Al-qur’an adalah kitab suci umat islam yang telah dijamin penjagaannya oleh Allah SWT. Sebagai sumber hukum, kitab ini tak seperti yang kita jumpai saat ini. Dalam catatan sejarah, dulunya kitab ini hanya tercatat dalam ingatan setiap mu’min Madinah. Dengan dasar tersebut, maka makalah ini kami susun. Namun dengan segala batas kemampuan kami, maka makalah ini begitu jauh dari kesempurnaan. Sehingga, kritik dan saran sangat kami harapkan sebagai penyempurna. Dan semoga makalah ini bermanfaat, amiin.
A. Pengertian Al-Qur’an
Secara Bahasa (Etimologi)
Al-Qur’an merupakan mashdar (kata benda) dari fi’il (قرأ) yang bermakna (تَلاَ) [keduanya berarti: membaca], atau bermakna (جمع)[mengumpulkan, mengoleksi]. Anda dapat menuturkan (قَرَأَ,قَرْءًا, وَقُرْآنًا) sama seperti (غَفَرَ,غَفْرًا,غُفْرَانًا) [1].
Secara Syariat (Terminologi)
Telah disepakati oleh para ulama ahli Quro’ bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah yang bernilai mukjizat, yang diturunkan kepada “pungkasan” para nabi, dengan perantara malaikat jibril a.s. yang tertulis pada mashahif. Diriwayatkan kepada kita dengan mutawattir. Membacanya terhitung ibadah. Diawali dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Naas[2].
B. Sejarah Pembukuannya
Al-Qur’an dikumpulkan pada dua masa, masa Rasulullah SAW, dan masa Khulafaur Rasyidin.
1. Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Rasulullah SAW.
Madinah menjadi tempat kondusif untuk mengajarkan Al-Qur’an. Tidak seperti di Makkah, pengajaran Al-Qur’an di Madinah berkembang pesat. Para sahabat begitu bersungguh-sungguh mempelajarinya, jarak yang jauh tak menghalangi mereka.
Pada masa Rasulullah, penjagaan Al-Qur’an dilakukan dengan dua cara: Al-jam’u fi al-shuduur (dihafal) dan al-jam’u fi al-shuthuuf (ditulis).
a. Al-Jam’u fi al-shudur
Setiap menerima wahyu, Rasulullah segera menyampaikannya kepada para sahabat untuk kemudian mereka hafal. Ibnu Jauzi berkata, “Al-Qur’an diwariskan dari generasi ke generasi dengan hafalan dan bukan dalam bentuk mushaf. Ini adalah anugerah umat ini.”
Pada masa Rasulullah, menghafal Al-Qur’an adalah perhatian utama para sahabat. Mereka akan malu jika tidak menghafal Al-Qur’an. Tak heran jika ada riwayat yang mengatakan bahwa pada saat itu, di Madinah, hanya 4 sampai 6 orang saja yang tidak hafal Al-Qur’an.
b. Al-Jam’u fi al-shuthur
Pada masa Rasulullah , penulisan Al-qur’an sudah dilakukan. Secara terpisah-pisah, ayat-ayat Al-Qur’an telah tercatat dalam mushaf-mushaf. Tak sedikit riwayat yang membuktikan hal itu. Para penulis adalah orang-orang pilihan diantara sahabat, yang ditunjuk langsung oleh Rasulullah.
Pada masa-masa pencatatan wahyu, Rasulullah melarang para sahabat mencatat selain ayat-ayat Al-qur’an untuk menghindari penyaruan. Para ulama’ sepakat bahwa pengumpulan Al-Qur’an adalah bersifat taufiqi bukan ijtihadi.
2. Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Khulafaur Rasyidin
a. Masa Abu Bakar R.A
Pada masa Abu Bakar terjadi perang Yamamah, banyak para quraa’ dan huffazh yang gugur, atas saran Umar Ibn Khaththab, kemudian Abu Bakar membentuk panitia kodifikasi Al-Qur’an dengan menunjuk Zaid Ibn Tsabit sebagai ketuanya. Sebelum panitia kodifikasi mulai bekerja, Abu Bakar berpesan kepada Zaid, yaitu: catatan yang ada harus sesuai dengan hafalan para sahabat, dan catatan itu dapat dipastikan atas perintah Rasulullah.
Abu Bakar kemudian menyerukan kepada kaum muslimin agar siapapun yang memegang catatan ayat Al-Qur’an segera menyrahkannya kepada Zaid untuk diseleksi. Panitia kodifikasi pimpinan Zaid berhasil menghimpun catatan Al-Qur’an yang tersebar dalam berbagai media itu, dalam waktu satu tahun dan disebut dengan Al-Mushaf Al-Syarif . Abu bakar kemudian menyimpan mushaf itu, dan sebelum meninggal ia serahkan kepada Umar, setelah Umar meninggal, putrinya, Hafshah yang menyimpan mushaf itu.
b. Masa Utsman Ibn Affan
Pada masa Utsman ibn Affan terjadi banyak perselisihan tentang pelafalan Al-Qur’an, sehingga Utsman berinisiatif menggandakan mushaf hasil kodifikasi panitia pimpinan Zaid, untuk kemudian disebarkan ke semua wilayah Islam. Selain itu Utsman juga membakar semua naskah yang berbeda dengan mushaf hasil kodifikasi Zaid. Usaha Utsman tersebut berhasil meredam perselisihan tentang pelafalan Al-Qur’an.
c. Masa Ali Ibn Abu Thalib dan Masa-Masa Selanjutnya
Pada masa Khalifah Ali, Ali berinisiatif membubuhkan tanda baca (nuqath I’rab) pada ayat-ayat Al-Qur’an untuk memudahkan pembacaan, Ali memercayakan urusan itu kepada seorang ahli tata bahasa bernama Abu al-Aswad al-Du’ali[3]. Sedangkan orang yang pertama kali membuat tanda titik untuk membedakan huruf-huruf dengan bentuk sama (nuqathu harf, semisal pada huruf “ba’, ta’ dan tsa’ “) adalah Nashr ibn Ashim (w. 89H) atas usulan Hajaj ibn Yusuf al-Tsaqafi, salah seorang gubernur dinasti Daulah Umayyah (40-95 H)[4]. Sedangkan tanda syakal diperkenalkan oleh Al-Khalil ibn ahmad al-Farahidi (w. 170 H).
Pada masa Al-Makmun upaya mempermudah pembacaan Al-Qur’an terus dikembangkan, pada masa itulah tanda baca tajwid diciptakan. Tak hanya itu simbol-simbol yang memperjelas ayat-ayat juga diciptakan. Seperti tanda waqaf dan nomor ayat, serta identitas di awal setiap surah. Sampai abad ke-16 M, penulisan Al-Qur’an masih menggunakan tangan sampai kemudian terciptalah mesin cetak. Dan, pada tahun 1694 M, di Hamburg, untuk pertama kalinya Al-Qur’an ditulis dengan mesin cetak[5]. Dan seterusnya, penulisan al-Qur’an terus mengalami perkembangan, pada saat ini banyak kita jumpai al-Qur’an dengan berbagai bentuk dan model. Ada yang berupa digital hingga yang dilengkapi dengan mesin pencari surat dan ayat.
Penulisan Al-Qur’an sebenarnya sudah dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW masih hidup, namun pada masa itu penulisannya masih di media yang sangat sederhana, yakni berupa pelepah kurma yang sudah kering, di batu, di kulit binatang, dan lain sebagainya. Sedangkan untuk pengumpulannya menjadi satu bentuk buku dimulai pada waktu Khalifah Abu Bakar dan memerlukan waktu kurang lebih 1 Tahun, dan kemudian diteruskan oleh Khalifah Utsman Ibn Affan. Setelah masa Khulafaur Rasyidin penulisan Al-Qur’an semakin berkembang pesat, dengan adanya pembubuhan tanda baca berupa titik, dan syakal; serta adanya penambahan hiasan-hiasan, dan adanya identitas surat (Madaniyah, Makiyah, jumlah ayat, no urut surat dan no urut ayat). Seiring dengan arus zaman, penulisan Al-Qur’an terus berkembang, sampai saat ini, banyak kita temukan Al-Qur’an dengan wujud digital ataupun software, dengan mesin pencari surat, dan ayat; serta tak jarang yang dilengkapi dengan terjemahannya.
Demikian makalah ini kami buat, meskipun sangat jauh dari kesempurnaan. Tapi kami berharap semoga bermanfaat bagi kita semua. Amiin.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Shobuni, Syeikh Muhammad Ali, al-Tibyaan fii ‘uluumi al-Qur’an. Jakarta: Dar al- kutub, 2003
Al-Mu’thi, Fathi Fawzi ‘Abd, Detik-detik Penulisan Wahyu. Jakarta: Zaman, 2009
Muhammad Qodirun Nur dan Masruhan, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis. Jakarta: Pustaka Amani, 2001
[2] Syaikh Muhammad ‘Ali Ash-shobuni, Tibyaan Fii ‘uluumi al-Qur’an, hal 8; U 2X1.1 Sha t, Makkah Alim al Kalam [s.a];No. Induk. 200007977
[3] Sebagian berpendapat bahwa yang berinisiatif memberi tanda baca I’rob adalah Muawiyah ibn Abi Sofyan.
[4] Sebagian riwayat menyebutkan bahwa: Abdul Malik bin Marwan memerintahkan kepada Al-Hajjaj (Gubernur Iraq saat itu), kemudian Al-Hajjaj meminta Nashr ibn Ashim dan Hay ibn Ya’mar untuk membubuhkan tanda titik pada huruf yang sama bentuknya.