Musthalah al-Hadits

BAB I
PENDAHULUAN

Al-Hadits merupakan salah satu warisan yang telah ditinggalkan oleh Nabi Muhammad kepada ummatnya untuk dapat menjadikannya pedoman setelah Al-Qur’an, sehingga kedudukan Hadits menjadi penting sebagai rujukan pengambilan Hukum Islam setelah Al-Qur’an .
Untuk dapat menentukan apakah sebuah Hadits layak untuk menjadi rujukan dalam hukum islam , tentu memerlukan suatu cabang Ilmu yang lazim disebut Ilmu Ushulul Hadits atau Ilmu Hadits, Dengan Ilmu tersebut kita dapat menggali sumber-sumber Hukum Islam yang banyak terkandung dalam Hadits. Disamping sebagai sumber kedua dalam hukum Islam Hadits juga sebagai media dalam memahami Al Qur’an karena tidak sedikit ayat-ayat Al Qur’an yang masih bersifat Global dijelaskan dalam Hadits Nabi.

BAB II
PEMBAHASAN
A.     Ilmu Mushthalah Hadits
1.    Definisi Ilmu Mushthalah Hadits
Ilmu Mushthalah Hadits ialah : Undang-undang (Kaidah) untuk mengetahui hal ihwal tentang Sanad, Matan, cara-cara menerima dan menyampaikan Hadits, sifat-sifat Rowi (Orang yang meriwayatkan) dan lain sebagainya.[1]
Manfaat dari pembelajaran Ilmu Mushthalah Hadits ialah : mengetahui mana Hadits yang diterima, dan mana yang Hadits yang ditolak.
Dengan kita mengetahui diterimanya sebuah Hadits maka kita mengetahui Hadits yang bisa dibuat pedoman pengambilan Hukum Syara’ atau menjelaskan Hukum yang masih bersifat umum yang banyak terdapat dalam Al Qur’an. Dan dengan kita mengetahui tertolaknya maka kita mengetahui Maudlu’ dan Dloifnya sebuah Hadits yang mana tidak bisa kita buat pedoman dalam mengambil (Istimbat) hukum Syara’
Objek pembelajaran Ilmu Mushthalah Hadits ialah: Meneliti  keabsahan para Rawi (orang yang meriwayatkan) seperti Keadilan Rowi, Kedlabitannya, dan keadaan Marwinya (Sanad dan Matannya) apakah sanadnya terputus atau ada yang ganjil dalam matan tersebut.[2]
2.    Sejarah Terbentuknya Mushthalah Hadits
Sejarah penulisan hadits telah dimulai sejak abad ke II yang dipelopori oleh Imam Az Zuhry (51-124 H) pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, tetapi pada masa itu belum tercipta satu system yang sistematis dan belum ada kodifikasi dalam hadits.
Adapun yang pertama menyusun secara sistematis ialah Ar Ramahurmuzi (360H) dalam kitabnya yang berjudul “ Al Muhadditsul Fashil Baina Rowi Wa As Sami’ “setelah itu  Al Hakim Abu Abdillah An Naisaburi (321-405 H) “ Ma’rifatu Ulumil Hadits “kemudian Abu Nu'aim Ahmad bin Abdillah al asfahani( 336-430 ) dengan kitab " Al Mustakhraj 'ala Ma'rirfah Ulum al Hadits " kemudian Al Khatib Al Baghdadi (463 H) dengan kitabnya yang terkenal " Al Kifayah fi Qowaanin ar Riwayah & Al Jami’ Li Adabi As Syaih Wa As Sami’ “  kemudian Al Qadli “Iyadl bin Musa al Yahshibi (544 H) menyusun Kitab “ Al Ilma’ fi Dhabth ar Riwayah “ yang pembahasannya banyak mengambil dari kitab-kitab milik Al Baghdadi sesudah itu Abu Hafsh Umar bin Abdul Majid  al Mayanji  ( 580 H) dengan kitabnya " Mala Yasi'u al Muhaddits Jahluh " setelah itu datanglah Al Hafidz Ibnu Shalah Ad Damasyqi’ (642 H)  menyusun Kitab Ulumul Hadits yang lebih dikenal dengan  Muqaddamah Ibnu Shalah” . Kitab ini oleh para ulama berikutnya dijadikan pegangan oleh ulama generasi berikutnya.
Kemudian banyak kitab-kitab Musthalah Hadits ditulis baik dalam bentuk prosa seperti Alfiyah Suyuthi maupun Natsar seperti Manhaj Dzawin Nadhar karya salah satu ulama Indonesia dari Termas Pacitan, Syaikh Muhammad Atturmusy [3] 

B.    Bidang Pembahasan
Pokok-pokok pembahasan Ilmu Hadits Dirayah ialah :
1.      Macam-macam Hadits
2.      Sifat-sifat Rowi (Jarh wa Ta’dil)
3.      Cara-cara Penerimaan dan menyampaikan Hadits
4.      Nama-nama Perawi ( Rijalul Hadits)
Dari pembagian diatas dapat diambil kesimpulan bahwasanya Ilmu Mushthalah Hadits membahas tentang pembagian Hadits dari sisi Shahih, Dha’if, Hasan, dan bagian-bagianya, serta menerangkan Syarat-syarat yang diperlukan para Rawi, Marwi dan persoalan yang mengenai Illat dan lain sebagainya.[4]
      5.     Ilmu-Ilmu Ulumul Hadits
sebagaimana diketahui bahwa sanad itu ialah rawi-rawi hadits yang dijadikan sandaran oleh pentakhrij hadits dalam mengemukakan suatu matan hadits. Nilai suatu hadits sangat dipengaruhi oleh hal-hal, sifat-sifat. tingkah laku, biografi, dan cara menerima dan menyampaikan hadits dari para rawi.
mengetahui hal tersebut, perlu sekali dan memberi faedah yang berguna. Seorang penuntut ilmu hadits belum dianggap sempurna jika belum mendalami ilmu-ilmu yang berhubungan dengan  matan hadits atau sanad
Ilmu-ilmu yang berhubungan dengan matan atau sanad terbagi menjadi sepuluh macam :
Ilmu Rijalil Hadits
Ilmu Rijalil Hadits ialah : ilmu yang dalam pembahasannya membicarakan hal ihwal dan sejarah kehidupan para rawi dari golongan sahabat,tabi'in dan tabi'it tabi'in
Ilmu Tarikhur Ruwah
Ilmu  Tarikhur ruwah ailah : ilmu untuk mengetahui para rawi dalam hal-hal yang bersngkutan dengan meriwayatkan hadits karena itu ia mencakup keterangan tentang ihwal para rawi, tanggal lahir, tanggal wafat, guru-gurunya, tanggal kapan mendengar dari gurunya, orang-orang yang berguru kepadanya kota dan kampong halamannya, perantauannya, tanggal kunjunga ke negeri yang berbeda-beda dan lain sebagainya yang banyak berhubungan  dengan masalah perhaditsan.
Kitab-kitab Ilmu Tarikhu Ruwah
1.  At Tarikhu Al kabir : karya Imam Muhammad bin isma'il al Bukhori(194-252 H)
2.  Tarikh Naisabur : Imam Muhammad bin Andullah al hakim an Naisaburi ( 321-405 H)
3.  Tarikh Baghdad : Abu baker ahmad ali al Baghdadi yang lebih dikenal dengan Al Khatib Al  Baghdadi (392-469 H )
4.  Tahdzibul Kamal : Al Hafidh Jamaluddin Abibl Hajjaj Yusuf al Mizay Ad Dimasyqy ( 654-742 H)

 Ilmu Thabaqah
Ilmu Thabaqah ialah : ilmu yang dalam pokok pembahasannya diarahkan kepada kelompok  orang-orang yang berserikat dalam  satu alat pengikat yang sama
Kitab kitab Ilmu Thabaqah
1.  At thabaqutul kubra : Al Khatib Al Waqidy( 168-230 H)
2.   Thabaqatur Ruwah : Abu 'Amr khalifah bin khayyath asy Syaibani (240)
3.  Thabaqotut Tabi'in : Imam Muslim  bin Hajjaj al Qusyairi (204-261 H)
4.  Thabaqutul Muhadditsin war Ruwah : Nu'aim ahmad bin Abdullah bin ahmad al Ashbihany (336-430 H)
5.                Thabaqotul Huffadh : Al Hafidh Syamsudin adz dzahaby (673-748 H)
6.                Thabaqotul Huffadh : Jalaluddin As Suyuthi (849-911 H)
Ilmu Jarhi Wat Ta'dil
Ilmu Jarhi Wa Ta'dil ialah : ilmu yang membahas hal ihwal para rawi dari segi diterima atau ditolak periwayatnnya
Kitab kitab Ilmu Jarh wa Ta'dil
1.                ma'rifatur Rijal :  yahya bin Ma'in
2.                Ad Dluafa' : Imam Muhammad bin isma'il al Bukhori (194-252 H)
3.                At Tsiqah : Abu hatim bin Hibban Al Busty ( 304 H)
4.                Al Jarhu wa Ta'dil : Abdurrohman bin Abi Hatim ar Razy (240-326 H)
5.                Mizanul I'tidal : Imam   Syamsudin   Muhammad    Adz Dzahaby     (673-748 H)
6.                Lisanul Mizan : Al hafidh Ibnu Hajar Al Asyqalany (773-852 H)
Ilmu Gharibil Hadits
Ilmu Gharibil Hadits ialah : ilmu pengetahuan untuk mengetahui lafadh-lafadh dalam matan hadits yang dan sukar difahami karena jarang sekali digunakan
Kitab kitab Ilmu Gharibil Hadits
1.                Gharibil hadist : Abu Ubaid al Qosim bin Salam (157-224 H)
2.                Al Faiqu fi Gharibil Hadits : Abul Qosim Jarullah Mahmud bin Umar az Zumahksyary (468-538 H)
3.                An Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar: Imam Majdudin Abissa'adat al Mubarok bin Muhammad (Ibnul Atsir) al Jazary (544-606 H)
Ilmu Asbabi Wurudil Hadits
Ilmu Asbabi Wurudil Hadits ialah : ilmu pengetahuan yang menerangkan sebab lahirnya hadits
Kitab kitab Ilmu Asbabi Wurudil Hadits
1.                Al Bayan wat Ta'rif fi asbabi wurudil haditsisy as Syarif: as Sayyid Ibrahim bin Muhammad bin Kamaluddin yang ;ebih dikenal dengan Ibnu Hamzah al Husaini (1054-1120 H)
Ilmu Tawarikhul Mutun
Ilmu Tawarikhul Mutun ialah : ilmu yang menitik beratkan pembahasannya kepada kapan atau diwaktu apa hadits itu diucapkan atau perbuatan itu dilakukan oleh Rusalullah
Kitab kitab Ilmu Tawarikhul Mutun
1.                Mahashilul isthilah : Imam Sirojuddin Abu Hafsh amar bin salar Al Burqiny
Ilmu Nasikh Mansukh
Ilmu Nasikh Mansukh ialah: ilmu yang membahas Hadits-hadits yang saling berlawanan maknanya yang tidak mungkin dapat dikompromikan dari segi hukum yang terdapat pada sebagiannya karena ia sebagaiNasikh (penghapus) terhadap hukum yang terdapat pada sebagaian yang lain, karena ia sebagai yang Mansukh (dihapus). Karena itu hadits yang mendahului adalah sebagai hadits mansukh dan hadits yang terakhir adalah sebagai nasikh.
Kitab-kitab Ilmu Nasikh Mansukh
1.                Nasikhul Hadits Wa mansukhuhu : Al Hafidh Abu Bakar Ahmad Muhammad Al Astran (261 H)
2.                Nasikhul Hadits Wa mansukhuhu : Abu Hafshin bin Ahmad al Baghdady yang lebih dikenal dengan Ibnu Syahin (297-385H)
3.                Al I'tibar fi Naskh wa Mansukh : Al Hafidh Abu Bakar Muhammad bin Musa al Hazimy (548-584 H)
Ilmu Mukhtaliful Hadits
Ilmu Mukhtaliful Hadits ialah : Ilmu yang membahas hadits hadits yang menurut dlahirnya saling berlawanan, untuk menghilangkan perlawanan itu atau mengkompromikan keduanya, sebagaimana halnya membahas Hadits-hadits yang sukar dipahami atau diambil isinya, untuk menghilangkan kesukaran dan menjelaskan hakikatnya.
Kitab-kitab Ilmu Mukhtaliful Hadits
1.                Ta'wilul Mukhtaliful Hadits : Al Hafidh Abdullah bin Muslim bin Qutaibah Ad Dainury (213-276)
2.                Musykilul Atsar : Imam Abu Ja'far  Ahmad bin Muhammad At Thahawy (239-321 H)
3.                Muskilul Hadits wa Bayanuhu : Abu Bakr Muhammad bin Al Hasan(Ibnu Furak) al Anshary Al Asybihany (406 H)
Ilmu Ilalil Hadits
Ilmu Ilalil Hadits ialah :ilmu yang membahas tentang sebab-sebab yang samara-samar lagi tersembunyi dari segi membuat kecacatansuatu hadits, seperti memuttashilkan sanad suatu hadits yang sebenarnya sanad itu munqhoti', merafa'kan(mengangkat samapai kepada Nabi) berita yang yang mauquf(yang berakhir pada sahabat), menyisipkan suatu hadits pada hadits yang lain, meruwetkan sanad dengan matannya dll.
Kitab-kitab Ilmu Ilalil Hadits
1.                At Tarikh wal Ilal : Imam Al Hafidh  Yahya bin Ma'n (258-233H)
2.                Ilalul Hadits : Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H)
3.                Al Musynadul Mu'allal : Al Hafidh Ya'qub bin Syaibah as Sudusy Al Bashry (182-279)
4.                Al Ilal : Imam Muhammad bin Isa At Turmudzy (209-279 H)
5.                Ilalul Hadits : Al Hafidh Abdurrahman bin Abi Hatim  Ar Razy        ( 204-327 H)
6.                 Al Ilal al Waridah fil Ahaditsin Nabawiyah :  Al Hafidh Ali bin Umar as Daruquthny ( 306-375 H)[5]

B. PERIWAYATAN
1.     Pengertian Periwayatan
Riwayat adalah menyampaikan atau menceritakan suatu Hadits kepada orang lain baik pria maupun wanita. Orang yang memberitakan atau yang menyampaikan Hadits disebut Rawi yang dalam bentuk Jamaknya Ruwah, adapun perbuatan menyampaikan atau menceritakan sebuah Hadits dinamakan merawikan Hadits.
2.    Syarat-Syarat Periwayatan
Kebanyakan Ahli Hadits sepakat memberlakukan dua syarat pokok kepada para rawi yang meriwayatkan sebuah hadits, yaitu :
1.  Keadilan : maksudnya bahwa rawi itu hendaknya Muslim, Baligh, berakal, tidak selalu melakukan perbuatan dosa besar, atau membiasakan melakukan dosa-dosa kecil dan dan tidak melakukan tindakan yang bisa menurunkan martabatnya.
2. Dlabit : maksudnya tidak bertentangan dengan orang-orang yang sudah terpercaya dan Rawi benar-benar menghafal apa yang didengarnya dan sanggup mengemukakan hafalannya kapan saja.[6]
Dengan apa penetapan keadilan, kecacatan ?
Keadilan dapat ditetapkan dengan salah satu dari dua perkara :
a. Dengan penentuan orang yang adil artinya bahwa Ulama-ulama Hadits mengatakan bahwa ia sebagai orang yang adil, atau salah satu dari Ulama mengatakan ia adil.
b. Dengan pengetahuan dan kemasyhuran, maka barang siapa yang telah terkenal keadilannya diantara para ahli hadits dan telah banyak yang memujinya, seperti Imam empat. Sufyan Attsauri al Auza'I dll.
Penetapan kedlabitan rawi juga dapat ditentukan dengan cara : periwayatan rowi banyak yang sama dengan periwayatan kebanyakan Muhadditsin[7]
3.      Persamaan dan Perbedaan Kesaksian Dan Periwayatan
Antara kesaksian (syahâdah) dan periwayatan (riwâyah) merupakan dua fakta yang berbeda, sekalipun terdapat garis persamaan pada bagian-bagian tertentu. Dari segi fakta, periwayatan (riwâyah) bergantung pada Penukilan dari orang yang adil serta kuat hafalan dari orang yang sejenis mulai dari sumber berita yang pertama hingga terakhir.Tidak memerlukan batas minimal,juga tidak ada larangan anak meriwayatkan dari orang tua dan saudaranya. Berbeda dengan fakta kesaksian (syahâdah). Kesaksian disamping harus ada syarat sifat adil dan terpenuhinya batas minimal, juga tidak dibenarkan anak menjadi saksi orang tua dan saudaranya. Disamping harus pada masa yang sama kesaksian harus diberikan berdasarkan kesaksian mata atau telinga secara langsung, bukan karena mendengar penuturan orang lain.
Dalam periwayatan, disamping adil, kuat hafalan, juga ada syarat sanad-nya mesti bersambung hingga perawi terakhir. Ini berbeda dengan kesaksian, yang tidak perlu syarat mesti kuat hafalan dan tidak adanya keterputusan sanad, karena itu saksi adalah orang yang secara langsung melihat atau mendengarkan kasus.selain itu hakikat kesaksian adalah memenuhi pembuktian di hadapan hakim, agar suatu kasus yang dibuktikan itu menjadi jelas bagi hakim tersebut, yang dengan begitu, hakim dapat mengambil keputusan hukum. Kesaksian tidak boleh diwakilkan atau dinukilkan melalui orang lain. Fakta ini juga berbeda dengan periwayatan.
Dengan demikian menyamakan kesaksian dengan periwayatan adalah cara berfikir yang simplikatif dan ngawur, yang menunjukan ketidakcukupan perangkat ilmu atau dengan sengaja merancang kebohongan atas nama obyektifitas. Sungguh absurd.
Kesaksian adalah menyatakan apa yang dilihat atau yang didengar, bukan menyatakan tentang berita yang didengar atau dilihat. Berita yang didengar atau dilihat, yang kemudian disampaikan kepada orang lain, bisa bohong ataupun benar, sedangkan apa yang dilihat dan didengar pasti benar, jika dibuktikan dengan batas minimal saksi yang representatif. Ini berbeda dengan berita, sekalipun jumlah pembawa berita tersebut kuantitasnya sangat banyak, nilai berita tersebut tetap ada dua kemungkinan, bisa benar dan salah, bergantung pada kredibilitas pembawa beritanya. Karena itu, kesaksian dengan periwayatan jelas berbeda.
  Memang, ada garis persamaan antara kesaksian dan periwayatan, yakni sama-sama memerlukan syarat adil. Akan tetapi, tetap perlu dibedakan, bahwa adil dalam kasus periwayatan mempunyai kualifikasi yang berbeda dengan adil dalam kasus kesaksian. Adil dalam periwayatan berarti Muslim, berakal, serta selamat dari sebab-sebab kefasikan dan terkikisnya muru‘ah (kehormatan diri). Sebaliknya, adil dalam kasus kesaksian berarti konsisten, yakni bersikap preventif terhadap apa yang dianggap orang sebagai tidak konsisten. Karena itu, seorang saksi tidak mesti Muslim, tetapi boleh non-Muslim, dalam kasus yang oleh syariat ditetapkam boleh untuk diberikan kesaksian oleh orang non-Muslim. Berbeda dengan periwayatan yang mesti diriwayatkan hanya oleh seorang Muslim.
4.      Cara-cara  Menerima Riwayat
Cara menerima riwayat terbagi menjadi 8 bagian :
1.       As-Sima’ min lafdzi As Syaikhi : mendengar, dari gurunya, baik secara didikte maupun bukan, dan baik dari hafalannya maupun tulisannya
2.       Al qiro’ah ala As Syaikhi : membacakan sebuah Hadits kepada Guru, baik yang membaca dia sendiri atau orang lain yang membaca tapi dia mendengarkannya.
3.       Al Ijazah al khossoh al mu’ayyanah : izin seseorang kepada orang lain untuk meriwayatkan hadits. Dengan dua persyaratan :
    • seorang Mujiz ( orang yang memberikan ijazah) mengetahui apa yang terkandung dalam Kitab yang diijazahkan.
    • Mujaz Lah (orang yang diijazahi) harus betul-betul memahami.
4.      Al Munawalah : seorang guru menyerahkan naskah asli kepada murid atau salinan yang sudah dikoreksi untuk diriwayatkan, baik untuk diberikan atau sekedar dipinjamkan, atau seorang murid menyerah naskah asli atau salinan kepada sang guru untuk diteliti keabsahan naskah tersebut untuk diriwayatkan. Dengan syarat harus ada Izin dari guru untuk meriwayatkan.
5.      Al Mukatabah : seorang guru menulis sendiri beberapa hadits atau orang lain tapi dengan izin kepada orang ditempat lain atau orang yang di hadapannya.
6.      Al Wijadah : Memperoleh tulisan dari orang yang ia kenal yang dia belum pernah meriwayatkan hadits darinya baik dengan lafadh,qiro'ah,selainnya
7.      Al Washiyah bil Al kitabah : Pesan tertulis seseorang kepada keluarganya untuk seseorang ketika ia akan meninggal dunia atau ia akan bepergian.
8.      Al I’ilam : Pemberitahuan seorang guru kepada muridnya bahwasanya saya meriwayatkan kitab ini dari fulan, dengan syarat ada izin untuk meriwayatkan.[8]
4.     Lambang-Lambang Yang Digunakan
Dimuka telah diketahui bahwa karena perbedaan cara-cara perawi menerima hadits dari guru yang memberikan, maka berbeda pula lafadh-lafadh yang dipakai untuk menyampaikan hadits.
Secara garis besar Lafadh-lafadh untuk menyampaikan hadits, itu dapat dikelompokan kepada dua kelompok yakni :
Pertama : lafadh meriwayatkan hadits bagi para rawi yang mendengar lansung dari gurunya. lafadh-lafadh itu tersusun sebagai berikut :
سمعت سمعنا
Lafadh ini menjadikan nilai hadits yang diriwayatkan tinggi martabatnya
Kemudian
حدثنا حدثني
Lafadh tahdits ini oleh jumhur kadang-kadang dirumuskan dengan
ثني, ني, وثني, وثنا , نا, دثنا
 dibawah Tahdits
اخبرني, اخبرنا
Lafadh ikhbar ini oleh para muhadditsin dirumuskan dengan
انا, ارنا, ابانا, اخانا
Kemudian
انبعنا , نبعنا
kedua lafadh ini jarang sekali pemakaiannya
terakhir
ذكر لي فلان, ذكر لنا فلان
disamping lafadh-lafadh diatas kadang kita jumpai
قال حدثنا ber arti  فثنا
قال حدثني  berarti                فثني
Kedua : lafadh riwayat bagi rawi yang mungkin mendengar sendiri atau tidak mendengar sendiri yaitu :[9]
روي, حكي, عن, أن.....
5.      Riwayat Bil Ma’na Dan Bil Lafdzi
Cara dalam meriwayatkan suatu hadits terdapat  2 cara:
1)      Bil ma’na : artinya meriwayatkan hadits dengan merubah teks hadits tanpa merubah maksudnya. Menurut pendapat yang shohih riwayat bil ma’na diperbolehkan bagi orang yang Alim (orang yang berpengetahuan) dengan syarat tidak merubah maksud hadits.
2)      Bil lafdzhi : artinya meriwayatkan hadits dengan lafadz yang sama dengan apa yang di dengarnya dari seorang guru[10].





BAB III
PENUTUP
Kesimpulan.
Dari paparan kami diatas dapat kami kita ambil kesimpulan bahwasannya Ilmu Mushthalah Hadits merupakan suatu kaidah untuk mengetahui tentang sanad, matan, cara menerima periwayatan dll. Yang pertama menyusun secara sistemastis adalah Ar Ramahurmuzi atas perintah dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Ilmu mushthalah hadits membahas tentang macam-macam hadits, sifat rawi, cara menerima atau menyampaikan hadits.
Periwayatan merupakan kegiatan menceritakan suatu hadits, dalam periwayatan perawi secara garis besar disyaratkan harus adil dan dlabith.yang mana adil disini berbeda dengan adil dalam persaksian. Antara persaksian dan periwayatan terdapat persamaan dan juga perbedaan.
Cara-cara periwayatan hadits dapat dikategorikan dalam delapan macam, yaitu. As-Sima’ min lafdzi As Syaikhi, Al qiro’ah ala As Syaikhi, Al Ijazah al khossoh al mu’ayyanah, Al Munawalah, Al Mukatabah,Al Wijadah,Al Washiyah bil Al kitabah,Al I’ilam.
Model meriwayatkan hadits terdapat dua cara pertama dengan bil ma’ana menurut sebagian ulama diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Seperti bagi ornag yang alim dan tidak merubah ma’na hadits. Kedua dengan bila lafdzi meriwayatkan hadits dengan lafadz yang sama dengan apa yang di dengarnya


[1] Manhaj Dzawin Nadhar. Muhammad At Turmusy, H. 7
[2] Minhah al Mughits. Hasan Mas'ud H. 5
[3] Ilmu Hadis. Drs. Utang Ranuwijaya H. 88-90
[4] Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Prof.T.M. Hasby As Siddiqi H. 14
[5] Ikhtisar Mushthalahul Hadits . Drs. Fathurohman H. 280-366
[6] Taisir Musthalah hadits. Dr. Mahmud Atthohan H.121
[7] Idem H. 122
[8] Minhah al Mughits  Hasan Mas'ud  H. 59-61
[9] Ikhtishar Mushthalahul Hadits Drs. Fathurrahman H.252-254
[10] Minhah al Mughits  Hasan Mas'ud  H. 62