama memang terdiri dari tiga unsur: Islam, iman dan  ihsan,  yang  dalam ketiga  unsur  itu  terselip  makna  kejenjangan: orang mulai dengan Islam, berkembang ke  arah  iman, dan  memuncak dalam ihsan.
Menurut Ibn Taimiyah, orang yang menerima warisan Kitab Suci (yakni, mempercayai dengan berpegang pada ajaran-ajarannya) namun masih juga berbuat dzalim adalah orang yang baru ber-Islam, menjadi seorang Muslim, suatu tingkat permulaan perlibatan dari dalam kebenaran. Ia bisa berkembang menjadi seorang yang beriman, menjadi seorang mu’min, untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi, yaitu tingkat menengah (muqtashid), yaitu orang yang telah terbebas dari perbuatan dzalim, namun perbuatan kebajikannya sedang-sedang saja. Dalam tingkatnya yang lebih tinggi, perlibatan diri dalam kebenaran itu membuat ia tidak saja terbebas dari perbuatan jahat atau dzalim dan berbuat baik, bahkan ia bergegas dan menjadi pelomba atau pemuka (sabiq) dalam berbagai kebaikan, dan itulah orang yang telah ber-ihsan, mencapai tingkatan muhsin.
Orang  yang  telah mencapai tingkat muqtashid dengan imannya dan tingkat sabiq dengan ihsan-nya, kata Ibn Taimiyah, akan masuk surga tanpa terlebih dulu mengalami azab. Sedangkan orang yang pelibatannya dalam kebenaran baru mencapai  tingkat ber-Islam sehingga masih sempat berbuat dzalim, ia akan masuk surga setelah terlebih dulu merasakan azab akibat dosa-dosanya itu. Jika ia tidak bertobat maka tidak diampuni Allah.[2]
Pada saat ini, tentu saja, kata-kata Islam telah menjadi nama sebuah agama, khususnya agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu agama islam. Tapi secara umum, Islam bukanlah nama dalam arti kata sebagai nama jenis. Dan ini melibatkan pengertian tentang istilah itu yang lebih mendalam, yang justru banyak diketemukan dalam kitab suci. Perkataan itu, sebagai kata benda verbal yang aktif, mengandung sikap pasrah atau menyerahkan diri kepada Tuhan. Dan sikap itulah yang disebutkan sebagai sikap keagamaan yang benar dan diterima Tuhan. Suatu semangat ajaran yang menjadikan karakteristik pokok agama yang benar.
Selanjutnya,  penjelasan  yang  sangat  penting  tentang makna "al-Islam" ini diberikan juga oleh Ibn Taimiyah. Ia mengatakan bahwa  "al-Islam"  mengandung dua makna adalah: pertama, ialah sikap tunduk dan patuh, jadi tidak sombong; kedua,  ketulusan dalam  sikap tunduk kepada satu pemilik atau penguasa, seperti difirmankan Allah, "wa rajulan  salaman  li  rajulin"   (Dan seorang  lelaki  yang  tulus  tunduk kepada satu orang lelaki) (QS. al-Zumar 39:29). Jadi orang yang tulus itu tidak musyrik, dan  ia  adalah  seorang hamba yang berserah diri hanya kepada Allah, Tuhan sekalian alam.
Demikian itu sebagian dari penjelasan yang diberikan Ibn Taimiyah tentang makna al-Islam.[3]

PENGERTIAN DASAR IMAN
Kita telah mengetahui pengertian iman secara umum, yaitu sikap percaya, dalam hal ini khususnya  percaya  pada  masing-masing rukun  iman  yang  enam  (menurut akidah Sunni). Karena percaya pada masing-masing rukun iman itu memang  mendasari  tindakan seseorang maka sudah tentu pengertian iman yang umum dikenal itu adalah wajar dan benar.
Namun, dalam dimensinya yang lebih mendalam, iman tidak cukup hanya dengan sikap batin yang percaya atau mempercayai sesuatu belaka, tapi menuntut perwujudan lahiriah atau eksternalisasinya dalam tindakan-tindakan. Dalam pengertian inilah kita memahami sbda Nabi bahwa iman mempunyai lebih dari tujuh puluh tingkat, yang paling tinggi ialah ucapan Tiada Tuhan selain Allah dan yang paling rendah menyingkirkan bahaya di jalanan.
Keterpaduan   antara   iman   dan  perbuatan  yang   baik  juga dicerminkan dengan jelas dalam sabda  Nabi  bahwa  orang  yang berzina,  tidaklah  beriman  ketika ia berzina, dan orang yang meminum arak tidaklah beriman  ketika  ia  meminum  arak,  dan orang  yang  mencuri  tidaklah  beriman ketika ia mencuri, dan seseorang tidak akan membuat teriakan menakutkan yang mengejutkan perhatian orang banyak jika memang ia beriman." Tiadanya  iman  dari orang yang sedang melakukan kejahatan itu ialah karena iman itu terangkat dari jiwanya   dan "melayang-layang di atas kepalanya seperti bayangan." Demikian itu keterangan tentang iman yang  dikaitkan  dengan  perbuatan baik  atau  budi pekerti luhur.[4]
Berdasarkan itu, maka sesungguhnya makna iman dapat berarti sejajar dengan kebaikan atau perbuatan baik. Ini dikuatkan oleh adanya riwayat tentang orang yang bertanya kepada Nabi tentang iman, namun turun wahyu jawaban tentang kebajikan (al-Birr), yaitu:
}§øŠ©9 §ŽÉ9ø9$# br& (#q9uqè? öNä3ydqã_ãr Ÿ@t6Ï% É-ÎŽô³yJø9$# É>̍øóyJø9$#ur £`Å3»s9ur §ŽÉ9ø9$# ô`tB z`tB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# Ïpx6Í´¯»n=yJø9$#ur É=»tGÅ3ø9$#ur z`¿ÍhÎ;¨Z9$#ur tA#uäur tA$yJø9$# 4n?tã ¾ÏmÎm6ãm ÍrsŒ 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur tûüÅ3»|¡yJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# tû,Î#ͬ!$¡¡9$#ur Îûur ÅU$s%Ìh9$# uQ$s%r&ur no4qn=¢Á9$# tA#uäur no4qŸ2¨9$# šcqèùqßJø9$#ur öNÏdÏôgyèÎ/ #sŒÎ) (#rßyg»tã ( tûïÎŽÉ9»¢Á9$#ur Îû Ïä!$yù't7ø9$# Ïä!#§ŽœØ9$#ur tûüÏnur Ĩù't7ø9$# 3 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# (#qè%y|¹ ( y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)­GßJø9$# ÇÊÐÐÈ  
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa. (Al-Baqarah: 177)
Oleh karena itu perkataan iman yang digunakan dalam kitab suci dan sunnah Nabi sering memiliki makna yang sama dengan perkataan kebajikan(al-Birr), taqwa dan kepatuhan pada Tuhan.[5]

PENGERTIAN IHSAN
Dalam hadits Nabi menjelaskan, “Ihsan ialah bahwa engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan kalau engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihat engkau.” Maka ihsan adalah ajaran tentang penghayatan pekat akan hadirnya Tuhan dalam hidup, melalui penghayatan diri sebagai sedang menghadap dan berada di depan hadirat-Nya ketika beribadah. Ihsan adalah pendidikan atau latihan untuk mencapai dalam arti sesunggunya. Karena itu, seperti dikatakan Ibn Taimiyah di atas, ihsan menjadi puncak tertinggi keagamaan manusia. Ia tegaskan bahwa makna ihsan lebih meliputi daripada iman lebih meliputi daripada Islam, sehingga pelaku iman lebih khusus daripada pelaku Islam. Sebab dalam ihsan sudah terkandung iman dan islam, sebagaimana iman sudah terkandung islam[6]
Kemudian, kata-kata ihsan itu sendiri secara  harfiah  berarti "berbuat baik."Seorang yang ber-ihsan disebut muhsin, sebagai seorang  yang  ber-iman disebut  mu'min  dan  yang   ber-Islam disebut muslim. Karena itu, sebagai bentuk jenjang penghayatan keagamaan, ihsan terkait erat sekali dengan pendidikan berbudi pekerti luhur atau berakhlaq mulia. Disabdakan oleh Nabi bahwa yang paling utama di kalangan kaum beriman ialah  yang  paling baik  ahlaqnya,  sebagaimana  disebutkan  dalam  sebuah hadits. Dirangkaikan dengan sikap pasrah kepada  Allah atau  Islam,  orang yang ber-ihsan disebutkan dalam Kitab Suci sebagai orang yang paling baik keagamaannya:
ô`tBur ß`|¡ômr& $YYƒÏŠ ô`£JÏiB zNn=ór& ¼çmygô_ur ¬! uqèdur Ö`Å¡øtèC yìt7¨?$#ur s'©#ÏB zOŠÏdºtö/Î) $ZÿÏZym 3 xsƒªB$#ur ª!$# zOŠÏdºtö/Î) WxŠÎ=yz ÇÊËÎÈ  
Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.(QS.al-Nisa:125).
Ihsan dalam arti akhlaq mulia atau pendidikan ke arah akhlaq mulia sebagai puncak keagamaan dapat dipahami juga dari beberapa hadits terkenal seperti:
إِنَّمَأ بُعِثْتُ لِمَكَارِمِ الأَخْلاَقِ
“Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan berbagai keluhuran budi”
Jika kita renungkan lebih jauh, sesungguhnya makna-makna di atas itu tidak berbeda jauh dari yang secara umum dipahami oleh orang-orang muslim, yaitu bahwa dimensi vertikal pandangan hidup kita (iman dan taqwa – hablu min Allah – dilambangkan oleh takbir pertama dalam shalat) selalu dan seharusnya, melahirkan dimensi horizontal pandangan hidup kita (amal salih, akhlaq mulia – hablu man al-Nas – dilambangkan oleh ucapan salam atau taslim pada akhir shalat). Jadi makna-makna tersebut sangat sejalan dengan pengertian umum tentang keagamaan. Maka sebenarnya disini hanya dibuat penjabaran sedikit lebih mendalam dan penegasan sedikit lebih kuat terhadap makna-makna umum itu.

HUBUNGAN ISLAM, IMAN DAN IHSAN
Bagaimana Mengkompromikan Ketiga Istilah Ini?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan yang maknanya, Bila dibandingkan dengan iman maka Ihsan itu lebih luas cakupannya bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada iman bila ditinjau dari orang yang sampai pada derajat ihsan. Sedangkan iman itu lebih luas daripada islam bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada islam bila ditinjau dari orang yang mencapai derajat iman. Maka di dalam sikap ihsan sudah terkumpul di dalamnya iman dan islam. Sehingga orang yang bersikap ihsan itu lebih istimewa dibandingkan orang-orang mu’min yang lain, dan orang yang mu’min itu juga lebih istimewa dibandingkan orang-orang muslim yang lain…[7]
Muslim, Mu’min dan Muhsin
Oleh karena itulah para ulama’ muhaqqiq/peneliti menyatakan bahwa setiap mu’min pasti muslim, karena orang yang telah merealisasikan iman sehingga iman itu tertanam kuat di dalam hatinya pasti akan melaksanakan amal-amal islam/amalan lahir. Dan belum tentu setiap muslim itu pasti mu’min, karena bisa jadi imannya sangat lemah sehingga hatinya tidak meyakini keimanannya dengan sempurna walaupun dia melakukan amalan-amalan lahir dengan anggota badannya, sehingga statusnya hanya muslim saja dan tidak tergolong mu’min dengan iman yang sempurna. Sebagaimana Alloh Ta’ala telah berfirman, “Orang-orang Arab Badui itu mengatakan ‘Kami telah beriman’. Katakanlah ‘Kalian belumlah beriman tapi hendaklah kalian mengatakan: ‘Kami telah berislam’.” (Al Hujuroot: 14). Dengan demikian jelaslah sudah bahwasanya agama ini memang memiliki tingkatan-tingkatan, dimana satu tingkatan lebih tinggi daripada yang lainnya. Tingkatan pertama yaitu islam, kemudian tingkatan yang lebih tinggi dari itu adalah iman, kemudian yang lebih tinggi dari tingkatan iman adalah ihsan.[8]
  
PENUTUP
Dari penjelasan di atas maka teranglah bagi kita bahwasanya pembagian agama ini menjadi tingkatan Syari’at, Ma’rifat dan Hakikat tidaklah dikenal oleh para ulama baik di kalangan sahabat, tabi’in maupun tabi’ut tabi’in; generasi terbaik ummat ini. Pembagian yang syar’i adalah sebagaimana disampaikan oleh Nabi yaitu islam, iman dan ihsan dengan penjelasan sebagaimana di atas. Maka ini menunjukkan pula kepada kita alangkah berbahayanya pemahaman sufi semacam itu. Lalu bagaimana mungkin mereka bisa mencapai keridhoan Alloh Ta’ala kalau cara beribadah yang mereka tempuh justeru menyimpang dari petunjuk Rosululloh ? Alangkah benar Nabi yang telah bersabda,“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari kami maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim). Barangsiapa yang ingin mencapai derajat muhsin maka dia pun harus muslim dan mu’min. Tidak sebagaimana anggapan tarekat sufiyah yang membolehkan orang yang telah mencapai Ma’rifat untuk meninggalkan syari’at. Wallohu a’lam.
  
DAFTAR PUSTAKA
Ibn Taimiyah, al-Iman (Kairo: Dar  al-Thiba'at  al-Muhammadiyah, tt.)
Ibn Taimiyah, al-Amr bi al-Ma'ruf wa al-Nahy 'an al-Munkar  (Beirut:  Dar  al-Kitab al-Jadid,  1976
Syaikh Sholih Fauzan, At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali (Beirut: Dar al-Kitab al-Jadid, 1989



[1] ___________, al-Qur’an al-Karim. QS. al-Hujarat:14.
[2] Ibn Taimiyah, al-Iman. Hal. 11
[3] Ibn Taimiyah, al-Amr bi al-Ma'ruf wa al-Nahy 'an al-Munkar  (Beirut:  Dar  al-Kitab al-Jadid,  1976, hal. 72-3).
[4] Ibn Taimiyah, al-Iman,hal.l2-13
[5] Ibid. hal 152-153.
[6] Ibid. hal 11.
[7] Syaikh Sholih Fauzan, At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali. hlm. 63
[8]Ibid, hlm. 64