Fikih dalam Agama Islam menempati posisi kunci sebagai
produk pemikiran ulama yang mencoba melakukan intrepretasi atas normativitas
teks/nash dikaitkan dengan kebutuhan-kebutuhan jamannya. Dalam khasanah
fikih klasik dikenal berbagai macam aliran fikih yang mencerminkan
kecenderungan para fuqaha dalam melakukan ijtihad (intellectual
exercise). Kecenderungan itu dipengaruhi oleh ragam pendekatan dan
metodologi yang digunakan dalam melakukan ijtihad . Ada aliran Fikih
yang cenderung liberal, karena memberi porsi lebih besar kepada akal untuk
terlibat dalam proses ijtihad , ada aliran yang cenderung literal karena
berusaha menempatkan teks sebagai faktor dominan proses ijtihad,
sehingga muncul aliran penengah yang berusaha memberikan porsi yang sama antara
teks dan wahyu.[1]
Fikih sebagai formulasi pemahaman syari’ah memiliki dua
tujuan, pertama adalah untuk membangun perilaku setiap individu muslim
berdasarkan akidah, syari’ah dan akhlak; dan kedua adalah untuk merealisasikan
sebuah tatanan kehidupan sosial masyarakat yang memiliki jati diri keadilan,
persamaan dan kemitraan.[2]
Berbagai ragam aliran Fikih pada era klasik lebih
mencerminkan bentuk solusi kongkret problem masyarakat yang dapat dijadikan
pedoman bagi umat dalam menyelesaikan problem-problem itu. Inilah yang dimaksud
oleh Hasan Hanafi [3] dengan
nilai praksis pemikiran keagamaan, sebuah segmen yang
sering diabaikan oleh para pemikir yang lebih senang bergulat dengan wacana
yang terkadang tidak memiliki bobot implementasi di lapangan.
Dalam rangka mewujudkan tatanan sosial yang ideal,
pembidangan fikih harus sesuai dengan dimensi kebutuhan manusia. Dalam konteks
ini, fikih terbagi menjadi fikih ibadah dan fikih muamalah (meliputi fikih
siyasah, jinayat, munakahat, dan sebagainya). Dalam batas tertentu, fikih
dipahami masih berkecenderungan legal-formal ketika berhadapan dengan
kosmopolitanisme kultur manusia. Akibatnya, manifestasi fikih dirasakan tidak
aspiratif dalam menjawab tantangan zaman. Jika diamati, kecenderungan belum
responsifnya wajah fikih karena peran kerangka teoritik ilmu
ushul fiqh dirasa kurang relevan lagi untuk menjawab problem kontemporer.[4]
Hal ini memunculkan kesulitan-kesulitan dalam menjawab problem kontemporer,
selain itu akibat
dari ditutupnya kran pintu ijtihad mulai abad ke-4 H/10 M. N.J Coulson dan
Schacht mengatakan tertutupnya pintu ijtihad karena juris Islam merasa semua
permasalahan hukum telah di bahas dan hokum yang komprehensif telah berhasil di
tegakkan, namun Wael B. Hallaq menolak karena hal ini tidak sesuai dengan
kenyataan sebagaimana yang ada dalam literature Islam.[5]
Selain itu terdapat indikasi keterbatasan dalam penguasaan khazanah keilmuan
fikih yang pada gilirannya membawa dampak terhadap munculnya pemahaman tunggal
terhadap mazhab sehingga kurang kurang responsif terhadap pemikirian mazhab
yang lain.
Dalam konteks mencari solusi untuk membongkar kejumudan
pemikiran fikih selama ini, upaya pemahaman dan pemaknaan fikih secara
kontekstual menjadi sangat penting untuk dilakukan dengan pendekatan “etis”
(aspek moral) dengan berorientasi pada sisi esoteris (hakikat) fikih yang
mengacu pada ruh tasyri’ atau maqashid al-syari’ah menjadi agenda
penting dalam rangka mereformulasikan substansi dan tujuan hukum. Untuk itu,
yang harus dikedepankan dalam mengambil suatu keputusan hukum adalah
nilai-nilai yang mengutamakan kemaslahatan dan keadilan sebagai tujuan hukum.
Dalam kerangka inilah nalar fikih sosial hadir sebagai bentuk pengembangan
fikih mazhab yang menjadi bagian dari fikih NU.[6]
Perkembangan fikih di Indonesia juga tidak terlepas dari
berbagai corak dan ragam, karena fiqh di Indonesia memiliki keunikan tersendiri
sesuai dengan masyarakat nusantara yang fiqh
oriented. Hal ini karena fiqh mengandung berbagai implikasi konkret bagi
prilaku keseharian baik individu maupun masyarakat.[7]
Dalam perkembangan pemikiran hukum di Indonesia, banyak tradisi-tradisi yang
terakomodasi dalam system hukum Islam meski juga adanya hukum positive warisan
dari belanda yang membawa pada munculnya prulalisme hukum di Indonesia. salah
satunya adalah pemikiran hukum islam baca : fiqh yang bercorak sosialis. Dikatakan
sosialis karena fiqih harus dibaca dalam konteks pemecahan
dan pemenuhan tiga jenis kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan primer (dharuriyah),
kebutuhan sekunder (hajjiyah), dan kebutuhan tersier (tahsiniyah).
Fiqih sosial tidak sekedar sebagai alat untuk melihat setiap persoalan dari
kaca mata hitam putih, tetapi lebih menempatkan fiqih sebagai paradigma
pemaknaan secara social.
Salah satu tokoh yang berusaha mengembangkan fikih dengan
pendekatan social adalah K.H. Ali Yafie seorang tokoh ahli dalam bidang fikih,
mencoba menggagas fikih yang lebih bernuansa social. Ia berusaha berijtihad dan
memperkenalkan serta menunjukkan bahwa fikih bukanlah sesuatu yang kaku seperti
dipahami oleh kebanyakan masyarakat Islam tentang Fiqh
yang sangat formalistik dalam konteks sosial yang ada, sehingga ajaran syari’at
yang tertuang dalam Fiqh terkadang terlihat tidak searah dengan bentuk
kehidupan praktis sehari-hari. Gagasannya tentang fikih social merupakan hasil ijtihadnya setelah
mencermati perkembangan fikih selama ini dengan kondisi sosial masyarakat
khususnya di Indonesia.
PEMBAHASAN
A. Biografi Ali
Yafie
K.H. Ali Yafie adalah sosok yang sangat unik dalam pandangan
beberapa kalangan. Betapa tidak karena ia hanya berangkat dari pendidikan non
formal—belajar secara otodidak—namun dengan ilmunya yang luas dan
mendalam memposisikannya sebagai ulama yang disegani dan dikagumi. Ia mampu
duduk satu forum dengan intelektual kaliber semisal Nurcholish Madjid, Quraish
Shihab, Habibie, dan lain-lain. Karenanya, tidaklah berlebihan jika pada suatu
kesempatan Cak Nur pernah berkata kepada Prof. Dr. Satria Effendi, "Ali
Yafie itu diam-diam tetapi ternyata pintar".
K.H. Ali Yafie lahir di Wani-Donggala Sulawesi Tengah 1
September 1924, putra dari K.H. Muhammad Yafie. Ia lahir dari keluarga terdidik
dan sangat beruntung karena merupakan turunan dari seorang ulama besar.
Kakeknya Syaikh Abdul Hafidz Bugis, salah seorang ulama terkemuka Indonesia
yang pernah menjadi Guru Besar di Masjid al-Haram. Dua ulama lainnya adalah
Syaikh Nawawi al-Bantani dan Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang juga
pernah menjadi Imam di Masjid al-Haram. Warisan kitab dari kakeknya sangat
besar peranannya dalam membentuk khazanah intelektual Ali Yafie. Ayah Ali juga
adalah seorang ulama yang pernah memimpin sebuah sekolah dengan ratusan murid,
selain itu juga mendirikan pesantren Nasrul Haq di Amparita sekaligus menjadi
pengasuhnya.[8]
Ali Yafie terbilang cerdas, sebab dalam usia yang masih
sangat muda, 12 tahun ia sudah dapat membaca kitab kuning. Dengan modal ini,
maka ia pun dikirim oleh ayahnya untuk belajar kepada beberapa ulama atau kiai
terkenal ketika itu di Sulawesi Selatan antara lain, Syaikh Ali Mathar
(Rappang), Syaikh Haji Ibrahim (Sidrap), Syaikh Mahmud Abdul Jawad (Bone),
Syaikh As'ad (Sengkang), Syaikh Ahmad Bone (Ujungpandang), Syaikh Abdurrahman
Firdaus (Jampue-Pinrang). Selain itu Ali Yafie juga mendalami ilmu pengetahuan
umum dan beberapa bahasa asing, jurnalistik, dan ilmu-ilmu bantu lainnya.[9]
Ulama yang tak kalah banyak pengaruhnya terhadap Ali Yafie
adalah Syaikh Abdurrahman Firdaus seorang ulama pengembara dari Mekah. Dalam
perjalanannya ke Indonesia ia singgah di India, Malaysia dan Filipina. Pada
ulama ini Ali Yafie belajar fikih, tafsir dan sastra Arab, selain itu juga
memperoleh banyak informasi tentang isu-isu gerakan pembaruan di Mesir yang
lagi marak kala itu. Dan secara kebetulan Syaikh Abdurrahman Firdaus adalah
pengagum berat Syaikh Rasyid Ridha. Ulama ini pun kemudian mengenalkan
pemikiran tokoh pembaru lainnya seperti Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Jamal
al-Din al-Afghani[10],
selebihnya dipelajarinya secara otodidak.
Dengan memperhatikan pengembaraan Ali Yafie dalam mencari
ilmu, maka tidaklah mengherankan apabila berhadapan dengan kondisi sekarang ia
tidak "gagap", sekalipun ia adalah seorang santri tulen. Lebih dari
itu penampilannya pun nyaris mencerminkan sikap seorang santri, sehingga kerap
disebut sebagai sosok yang sederhana baik dalam perkataan pun perbuatan.
Ali Yafie dalam perjalanan karirnya pun beragam posisi dan
jabatan telah dilaluinya. Ia pernah aktif mengajar mulai dari madrasah hingga
perguruan tinggi bahkan pernah menjadi Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN (sekarang
UIN) Alauddin Makassar. Menjadi Hakim Pengadilan Tinggi Agama Makassar. Kepala
Inspektorat Peradilan Agama Wilayah Indonesia Bagian Timur, menjadi anggota
staf harian merangkap anggota dewan pleno Badan Pembinaan Potensi Karya Kodam
XIV Hasanuddin. Ali Yafie juga aktif dalam dunia politik hingga mengantarkannya
menduduki posisi sebagai Rais Majelis Syura Partai Persatuan Pembangunan dan
mengantarkannya menjadi anggota DPR/MPR RI. Ia menjadi wakil ketua Dewan
Penasehat ICMI Pusat, anggota Dewan Pengawas Syari'ah Bank Muamalat, wakil
ketua Dewan Pembina Badan Arbitrase Muamalat, Guru Besar IAIN (kini UIN) Syarif
Hidayatullah, Guru Besar Institut Ilmu Al-Qur'an Jakarta, dan Guru Besar Universitas
Islam Asy Syafi'iyah. Pernah menjadi Rais 'Am Nahdlatul Ulama, salah seorang
unsur ketua MUI, bahkan pernah pula menjabat sebagai Ketua Umumnya dan beberapa
jabatan lainnya.
Prestasi yang diraih Ali Yafie di atas menunjukkan bahwa ia
adalah seorang ulama yang paripurna karena ia dapat diterima oleh semua lapisan
baik umara, intelektual, politikus, eksekutif maupun masyarakat umum, ia
betul-betul telah menjadi milik umat.
Secara detail sebagian karya-karya beliau yang
dipublikasikan adalah : Fikih Perdagangan Bebas, (Bandung: Mizan, 2003).
Beragama secara Praktis : agar hidup lebih bermakna, (Bandung: Mizan,) Menggagas
Fikih Sosial, (Bandung: Mizan, 2000). Merintis Fikih Lingkungan Hidup
(Yayasan Amanah : 2006), Teologi Sosial : telaah kritis Persoalan keagamaan
dan kemanusiaan, (LPKSM: 1997). Disiplin Ilmu Keislaman Tradisional :
Fiqh, (Paramadina : 1987) buku ini ditulis bersama Nurcholis Madjid. Menolak
Korupsi membangun kesalehan social : kumpulan naskah-teks khutbah, (P3M:2004),
Agama
dan kemiskinan: suatu tinjauan dari segi agama Islam,
(Proyek Penelitian Keagamaan, Departemen Agama, 1981).
B. Pemikiran
Fikih Sosial
Dalam sejarahnya, Fikih Sosial muncul setelah ide-ide
pembaruan Fikih di Indonesia bermunculan, . Kita mengenal ide Fikih Indonesia
yang dipopulerkan oleh Hasby Assidiqie tahun 1960an (bahkan benihnya sudah
muncul sejak 1940an). Ide itu ditindaklanjuti dengan ide Fikih Madzhab Nasional
(Madzhab Indonesia) oleh Hazairin pada tahun 1960an juga . Kemudian KH.
Abdurrahman Wahid pada 1975 menawarkan ide Hukum Islam sebagai Penunjang
Pembangunan. Pada 1980an, Munawir Sjadzali mengusulkan ide Reaktualisasi Ajaran
Islam.[11]
Disusul dengan ide Agama Keadilan oleh Masdar F. Mas'udi pada 1990an.[12]
Kemudian pada 1991 muncul Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang "dianggap"
ijmak Ulama Indonesia, yang diinstruksikan oleh Presiden Soeharto. Baru
kemudian muncul ide Fikih Sosial pada 1994 oleh KH. Sahal Mahfudh dan KH. 'Ali
Yafie.[13]
Gagasan fikih sosial muncul sebagai respon di kalangan
intelektual NU karena adanya ketidakpuasan mereka dengan kondisi Bahtsul Masail
yang terkesan statis, beku, dan kering dari harapan masyarakat sekarang.
Kondisi ini disebabkan oleh masih kuatnya pengaruh pola bermazhab secara qauly
di kalangan mayoritas ulama NU. Padahal, tuntutan masyarakat akan perlunya
hukum Islam yang kontekstual sesuai dengan situasi dan kondisi sosial sekarang
ini tidak hanya datang dari intern warga NU saja, melainkan juga datang dari
masyarakat pada umumnya.
Oleh karena itu, menurut Azizy, perlu dilakukan tahapan
untuk mengembalikan kodrat hukum Islam dengan empat langkah berikut:
Pertama,
hukum Islam yang merupakan hasil karya fuqaha atau mujtahidin masa lalu, yang
selama ini ditempatkan di satu sisi sebagai doktrin atau di sisi yang lain
sebagai hal yang tidak diperhitungkan sama sekali, hendaknya ditempatkan pada
proporsi yang sebenarnya, yakni sebagai hasil ijtihad para ulama terdahulu.
Untuk itu, perlu kiranya digunakan istilah “humanisasi hukum Islam (fikih)”,
sehingga doktrin yang mungkin dianggap “sakral” tersebut menjadi sesuatu yang
‘”profan” dapat disentuh akal dan diinterpretasi ulang.
Kedua,
melihat hasil ijtihad tersebut secara kontekstual, sehingga menjadi lebih hidup
dan mempunyai nilai. Berbicara mengenai hasil ijtihad, meskipun tetap disebut
hukum Islam, tidak lepas dari pengaruh subjektivitas pelaku ijtihad (mujtahid)
beserta lingkungan yang melingkupinya. Dengan kata lain, hasil ijtihad itu
sangat erat dengan konteks sosial masyarakat pada saat itu, yang tentunya
berbeda dari konteks masyarakat kita sekarang. Oleh karena itu, usaha
kontekstualisasi terhadap hasil ijtihad ulama masa lalu perlu digairahkan,
bahkan mestinya menjadi suatu keharusan. Kajian seperti ini tidak cukup hanya
dengan membaca teks dari hasil ijtihad tersebut yang tertulis dalam kitab-kitab
fikih mazhab, namun harus dibarengi dengan kajian yang serius terhadap aspek
sejarah dan sosial yang melingkupi mujtahid ketika itu serta kajian metodologi
yang digunakan dalam menghasilkan keputusan hukum Islam. Dalam hal ini,
pendekatan sejarah, terlebih sejarah sosial dan sosiologi, menjadi sangat
penting. Di samping itu, perlu dikaji tentang sejarah hidup para mujtahid
terutama sekali yang berkaitan dengan pemikiran hukumnya.
Sebagai contoh adalah ketika kita mempelajari hukum-hukum
Islam produk ulama Iraq dan Hijaz yang berbeda misalnya, kita harus pula
mempelajari sejarah dan kehidupan sosial masyarakat Iraq dan Hijaz waktu itu.
Jelaslah bahwa terjadinya perbedaan kesimpulan hukum dari keduanya disebabkan
oleh karena perbedaan kondisi sosial yang ada di Iraq dan Hijaz. Keadaan sosial
masyarakat Hijaz lebih homogen, stabil, dan pengaruh luar sangat sedikit.
Sedangkan keadaan di Iraq konteks sosial masyarakatnya sangat heterogen,
metropolis dengan perubahan yang sangat cepat dan juga pengaruh dari luar
sangat besar dan terbuka. Contoh lain, dapat dilihat dari hasil ijtihad Imam
Syafi’i yang memunculkan dua pendapat (qaul) yang berbeda, meski
terhadap masalah yang sama, yakni Qaul Qadim (yang dihasilkan ketika
beliau di Iraq) dan Qaul Jadid (ketika beliau pindah berada di Mesir).
Perbedaan ini didasari oleh keadaan yang tidak sama antara masyarakat Iraq dan
Mesir, sehingga melahirkan ketetapan hukum yang berbeda pula.[14]
Ketiga,
setelah mampu melakukan kontekstualisasi, barulah mengadakan reaktualisasi. Ini
harus dilandasi dengan kemampuan interpretasi terhadap hasil ijtihad tersebut
–bukan penolakan terhadapnya– dan dilanjutkan dengan reinterpretasi, dan pada
waktunya akan ada tuntutan reformasi atau pembaruan (tajdid) terhadap
ajaran pada tataran praktis yang merupakan pemahaman para mujtahid terhadap
wahyu. Di sini berarti harus terjadi historical continuity dalam
mempelajari hukum Islam secara akademik. Ijtihad dapat berupa pembaruan produk
ijtihad atau ijtihad baru, misalnya terhadap kasus-kasus hukum yang tidak
disebutkan ketentuannya dalam nash, atau untuk kasus-kasus yang sudah pernah
diberi keputusan hukum, namun perlu pembaruan (kontekstualisasi) karena
tuntutan zaman.
Keempat,
perlunya kajian hukum Islam yang melibatkan disiplin ilmu lain. Atau meneliti
hukum Islam yang sudah ada dengan menggunakan pendekatan interdisipliner atau
multidisipliner. Ilmu bantu ini mutlak diperlukan dalam rangka mendekatkan
hukum pada konteks yang lebih sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat
sekarang.[15]
Dibanding ide-ide sebelumnya, Fikih Sosial ternyata tak
menimbulkan resistensi di kalangan masyarakat sebagaimana ide pembaruan Fikih
lainnya, karena terkait dengan instrumen ide Fikih Sosial itu sendiri yang
mengambil pokok pemikirannya dari rahim tradisi Fikih Klasik yang sudah
mengakar. Yaitu konsep Maqashid al-Syari'ah dan konsep Fardlu
'Ain-Fardlu Kifayah. Selain itu, Fikih Sosial semangat reaktualisasi Fikih
Klasik, sebagai yang telah mengakar di kalangan masyarakat tradisional, juga
sebagai respon atas pandangan miring terhadap Fikih Klasik.
Karena itulah Fikih Sosial merupakan tema yang sangat besar
dan penting dan harus dikontekstualisasikan dengan pandangan masa kini,
sehingga Fikih dituntut harus sedikit demi sedikit berjarak dengan ide
partikularitasnya, menuju wacana perubahan sosial yang konteksnya lebih luas.
Maka Fikih harus menampung beragam fenomena sosial, hingga dari sana muncullah
sifat yang sebelumnya nyaris tak ada: relatifitas Fikih. Fikih Sosial berangkat
bukan sebagai paradigma kebenaran ortodoksi, yang mana merupakan isu sangat
sensitif, namun sebagai paradigma kritik dan pemaknaan sosial.
Fikih sosial berusaha mereaktualisasikan ajaran Fikih
klasik, yang sering dicap buruk, tapi dengan pendekatan yang berbeda. Yakni
berusaha melihat Nash dari dua sudut pandang sekaligus: tekstual dan
kontekstual, tak ada yang lebih dimenangkan satu sama lain dalam segi
mekanisme. Dalam mekanisme Fikih Sosial mencoba verifikasi kembali mana
persoalan-persoalan agama yang pokok dan mana yang cabang. Itu dilakukan dengan
metode Maqashid al-Syari'ah dengan tipologi dlaruriyyat (primer),
hajjiyyat (sekunder), dan tahsiniyyat (tersier).
Ali Yafie dalam kata pengantar bukunya Menggagas Fikih
Sosial mengakui bahwa uraiannya dalam buku tersebut bukanlah merupakan
fatwa, tetapi pemikiran yang berorientasi pada fikih dalam berbagai macam
persoalan menurut pandangan seorang santri. Ia menyadari betul bahwa dirinya
hanyalah seorang santri, meskipun oleh banyak kalangan pemikirannya dipandang
cukup menggambarkan seorang pemikir modern.
Buku Menggagas Fikih Sosial merupakan wadah yang
dijadikan Ali Yafie dalam mengemukakan ide-ide pemikirannya. Buku ini terbagi
ke dalam beberapa bagian. Pertama, membahas seputar sumber ajaran Islam.
Kedua, tentang perkembangan fikih di Indonesia. Ketiga, masalah
pengembangan masyarakat dalam tinjauan Islam. Keempat, pembangunan
ekonomi dalam tinjauan Islam. Kelima, wanita dan keluarga dalam
perspektif Islam. Dalam buku tersebut ada beberapa hal yang menjadi pokok
bahasan antara lain tentang pengrusakan lingkungan, kemiskinan, kependudukan,
masalah asuransi, wanita dan ukhuwah.
Uraian dalam makalah ini hanya akan membahas beberapa hal
yang dianggap "baru" dan merupakan orisinalitas pemikiran Ali Yafie
sebagai tergambar dalam karyanya Menggagas Fikih Sosial. Model fikih ini
mencoba memberikan jawab terhadap berbagai persoalan dan tantangan zaman
seperti perubahan sosial yang begitu cepat dan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang kian akseleratif.
Ali Yafie dalam menggagas fikih sosial memulai dengan
pembahasan tentang Al-Qur'an kemudian merambah ke masalah sosial kemasyarakatan
yang aktual dan terkait masalah hukum. Sebagai faqih, Ali Yafie
menginginkan pemahaman Al-Qur'an secara utuh dalam menghadapi tantangan yang
kian berlapis sebagai saat ini. Ali Yafie mengajukan lima tema utama agar dapat
memahami Al-Qur'an secara utuh yaitu: pertama, penegasan dan penguatan
eksistensi wahyu; kedua, pengenalan masalah ketuhanan; ketiga,
pandangan terhadap Islam; keempat, pengenalan manusia dan kemanusiaan;
dan kelima, pandangan terhadap masalah kehidupan.[16]
Menurut Ali Yafie, Al-Qur'an berfungsi untuk memperkenalkan
Allah sekaligus menyampaikan pesannya. Al-Qur'an harus fungsional bagi manusia
untuk hidup sejahtera di dunia dan akhirat. Wahyu berfungsi sebagai petunjuk
yang menyempurnakan keterbatasan akal dan kelemahan manusia dalam melawan
nafsu.
Berikut akan dikemukakan beberapa pemikiran Ali Yafie dalam
bidang fikih terkait dengan kehidupan sosial antara lain:
a. Fardhu
Kifayah
Dalam pembagian hukum taklifi para ulama membuat lima
katagori hukum: wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah.[17]
Pembagian tersebut menghendaki adanya perbuatan dari mukallaf. Dari kelima
pembagian tersebut satu di antaranya akan dibahas adalah hukum wajib.
Ulama fikih membagi wajib ke dalam dua macam yaitu: wajib 'ain dan wajib
kifayah.
Ali Yafie dalam memahami term ini mencoba untuk mencari
formulasi dengan memahami secara kontekstual. Dalam usaha pembangunan nasional,
norma fikih mesti dipahami secara lebih aktual. Menurutnya, fardhu 'ain
merupakan kewajiban individual atau perorangan bagi pengembangan potensi dan
pembinaan kondisi setiap individu dalam mencapai kemaslahatan hidupnya, dan
yang kedua fardhu kifayah adalah kewajiban sosial kemasyarakatan dan
merupakan tugas kolektif untuk pengembangan potensi dan pembinaan kondisi
masyarakat dalam mencapai kemaslahatan umum.[18]
Ali Yafie tidak menyalahkan contoh fardhu kifayah
yang selama ini hanya ditujukan pada kewajiban shalat jenazah, tetapi ia
memahami bahwa makna fardhu kifayah di sini sangat pasif bahkan
cenderung negatif. Dengan argumentasi ini, Ali Yafie mencoba memperkenalkan
definisi Imam Rafi'i yang memberi makna aktif terhadap fardhu kifayah.
Definisi yang dimaksud sebagai yang dikutip Ali Yafie adalah kewajiban yang
menyangkut hal-hal umum berkaitan dengan kemaslahatan baik bersifat keagamaan
pun keduniaan yang pelaksanaannya menjamin tegaknya kehidupan bersama.[19]
Dicontohkan antara lain: upaya mengatasi kemelaratan masyarakat, memenuhi
kebutuhan sandang melalui zakat dan bayt al-mal. Penyediaan lapangan
kerja dengan berbagai profesi, pengajaran, pendidikan, penyuluhan dan bimbingan
masyarakat, kontrol sosial, dan semua usaha untuk memakmurkan masyarakat.
Dengan demikian, untuk meneguhkan makna fardhu kifayah
secara aktif, dibutuhkan pemahaman yang lebih kontekstual, tanpa bermaksud
menyalahkan definisi dan contoh yang telah dianut umat Islam selama ini. Jadi
makna fardhu kifayah yang lebih aktif adalah kewajiban kolektif untuk
memajukan umat Islam yang selama ini menderita dalam segala aspek kehidupan.
Sebab, sasaran utama doktrin fardhu kifayah adalah tegaknya semangat
kebersamaan anggota masyarakat dalam suatu kelompok kehidupan yang sejahtera,
aman, tertib, adil dan sebagainya.
Urusan fardhu kifayah adalah upaya membebaskan orang
lain dari suatu dosa. Demikian halnya dengan usaha mensejahterakan orang lain
adalah pekerjaan yang sangat mulia karena membebaskan orang dari penderitaan.
b. Konsep Hak
Asasi Manusia (HAM)
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah persoalan yang juga tidak
luput dari perhatian Ali Yafie. HAM pertama kali dideklarasikan di Perancis
tahun 1789 yang lebih popular dengan istilah Declaration des Droits de
l'Homme at du citoyen dengan slogannya yang terkenal sejak saat itu, liberte
(kebebasan), egalite (persamaan), dan fratenite
(persaudaraan).[20].
HAM pada dasarnya lebih bersifat moral ketimbang politik. HAM saat ini bahkan
didengung-dengungkan dan hampir menjadi tuntutan setiap orang karena merupakan
milik asasi. Hak hidup, mencari kerja, menuntut ilmu, mendapat perlakuan yang
baik, dihormati harga dirinya dan lain-lain, merupakan hak yang tidak boleh
diganggu oleh siapa pun. Ali Yafie dalam memahami HAM mengatakan bahwa manusia
adalah makhluk yang muhtaram, yaitu makhluk yang dimuliakan
eksistensinya, ia dilarang dibunuh jika ia makhluk hidup dan dilarang
merusaknya jika ia makhluk tidak bernyawa. Manusia menurutnya berstatus ma'shum,
yaitu manusia yang terlindungi oleh hukum.
Konsep mashlahah dalam ushul fiqh merupakan
ajaran yang menjadi tujuan legislasi syari'at. Imam Amidi sebagai yang dikutip
Ali Yafie mengatakan bahwa kemaslahatan itu berkisar pada dua hal pokok:
mewujudkan manfaat atau kegunaan (jalbul manfa'ah) dan menghindarkan
kemudaratan (daf'ul madarrah).
Dengan pemahaman yang baik terhadap ajaran Islam tentang mashlalah
ini, maka dapat dikatakan bahwa sejatinya ajaran Islam itu sangat
menjunjung tinggi kemanusiaan, sangat memuliakan manusia bahkan semua makhluk.
Melalui usaha yang ulet, Ali Yafie memperkenalkan ajaran
seperti di atas dengan stressing pada aspek sosial ketimbang individual,
maka dapat dipahami bahwa ia berusaha membawa nilai-nilai atau ajaran Islam ke
dalam masyarakat. Karena baginya, Islam bukanlah ajaran individual semata
tetapi memiliki ajaran sosial yang sangat tinggi. Ia pun mencoba memperkenalkan
ajaran Islam yang sebelumnya dipahami secara pasif menjadi aktif.
c. Pengelolaan
Zakat
Salah satu ajaran Islam yang secara jelas mengarah pada
nilai-nilai sosial adalah zakat, meskipun ajaran lain tidak berarti tiada
mengandung nilai sosial. Sehingga perintah mengeluarkan zakat bergandengan
perintah shalat diulang sebanyak 32 kali dalam Al-Qur'an.[21]
Menurut Ali Yafie zakat memiliki dua aspek penting yaitu: pengeluaran
atau pembayaran dan penerimaan atau pembagian, dan yang disebutkan pertama merupakan
hal mutlak. Dari kalimat di atas dapat dipahami bahwa Islam sangat
menganjurkan umatnya untuk membayar zakat sekaligus memiliki harta. Islam tidak
menghendaki umatnya sebagai penerima zakat belaka sebab hal tersebut
menunjukkan ketidakberdayaan sosial-ekonomi umat.
Dalam Al-Qur'an disebutkan dengan jelas para penerima zakat
yang meliputi delapan golongan (asnaf) yaitu: fakir, miskin, amil
zakat, muallaf, budak yang dimerdekakan, orang berutang, ibnussabil, dan orang-orang
yang sedang dalam perjalanan. Menurut Imam Ibnu Salaf, Asnaf
yang ada sekarang hanya empat yaitu: fakir, miskin, gharim, dan ibnussabil.
Bahkan Al-Qadhi mengatakan hanya dua yang berhak menerima zakat yaitu fakir dan
miskin. Timbulnya perbedaan ini sesuai dengan kondisi masing-masing
tempat.
Yang disoroti oleh Ali Yafie adalah pemanfaatan dana zakat
yang selama ini dilaksanakan sesuai petunjuk fikih. Ali Yafie mengatakan bahwa
sistem pemerataan perlu ditinjau kembali. Misalnya setiap penerima zakat diberi
masing-masing 10 kg atau lebih setiap tahunnya. Sistem ini oleh Ali Yafie
dinilai tidak terlalu efektif. Menurutnya, sistem lama ini perlu diubah dengan
jalan memberikan modal kepada penerima zakat hingga tidak lagi menjadi penerima
zakat tahun berikutnya, melainkan berubah menjadi pembayar zakat. Dengan cara
seperti ini diharapkan jumlah penerima zakat setiap tahunnya semakin berkurang,
di sisi lain pembayar zakat semakin bertambah.
d. Lingkungan
Hidup
Isu tentang lingkungan hidup juga tak lepas dari perhatian
Ali Yafie. Dalam membahas masalah lingkungan hidup, ia mengacu pada QS.
Al-A'raf[7]: 156 yang menjelaskan tentang rahmat Allah yang meliputi segala
sesuatu dan QS. Al-Anbiya' [21]: 107 yang menegaskan tujuan pengutusan nabi
Muhammad SAW sebagai rahmat bagi seluruh alam. Ia merujuk pada batang tubuh
ajaran fikih yang meliputi empat garis besar yaitu:
1. Rub'ul
ibadat, yaitu
bagian yang menata hubungan manusia dengan khaliknya.
2. Rub'ul
muamalat, yaitu
bagian yang menata hubungan manusia dalam lalu lintas pergaulan dengan
sesamanya untuk memenuhi hajat hidup sehari-hari.
3. Rub'ul
munakahat, yaitu
bagian yang menata hubungan manusia dengan lingkungan keluarga, dan
4. Rub'ul
jinayat, yaitu
bagian yang menata pengamanan dalam suatu tertib pergaulan, yang menjamin
keselamatan dan ketentraman dalam kehidupan.[22]
Menurut Ali Yafie, gambaran di atas adalah wajah
sesungguhnya dari Islam. Empat hal tersebut meliputi bidang pokok dari
kehidupan umat manusia. Masalah lingkungan hidup tidak hanya terbatas pada
sampah, pencemaran, penghijauan kembali atau sekadar pelestarian alam
tetapi—lebih dari semua itu—masalah lingkungan hidup merupakan bagian dari
suatu pandangan hidup. Sebab ia merupakan kritik terhadap kesenjangan yang
diakibatkan oleh pengurasan energi dan keterbelakangan yang lebih merupakan
ekses dari pertumbuhan ekonomi yang ekplosif dan tidak bervisi konservasi.
Kalau Nabi adalah rahmat bagi alam, maka kita sebagian
umatnya sejatinya juga demikian, sehingga sifat-sifat Tuhan pun mestinya
terpatri dalam kehidupan sehari-hari. Olehnya itu, jauh sebelumnya, Tuhan
seakan memberi isyarat bahwa manusia adalah perusak. Hal ini dapat dipahami
dari dialog antara Tuhan dengan malaikat, ketika Tuhan menciptakan manusia.
Digambarkan pula bahwa telah tampak kerusakan di daratan dan di laut akibat
ulah tangan-tangan manusia. Dengan itu pula, maka Tuhan sudah memperingatkan
bahwa kita jangan melakukan pengrusakan di atas bumi ini. Pandangan Ali Yafie
terntang norma fikih senantiasa mencoba untuk memahami sejumlah masalah secara
sosiologis ketimbang pendekatan individual.
e. Pakaian
Pakaian merupakan salah satu yang membedakan antara manusia
dengan binatang, karena manusia mengenakan pakaian sebagai pelindung dan
penutup aurat, sedang binatang tidak. Dalam Al-Qur'an, pakaian disebut dalam
beberapa terma antara lain: libas, siyab, zinah, dan riyas.
Dua yang disebutkan pertama lebih mengacu pada penutup aurat ("aurat"
diartikan dengan rus'an sebagai kehormatan, manusia lebih terhormat dari
pada binatang karena menutup aurat), sedangkan dua yang terakhir lebih pada
perhiasan (estetika).
Ali Yafie dalam membahas mengenai aurat sebagai bagian tubuh
yang harus tertutupi, membaginya menjadi dua macam.[23]
Pertama, aurat mughallazah, yaitu kemaluan depan dan belakang,
dimana keduanya diprioritaskan untuk ditutup dan tidak boleh membukanya kecuali
darurat. Kedua, aurat biasa, yaitu bagian tubuh antara pusat dan lutut.
Bagi laki-laki terhadap sesamanya atau terhadap perempuan mahramnya kecuali
istrinya. Ketentuan ini juga berlaku bagi perempuan terhadap laki-laki bukan
mahramnya kecuali suaminya. Ali Yafie menambahkan khusus bagi perempuan,
seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan, adalah aurat terhadap
laki-laki bukan mahramnya.
Ali Yafie mengakui bahwa budaya berpakaian adalah cirri
peradaban manusia sebagai makhluk terhormat. Ia menambahkan bahwa standar
berpakaian adalah takwa (pemenuhan ketentuan-ketentuan agama Islam mengakui
adanya kecenderungan manusia untuk memilih makanan dan pakaian yang baik serta
indah karena itu adalah fitri bagi manusia. Namun diperingatkan dalam memilih
yang indah itu tidak boleh berlebih-lebihan, karena Allah tidak senang kepada
mereka yang berfoya-foya. Lebih jauh lagi Ali Yafie mengatakan bahwa seorang
wanita dalam berpakaian supaya tidak seperti wanita murahan pesolek yang dapat
mengundang orang untuk melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh syari'at.[24]
Adapun penalaran fikih dalam persoalan pakaian—lanjut Ali
Yafie—menitikberatkan pada fungsinya dalam etika pergaulan di lingkungan
keluarga dan masyarakat ramai, inilah yang merupakan soal pokoknya (ghayah).
Menurutnya, bahkan bentuk dan modelnya merupakan washilah atau sarana
untuk mewujudkan fungsi itu. Dengan demikian pakaian orang beriman tidak
terikat oleh mode, bentuk, bahkan warnanya, yang penting dibenarkan oleh hukum
Islam.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat di ambil beberapa pemikiran Ali
Yafie dalam bidang fikih, maka dapat disimpulkan bahwa di sini Ali Yafie
mencoba memahami ajaran Islam, – paling tidak –
dengan beberapa pendekatan :
1. Memadukan Teks/nash dengan Nalar
2. Memadukan Teks dengan realitas.
3. Memadukan teks dengan Maslahah
Dengan beberapa pendekatan tersebut, menjadikan fikih lebih konteksual
dan lebih mengarahkannya pada persoalan yang lebih bersifat sosial. Ia
menguraikannya secara argumentatif-normatif pada beberapa bagian tertentu yang
telah menjadi konvensi dunia dan pada hakekatnya bersumber dari ajaran Islam,
seperti HAM, lingkungan hidup, busana dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Yazid, Nalar dan Wahyu interrelasi dalam proses
pembentukan Syariat, Jakarta : Airlangga, 2007.
al-Nadwi,
Ali Ahmad, al-Qawai’id al-Fiqhiyyah, Damaskus: Dar al-Qalam, 1991.
al-Qaradhawi, Yusuf, al-sunnah Mashdaran li ma’rifah al-hadharah, Kairo
: Dar al-Syuruq, 1997.
An-na’im, Abdullahi Ahmed, Dekonstruksi Syari’ah, Yogjakarta: LKIS,
1994.
Arifi, Ahmad, Pergulatan pemikiran
Fikih “tradisi’ pola Mazhab. Yogjakarta : Elsaq, 2010.
Azizy,
A. Qodri A., Reformasi Bermazhab Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Sesuai
Saintifik Modern, Jakarta: Teraju, 2003.
Baqi, Muhammad Fuad Abdul, Al-Mu`jam
Al-Mufahras li Alfadz Qur’an, Kairo : Dar al-Hadis, 1346H.
Bruisnessen, Martin Van, Kitab
Kuning Pesantren dan Tarekat, Bandung : Mizan, 1995.
Fuad, Mahsun, Hukum Islam Indonesia,
Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, Yogjakarta, LKIS, 2005
Hanafi, Hasan, Islamologi I : Dari
Teologi Statis ke Anarkis, Terj. Miftah Faqih, Yogyakarta : LkiS, 2003.
Mahfud, Sahal, Menggagas Fikih
Sosial, Yogjakarta : LKIS, 2004
Mas’udi, Masdar F., Meletakkan
Kembali Mashlahah sebagai Acuan Syari’at, dalam jurnal Ulumul Qur’an,
No.3, Volume VI, 1995.
Rahman,
Jamal D. (et.al.), Wacana Baru Fikih Sosial: 70 Tahun K.H. Ali Yafie,
Bandung: Mizan, 1997.
Rofiq,
Ahmad, Fikih Kontekstual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004.
Syufa’at, Hegemoni Politik dan
tertutupnya pintu ijtihad, Jurnal Ibda’ STAIN Purwokerto, Vol 3, No. 1,
Jan-Jun, 2005.
Yafie,
K.H. Ali, Menggagas Fikih Sosial, Bandung: Mizan, 2000.
INTERNET
[1] Abu Yazid, Nalar dan Wahyu Interrelasi dalam Proses
Pembentukan Syariat, (Jakarta : Airlangga, 2007), 66-67.
[2] Ahmad Rofiq,
Fikih Kontekstual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004),
5.
[3] Hasan Hanafi, Islamologi I :
Dari Teologi Statis ke Anarkis, Terj. Miftah Faqih, (Yogyakarta : LkiS,
2003). 160-177
[4] Menurut Abdillah Ahmad An-Na’im,
hal ini disebabkan oleh adanya kesulitan-kesulitan dalam memadukan pola
pemikiran fikih klasik dan fikih kontemporer dalam beberapa hal, antara lain
yang berkaitan dengan hukum publik, konstitusionalisme modern, hukum pidana,
hukum internasional modern serta Hak Asasi manusia. Baca : Abdullahi Ahmed
An-na’im, Dekonstruksi Syari’ah, (Yogjakarta:
LKIS, 1994).
[5] Syufa’at, Hegemoni Politik
dan tertutupnya pintu ijtihad, Jurnal Ibda’ STAIN Purwokerto, Vol 3, No. 1,
Jan-Jun, 2005, 84.
[6] Sahal Mahfud, Menggagas Fikih
Sosial, (Yogjakarta : LKIS, 2004),
[7] Martin Van Bruisnessen, Kitab
Kuning Pesantren dan Tarekat, (Bandung : Mizan, 1995), 112
[8]
http://id.wikipedia.org/wiki/Ali_Yafie
[9] www.tokohindonesia.com
[10] Jamal D. Rahman, at all Wacana
Baru Fiqih Sosial: 70 Tahun K.H. Ali Yafie,
(Bandung: Mizan, 1997),
8.
[11] Mahsun Fuad, Hukum Islam
Indonesia, Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, (Yogjakarta,
LKIS, 2005), 62-95.
[12] Masdar F. Mas’udi, Meletakkan
Kembali Mashlahah sebagai Acuan Syari’at, dalam jurnal Ulumul Qur’an,
No.3, Volume VI, 1995, 95.
[13] Ahmad Arifi, Pergulatan
pemikiran Fiqih “tradisi’ pola Mazhab. (Yogjakarta : Elsaq, 2010), 11-12.
[14] Yusuf al-Qaradhawi, al-Sunnah Mashdaran li ma’rifah al-hadharah, (Kairo
: Dar al-Syuruq, 1997), 40.
[15] Azizy, A.
Qodri A, Reformasi Bermazhab Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Sesuai Saintifik
Modern, (Jakarta: Teraju, 2003),
73-76.
[16] Ali Yafie, Menggagas
Fiqih Sosial: dari Soal Lingkungan Hidup,
Asuransi hingga Ukhuwah (Bandung: Mizan, 2000), 21.
[18] Ali Yafie, Menggagas
Fiqih Sosial…, 161
[19] Ibid, 162.
[21] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu`jam
Al-Mufahras li Alfadz Qur’an, (Kairo : Dar al-Hadis, 1346H), 331-332.
[22]
Ibid, 132.
[23] Ibid, 250.
[24]
Ibid.