Pemikiran Fikih Ali Yafie

Fikih dalam Agama Islam menempati posisi kunci sebagai produk pemikiran ulama yang mencoba melakukan intrepretasi atas normativitas teks/nash dikaitkan dengan kebutuhan-kebutuhan jamannya. Dalam khasanah fikih klasik dikenal berbagai macam aliran fikih yang mencerminkan kecenderungan para fuqaha dalam melakukan ijtihad (intellectual exercise). Kecenderungan itu dipengaruhi oleh ragam pendekatan dan metodologi yang digunakan dalam melakukan ijtihad . Ada aliran Fikih yang cenderung liberal, karena memberi porsi lebih besar kepada akal untuk terlibat dalam proses ijtihad , ada aliran yang cenderung literal karena berusaha menempatkan teks sebagai faktor dominan proses ijtihad, sehingga muncul aliran penengah yang berusaha memberikan porsi yang sama antara teks dan wahyu.[1]
Fikih sebagai formulasi pemahaman syari’ah memiliki dua tujuan, pertama adalah untuk membangun perilaku setiap individu muslim berdasarkan akidah, syari’ah dan akhlak; dan kedua adalah untuk merealisasikan sebuah tatanan kehidupan sosial masyarakat yang memiliki jati diri keadilan, persamaan dan kemitraan.[2]
Berbagai ragam aliran Fikih pada era klasik lebih mencerminkan bentuk solusi kongkret problem masyarakat yang dapat dijadikan pedoman bagi umat dalam menyelesaikan problem-problem itu. Inilah yang dimaksud oleh Hasan Hanafi [3] dengan nilai praksis pemikiran keagamaan, sebuah segmen yang sering diabaikan oleh para pemikir yang lebih senang bergulat dengan wacana yang terkadang tidak memiliki bobot implementasi di lapangan.
Dalam rangka mewujudkan tatanan sosial yang ideal, pembidangan fikih harus sesuai dengan dimensi kebutuhan manusia. Dalam konteks ini, fikih terbagi menjadi fikih ibadah dan fikih muamalah (meliputi fikih siyasah, jinayat, munakahat, dan sebagainya). Dalam batas tertentu, fikih dipahami masih berkecenderungan legal-formal ketika berhadapan dengan kosmopolitanisme kultur manusia. Akibatnya, manifestasi fikih dirasakan tidak aspiratif dalam menjawab tantangan zaman. Jika diamati, kecenderungan belum responsifnya wajah fikih karena peran kerangka teoritik ilmu ushul fiqh dirasa kurang relevan lagi untuk menjawab problem kontemporer.[4] Hal ini memunculkan kesulitan-kesulitan dalam menjawab problem kontemporer, selain itu akibat dari ditutupnya kran pintu ijtihad mulai abad ke-4 H/10 M. N.J Coulson dan Schacht mengatakan tertutupnya pintu ijtihad karena juris Islam merasa semua permasalahan hukum telah di bahas dan hokum yang komprehensif telah berhasil di tegakkan, namun Wael B. Hallaq menolak karena hal ini tidak sesuai dengan kenyataan sebagaimana yang ada dalam literature Islam.[5] Selain itu terdapat indikasi keterbatasan dalam penguasaan khazanah keilmuan fikih yang pada gilirannya membawa dampak terhadap munculnya pemahaman tunggal terhadap mazhab sehingga kurang kurang responsif terhadap pemikirian mazhab yang lain.
Dalam konteks mencari solusi untuk membongkar kejumudan pemikiran fikih selama ini, upaya pemahaman dan pemaknaan fikih secara kontekstual menjadi sangat penting untuk dilakukan dengan pendekatan “etis” (aspek moral) dengan berorientasi pada sisi esoteris (hakikat) fikih yang mengacu pada ruh tasyri’ atau maqashid al-syari’ah menjadi agenda penting dalam rangka mereformulasikan substansi dan tujuan hukum. Untuk itu, yang harus dikedepankan dalam mengambil suatu keputusan hukum adalah nilai-nilai yang mengutamakan kemaslahatan dan keadilan sebagai tujuan hukum. Dalam kerangka inilah nalar fikih sosial hadir sebagai bentuk pengembangan fikih mazhab yang menjadi bagian dari fikih NU.[6]
Perkembangan fikih di Indonesia juga tidak terlepas dari berbagai corak dan ragam, karena fiqh di Indonesia memiliki keunikan tersendiri sesuai dengan masyarakat nusantara yang  fiqh oriented. Hal ini karena fiqh mengandung berbagai implikasi konkret bagi prilaku keseharian baik individu maupun masyarakat.[7] Dalam perkembangan pemikiran hukum di Indonesia, banyak tradisi-tradisi yang terakomodasi dalam system hukum Islam meski juga adanya hukum positive warisan dari belanda yang membawa pada munculnya prulalisme hukum di Indonesia. salah satunya adalah pemikiran hukum islam baca : fiqh yang bercorak sosialis. Dikatakan sosialis karena fiqih harus dibaca dalam konteks pemecahan dan pemenuhan tiga jenis kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan primer (dharuriyah), kebutuhan sekunder (hajjiyah), dan kebutuhan tersier (tahsiniyah). Fiqih sosial tidak sekedar sebagai alat untuk melihat setiap persoalan dari kaca mata hitam putih, tetapi lebih menempatkan fiqih sebagai paradigma pemaknaan secara social.
Salah satu tokoh yang berusaha mengembangkan fikih dengan pendekatan social adalah K.H. Ali Yafie seorang tokoh ahli dalam bidang fikih, mencoba menggagas fikih yang lebih bernuansa social. Ia berusaha berijtihad dan memperkenalkan serta menunjukkan bahwa fikih bukanlah sesuatu yang kaku seperti dipahami oleh kebanyakan masyarakat Islam tentang Fiqh yang sangat formalistik dalam konteks sosial yang ada, sehingga ajaran syari’at yang tertuang dalam Fiqh terkadang terlihat tidak searah dengan bentuk kehidupan praktis sehari-hari. Gagasannya tentang fikih social merupakan hasil ijtihadnya setelah mencermati perkembangan fikih selama ini dengan kondisi sosial masyarakat khususnya di Indonesia.


PEMBAHASAN

A.    Biografi Ali Yafie
K.H. Ali Yafie adalah sosok yang sangat unik dalam pandangan beberapa kalangan. Betapa tidak karena ia hanya berangkat dari pendidikan non formal—belajar  secara otodidak—namun dengan ilmunya yang luas dan mendalam memposisikannya sebagai ulama yang disegani dan dikagumi. Ia mampu duduk satu forum dengan intelektual kaliber semisal Nurcholish Madjid, Quraish Shihab, Habibie, dan lain-lain. Karenanya, tidaklah berlebihan jika pada suatu kesempatan Cak Nur pernah berkata kepada Prof. Dr. Satria Effendi, "Ali Yafie itu diam-diam tetapi ternyata pintar".
K.H. Ali Yafie lahir di Wani-Donggala Sulawesi Tengah 1 September 1924, putra dari K.H. Muhammad Yafie. Ia lahir dari keluarga terdidik dan sangat beruntung karena merupakan turunan dari seorang ulama besar. Kakeknya Syaikh Abdul Hafidz Bugis, salah seorang ulama terkemuka Indonesia yang pernah menjadi Guru Besar di Masjid al-Haram. Dua ulama lainnya adalah Syaikh Nawawi al-Bantani dan Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang juga pernah menjadi Imam di Masjid al-Haram. Warisan kitab dari kakeknya sangat besar peranannya dalam membentuk khazanah intelektual Ali Yafie. Ayah Ali juga adalah seorang ulama yang pernah memimpin sebuah sekolah dengan ratusan murid, selain itu juga mendirikan pesantren Nasrul Haq di Amparita sekaligus menjadi pengasuhnya.[8]
Ali Yafie terbilang cerdas, sebab dalam usia yang masih sangat muda, 12 tahun ia sudah dapat membaca kitab kuning. Dengan modal ini, maka ia pun dikirim oleh ayahnya untuk belajar kepada beberapa ulama atau kiai terkenal ketika itu di Sulawesi Selatan antara lain, Syaikh Ali Mathar (Rappang), Syaikh Haji Ibrahim (Sidrap), Syaikh Mahmud Abdul Jawad (Bone), Syaikh As'ad (Sengkang), Syaikh Ahmad Bone (Ujungpandang), Syaikh Abdurrahman Firdaus (Jampue-Pinrang). Selain itu Ali Yafie juga mendalami ilmu pengetahuan umum dan beberapa bahasa asing, jurnalistik, dan ilmu-ilmu bantu lainnya.[9]
Ulama yang tak kalah banyak pengaruhnya terhadap Ali Yafie adalah Syaikh Abdurrahman Firdaus seorang ulama pengembara dari Mekah. Dalam perjalanannya ke Indonesia ia singgah di India, Malaysia dan Filipina. Pada ulama ini Ali Yafie belajar fikih, tafsir dan sastra Arab, selain itu juga memperoleh banyak informasi tentang isu-isu gerakan pembaruan di Mesir yang lagi marak kala itu. Dan secara kebetulan Syaikh Abdurrahman Firdaus adalah pengagum berat Syaikh Rasyid Ridha. Ulama ini pun kemudian mengenalkan pemikiran tokoh pembaru lainnya seperti Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Jamal al-Din al-Afghani[10], selebihnya dipelajarinya secara otodidak.
Dengan memperhatikan pengembaraan Ali Yafie dalam mencari ilmu, maka tidaklah mengherankan apabila berhadapan dengan kondisi sekarang ia tidak "gagap", sekalipun ia adalah seorang santri tulen. Lebih dari itu penampilannya pun nyaris mencerminkan sikap seorang santri, sehingga kerap disebut sebagai sosok yang sederhana baik dalam perkataan pun perbuatan.
Ali Yafie dalam perjalanan karirnya pun beragam posisi dan jabatan telah dilaluinya. Ia pernah aktif mengajar mulai dari madrasah hingga perguruan tinggi bahkan pernah menjadi Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN (sekarang UIN) Alauddin Makassar. Menjadi Hakim Pengadilan Tinggi Agama Makassar. Kepala Inspektorat Peradilan Agama Wilayah Indonesia Bagian Timur, menjadi anggota staf harian merangkap anggota dewan pleno Badan Pembinaan Potensi Karya Kodam XIV Hasanuddin. Ali Yafie juga aktif dalam dunia politik hingga mengantarkannya menduduki posisi sebagai Rais Majelis Syura Partai Persatuan Pembangunan dan mengantarkannya menjadi anggota DPR/MPR RI. Ia menjadi wakil ketua Dewan Penasehat ICMI Pusat, anggota Dewan Pengawas Syari'ah Bank Muamalat, wakil ketua Dewan Pembina Badan Arbitrase Muamalat, Guru Besar IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah, Guru Besar Institut Ilmu Al-Qur'an Jakarta, dan Guru Besar Universitas Islam Asy Syafi'iyah. Pernah menjadi Rais 'Am Nahdlatul Ulama, salah seorang unsur ketua MUI, bahkan pernah pula menjabat sebagai Ketua Umumnya dan beberapa jabatan lainnya.
Prestasi yang diraih Ali Yafie di atas menunjukkan bahwa ia adalah seorang ulama yang paripurna karena ia dapat diterima oleh semua lapisan baik umara, intelektual, politikus, eksekutif maupun masyarakat umum, ia betul-betul telah menjadi milik umat.
Secara detail sebagian karya-karya beliau yang dipublikasikan adalah : Fikih Perdagangan Bebas, (Bandung: Mizan, 2003). Beragama secara Praktis : agar hidup lebih bermakna, (Bandung: Mizan,) Menggagas Fikih Sosial, (Bandung: Mizan, 2000). Merintis Fikih Lingkungan Hidup (Yayasan Amanah : 2006), Teologi Sosial : telaah kritis Persoalan keagamaan dan kemanusiaan, (LPKSM: 1997). Disiplin Ilmu Keislaman Tradisional : Fiqh, (Paramadina : 1987) buku ini ditulis bersama Nurcholis Madjid. Menolak Korupsi membangun kesalehan social : kumpulan naskah-teks khutbah, (P3M:2004), Agama dan kemiskinan: suatu tinjauan dari segi agama Islam, (Proyek Penelitian Keagamaan, Departemen Agama, 1981).

B.     Pemikiran Fikih Sosial
Dalam sejarahnya, Fikih Sosial muncul setelah ide-ide pembaruan Fikih di Indonesia bermunculan, . Kita mengenal ide Fikih Indonesia yang dipopulerkan oleh Hasby Assidiqie tahun 1960an (bahkan benihnya sudah muncul sejak 1940an). Ide itu ditindaklanjuti dengan ide Fikih Madzhab Nasional (Madzhab Indonesia) oleh Hazairin pada tahun 1960an juga . Kemudian KH. Abdurrahman Wahid pada 1975 menawarkan ide Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan. Pada 1980an, Munawir Sjadzali mengusulkan ide Reaktualisasi Ajaran Islam.[11] Disusul dengan ide Agama Keadilan oleh Masdar F. Mas'udi pada 1990an.[12] Kemudian pada 1991 muncul Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang "dianggap" ijmak Ulama Indonesia, yang diinstruksikan oleh Presiden Soeharto. Baru kemudian muncul ide Fikih Sosial pada 1994 oleh KH. Sahal Mahfudh dan KH. 'Ali Yafie.[13]
Gagasan fikih sosial muncul sebagai respon di kalangan intelektual NU karena adanya ketidakpuasan mereka dengan kondisi Bahtsul Masail yang terkesan statis, beku, dan kering dari harapan masyarakat sekarang. Kondisi ini disebabkan oleh masih kuatnya pengaruh pola bermazhab secara qauly di kalangan mayoritas ulama NU. Padahal, tuntutan masyarakat akan perlunya hukum Islam yang kontekstual sesuai dengan situasi dan kondisi sosial sekarang ini tidak hanya datang dari intern warga NU saja, melainkan juga datang dari masyarakat pada umumnya.
Oleh karena itu, menurut Azizy, perlu dilakukan tahapan untuk mengembalikan kodrat hukum Islam dengan empat langkah berikut:
Pertama, hukum Islam yang merupakan hasil karya fuqaha atau mujtahidin masa lalu, yang selama ini ditempatkan di satu sisi sebagai doktrin atau di sisi yang lain sebagai hal yang tidak diperhitungkan sama sekali, hendaknya ditempatkan pada proporsi yang sebenarnya, yakni sebagai hasil ijtihad para ulama terdahulu. Untuk itu, perlu kiranya digunakan istilah “humanisasi hukum Islam (fikih)”, sehingga doktrin yang mungkin dianggap “sakral” tersebut menjadi sesuatu yang ‘”profan” dapat disentuh akal dan diinterpretasi ulang.
Kedua, melihat hasil ijtihad tersebut secara kontekstual, sehingga menjadi lebih hidup dan mempunyai nilai. Berbicara mengenai hasil ijtihad, meskipun tetap disebut hukum Islam, tidak lepas dari pengaruh subjektivitas pelaku ijtihad (mujtahid) beserta lingkungan yang melingkupinya. Dengan kata lain, hasil ijtihad itu sangat erat dengan konteks sosial masyarakat pada saat itu, yang tentunya berbeda dari konteks masyarakat kita sekarang. Oleh karena itu, usaha kontekstualisasi terhadap hasil ijtihad ulama masa lalu perlu digairahkan, bahkan mestinya menjadi suatu keharusan. Kajian seperti ini tidak cukup hanya dengan membaca teks dari hasil ijtihad tersebut yang tertulis dalam kitab-kitab fikih mazhab, namun harus dibarengi dengan kajian yang serius terhadap aspek sejarah dan sosial yang melingkupi mujtahid ketika itu serta kajian metodologi yang digunakan dalam menghasilkan keputusan hukum Islam. Dalam hal ini, pendekatan sejarah, terlebih sejarah sosial dan sosiologi, menjadi sangat penting. Di samping itu, perlu dikaji tentang sejarah hidup para mujtahid terutama sekali yang berkaitan dengan pemikiran hukumnya.
Sebagai contoh adalah ketika kita mempelajari hukum-hukum Islam produk ulama Iraq dan Hijaz yang berbeda misalnya, kita harus pula mempelajari sejarah dan kehidupan sosial masyarakat Iraq dan Hijaz waktu itu. Jelaslah bahwa terjadinya perbedaan kesimpulan hukum dari keduanya disebabkan oleh karena perbedaan kondisi sosial yang ada di Iraq dan Hijaz. Keadaan sosial masyarakat Hijaz lebih homogen, stabil, dan pengaruh luar sangat sedikit. Sedangkan keadaan di Iraq konteks sosial masyarakatnya sangat heterogen, metropolis dengan perubahan yang sangat cepat dan juga pengaruh dari luar sangat besar dan terbuka. Contoh lain, dapat dilihat dari hasil ijtihad Imam Syafi’i yang memunculkan dua pendapat (qaul) yang berbeda, meski terhadap masalah yang sama, yakni Qaul Qadim (yang dihasilkan ketika beliau di Iraq) dan Qaul Jadid (ketika beliau pindah berada di Mesir). Perbedaan ini didasari oleh keadaan yang tidak sama antara masyarakat Iraq dan Mesir, sehingga melahirkan ketetapan hukum yang berbeda pula.[14]
Ketiga, setelah mampu melakukan kontekstualisasi, barulah mengadakan reaktualisasi. Ini harus dilandasi dengan kemampuan interpretasi terhadap hasil ijtihad tersebut –bukan penolakan terhadapnya– dan dilanjutkan dengan reinterpretasi, dan pada waktunya akan ada tuntutan reformasi atau pembaruan (tajdid) terhadap ajaran pada tataran praktis yang merupakan pemahaman para mujtahid terhadap wahyu. Di sini berarti harus terjadi historical continuity dalam mempelajari hukum Islam secara akademik. Ijtihad dapat berupa pembaruan produk ijtihad atau ijtihad baru, misalnya terhadap kasus-kasus hukum yang tidak disebutkan ketentuannya dalam nash, atau untuk kasus-kasus yang sudah pernah diberi keputusan hukum, namun perlu pembaruan (kontekstualisasi) karena tuntutan zaman.
Keempat, perlunya kajian hukum Islam yang melibatkan disiplin ilmu lain. Atau meneliti hukum Islam yang sudah ada dengan menggunakan pendekatan interdisipliner atau multidisipliner. Ilmu bantu ini mutlak diperlukan dalam rangka mendekatkan hukum pada konteks yang lebih sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat sekarang.[15]
Dibanding ide-ide sebelumnya, Fikih Sosial ternyata tak menimbulkan resistensi di kalangan masyarakat sebagaimana ide pembaruan Fikih lainnya, karena terkait dengan instrumen ide Fikih Sosial itu sendiri yang mengambil pokok pemikirannya dari rahim tradisi Fikih Klasik yang sudah mengakar. Yaitu konsep Maqashid al-Syari'ah dan konsep Fardlu 'Ain-Fardlu Kifayah. Selain itu, Fikih Sosial semangat reaktualisasi Fikih Klasik, sebagai yang telah mengakar di kalangan masyarakat tradisional, juga sebagai respon atas pandangan miring terhadap Fikih Klasik.
Karena itulah Fikih Sosial merupakan tema yang sangat besar dan penting dan harus dikontekstualisasikan dengan pandangan masa kini, sehingga Fikih dituntut harus sedikit demi sedikit berjarak dengan ide partikularitasnya, menuju wacana perubahan sosial yang konteksnya lebih luas. Maka Fikih harus menampung beragam fenomena sosial, hingga dari sana muncullah sifat yang sebelumnya nyaris tak ada: relatifitas Fikih. Fikih Sosial berangkat bukan sebagai paradigma kebenaran ortodoksi, yang mana merupakan isu sangat sensitif, namun sebagai paradigma kritik dan pemaknaan sosial.
Fikih sosial berusaha mereaktualisasikan ajaran Fikih klasik, yang sering dicap buruk, tapi dengan pendekatan yang berbeda. Yakni berusaha melihat Nash dari dua sudut pandang sekaligus: tekstual dan kontekstual, tak ada yang lebih dimenangkan satu sama lain dalam segi mekanisme. Dalam mekanisme Fikih Sosial mencoba verifikasi kembali mana persoalan-persoalan agama yang pokok dan mana yang cabang. Itu dilakukan dengan metode Maqashid al-Syari'ah dengan tipologi dlaruriyyat (primer), hajjiyyat (sekunder), dan tahsiniyyat (tersier).
Ali Yafie dalam kata pengantar bukunya Menggagas Fikih Sosial mengakui bahwa uraiannya dalam buku tersebut bukanlah merupakan fatwa, tetapi pemikiran yang berorientasi pada fikih dalam berbagai macam persoalan menurut pandangan seorang santri. Ia menyadari betul bahwa dirinya hanyalah seorang santri, meskipun oleh banyak kalangan pemikirannya dipandang cukup menggambarkan seorang pemikir modern.
Buku Menggagas Fikih Sosial merupakan wadah yang dijadikan Ali Yafie dalam mengemukakan ide-ide pemikirannya. Buku ini terbagi ke dalam beberapa bagian. Pertama, membahas seputar sumber ajaran Islam. Kedua, tentang perkembangan fikih di Indonesia. Ketiga, masalah pengembangan masyarakat dalam tinjauan Islam. Keempat, pembangunan ekonomi dalam tinjauan Islam. Kelima, wanita dan keluarga dalam perspektif Islam. Dalam buku tersebut ada beberapa hal yang menjadi pokok bahasan antara lain tentang pengrusakan lingkungan, kemiskinan, kependudukan, masalah asuransi, wanita dan ukhuwah.
Uraian dalam makalah ini hanya akan membahas beberapa hal yang dianggap "baru" dan merupakan orisinalitas pemikiran Ali Yafie sebagai tergambar dalam karyanya Menggagas Fikih Sosial. Model fikih ini mencoba memberikan jawab terhadap berbagai persoalan dan tantangan zaman seperti perubahan sosial yang begitu cepat dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kian akseleratif.
Ali Yafie dalam menggagas fikih sosial memulai dengan pembahasan tentang Al-Qur'an kemudian merambah ke masalah sosial kemasyarakatan yang aktual dan terkait masalah hukum. Sebagai faqih, Ali Yafie menginginkan pemahaman Al-Qur'an secara utuh dalam menghadapi tantangan yang kian berlapis sebagai saat ini. Ali Yafie mengajukan lima tema utama agar dapat memahami Al-Qur'an secara utuh yaitu: pertama, penegasan dan penguatan eksistensi wahyu; kedua, pengenalan masalah ketuhanan; ketiga, pandangan terhadap Islam; keempat, pengenalan manusia dan kemanusiaan; dan kelima, pandangan terhadap masalah kehidupan.[16]
Menurut Ali Yafie, Al-Qur'an berfungsi untuk memperkenalkan Allah sekaligus menyampaikan pesannya. Al-Qur'an harus fungsional bagi manusia untuk hidup sejahtera di dunia dan akhirat. Wahyu berfungsi sebagai petunjuk yang menyempurnakan keterbatasan akal dan kelemahan manusia dalam melawan nafsu.
Berikut akan dikemukakan beberapa pemikiran Ali Yafie dalam bidang fikih terkait dengan kehidupan sosial antara lain:

a.       Fardhu Kifayah
Dalam pembagian hukum taklifi para ulama membuat lima katagori hukum: wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah.[17] Pembagian tersebut menghendaki adanya perbuatan dari mukallaf. Dari kelima pembagian tersebut satu di antaranya akan dibahas adalah hukum wajib. Ulama fikih membagi wajib ke dalam dua macam yaitu: wajib 'ain dan wajib kifayah.
Ali Yafie dalam memahami term ini mencoba untuk mencari formulasi dengan memahami secara kontekstual. Dalam usaha pembangunan nasional, norma fikih mesti dipahami secara lebih aktual. Menurutnya, fardhu 'ain merupakan kewajiban individual atau perorangan bagi pengembangan potensi dan pembinaan kondisi setiap individu dalam mencapai kemaslahatan hidupnya, dan yang kedua fardhu kifayah adalah kewajiban sosial kemasyarakatan dan merupakan tugas kolektif untuk pengembangan potensi dan pembinaan kondisi masyarakat dalam mencapai kemaslahatan umum.[18]
Ali Yafie tidak menyalahkan contoh fardhu kifayah yang selama ini hanya ditujukan pada kewajiban shalat jenazah, tetapi ia memahami bahwa makna fardhu kifayah di sini sangat pasif bahkan cenderung negatif. Dengan argumentasi ini, Ali Yafie mencoba memperkenalkan definisi Imam Rafi'i yang memberi makna aktif terhadap fardhu kifayah. Definisi yang dimaksud sebagai yang dikutip Ali Yafie adalah kewajiban yang menyangkut hal-hal umum berkaitan dengan kemaslahatan baik bersifat keagamaan pun keduniaan yang pelaksanaannya menjamin tegaknya kehidupan bersama.[19] Dicontohkan antara lain: upaya mengatasi kemelaratan masyarakat, memenuhi kebutuhan sandang melalui zakat dan bayt al-mal. Penyediaan lapangan kerja dengan berbagai profesi, pengajaran, pendidikan, penyuluhan dan bimbingan masyarakat, kontrol sosial, dan semua usaha untuk memakmurkan masyarakat.
Dengan demikian, untuk meneguhkan makna fardhu kifayah secara aktif, dibutuhkan pemahaman yang lebih kontekstual, tanpa bermaksud menyalahkan definisi dan contoh yang telah dianut umat Islam selama ini. Jadi makna fardhu kifayah yang lebih aktif adalah kewajiban kolektif untuk memajukan umat Islam yang selama ini menderita dalam segala aspek kehidupan. Sebab, sasaran utama doktrin fardhu kifayah adalah tegaknya semangat kebersamaan anggota masyarakat dalam suatu kelompok kehidupan yang sejahtera, aman, tertib, adil dan sebagainya.
Urusan fardhu kifayah adalah upaya membebaskan orang lain dari suatu dosa. Demikian halnya dengan usaha mensejahterakan orang lain adalah pekerjaan yang sangat mulia karena membebaskan orang dari penderitaan.

b.      Konsep Hak Asasi Manusia (HAM)
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah persoalan yang juga tidak luput dari perhatian Ali Yafie. HAM pertama kali dideklarasikan di Perancis tahun 1789 yang lebih popular dengan istilah Declaration des Droits de l'Homme at du citoyen dengan slogannya yang terkenal sejak saat itu, liberte (kebebasan), egalite (persamaan), dan fratenite (persaudaraan).[20]. HAM pada dasarnya lebih bersifat moral ketimbang politik. HAM saat ini bahkan didengung-dengungkan dan hampir menjadi tuntutan setiap orang karena merupakan milik asasi. Hak hidup, mencari kerja, menuntut ilmu, mendapat perlakuan yang baik, dihormati harga dirinya dan lain-lain, merupakan hak yang tidak boleh diganggu oleh siapa pun. Ali Yafie dalam memahami HAM mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang muhtaram, yaitu makhluk yang dimuliakan eksistensinya, ia dilarang dibunuh jika ia makhluk hidup dan dilarang merusaknya jika ia makhluk tidak bernyawa. Manusia menurutnya berstatus ma'shum, yaitu manusia yang terlindungi oleh hukum.
Konsep mashlahah dalam ushul fiqh merupakan ajaran yang menjadi tujuan legislasi syari'at. Imam Amidi sebagai yang dikutip Ali Yafie mengatakan bahwa kemaslahatan itu berkisar pada dua hal pokok: mewujudkan manfaat atau kegunaan (jalbul manfa'ah) dan menghindarkan kemudaratan (daf'ul madarrah).
Dengan pemahaman yang baik terhadap ajaran Islam tentang mashlalah ini, maka dapat dikatakan bahwa sejatinya ajaran Islam itu sangat menjunjung tinggi kemanusiaan, sangat memuliakan manusia bahkan semua makhluk.
Melalui usaha yang ulet, Ali Yafie memperkenalkan ajaran seperti di atas dengan stressing pada aspek sosial ketimbang individual, maka dapat dipahami bahwa ia berusaha membawa nilai-nilai atau ajaran Islam ke dalam masyarakat. Karena baginya, Islam bukanlah ajaran individual semata tetapi memiliki ajaran sosial yang sangat tinggi. Ia pun mencoba memperkenalkan ajaran Islam yang sebelumnya dipahami secara pasif menjadi aktif.

c.       Pengelolaan Zakat
Salah satu ajaran Islam yang secara jelas mengarah pada nilai-nilai sosial adalah zakat, meskipun ajaran lain tidak berarti tiada mengandung nilai sosial. Sehingga perintah mengeluarkan zakat bergandengan perintah shalat diulang sebanyak 32 kali dalam Al-Qur'an.[21]
Menurut Ali Yafie zakat memiliki dua aspek penting yaitu: pengeluaran atau pembayaran dan penerimaan atau pembagian, dan yang disebutkan pertama merupakan hal mutlak. Dari kalimat di atas dapat dipahami bahwa Islam sangat menganjurkan umatnya untuk membayar zakat sekaligus memiliki harta. Islam tidak menghendaki umatnya sebagai penerima zakat belaka sebab hal tersebut menunjukkan ketidakberdayaan sosial-ekonomi umat.
Dalam Al-Qur'an disebutkan dengan jelas para penerima zakat yang meliputi delapan golongan (asnaf) yaitu: fakir, miskin, amil zakat, muallaf, budak yang dimerdekakan, orang berutang, ibnussabil, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Menurut Imam Ibnu Salaf, Asnaf yang ada sekarang hanya empat yaitu: fakir, miskin, gharim, dan ibnussabil. Bahkan Al-Qadhi mengatakan hanya dua yang berhak menerima zakat yaitu fakir dan miskin. Timbulnya perbedaan ini sesuai dengan kondisi masing-masing tempat.
Yang disoroti oleh Ali Yafie adalah pemanfaatan dana zakat yang selama ini dilaksanakan sesuai petunjuk fikih. Ali Yafie mengatakan bahwa sistem pemerataan perlu ditinjau kembali. Misalnya setiap penerima zakat diberi masing-masing 10 kg atau lebih setiap tahunnya. Sistem ini oleh Ali Yafie dinilai tidak terlalu efektif. Menurutnya, sistem lama ini perlu diubah dengan jalan memberikan modal kepada penerima zakat hingga tidak lagi menjadi penerima zakat tahun berikutnya, melainkan berubah menjadi pembayar zakat. Dengan cara seperti ini diharapkan jumlah penerima zakat setiap tahunnya semakin berkurang, di sisi lain pembayar zakat semakin bertambah.

d.      Lingkungan Hidup
Isu tentang lingkungan hidup juga tak lepas dari perhatian Ali Yafie. Dalam membahas masalah lingkungan hidup, ia mengacu pada QS. Al-A'raf[7]: 156 yang menjelaskan tentang rahmat Allah yang meliputi segala sesuatu dan QS. Al-Anbiya' [21]: 107 yang menegaskan tujuan pengutusan nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi seluruh alam. Ia merujuk pada batang tubuh ajaran fikih yang meliputi empat garis besar yaitu:
1.      Rub'ul ibadat, yaitu bagian yang menata hubungan manusia dengan khaliknya.
2.      Rub'ul muamalat, yaitu bagian yang menata hubungan manusia dalam lalu lintas pergaulan dengan sesamanya untuk memenuhi hajat hidup sehari-hari.
3.      Rub'ul munakahat, yaitu bagian yang menata hubungan manusia dengan lingkungan keluarga, dan
4.      Rub'ul jinayat, yaitu bagian yang menata pengamanan dalam suatu tertib pergaulan, yang menjamin keselamatan dan ketentraman dalam kehidupan.[22]
Menurut Ali Yafie, gambaran di atas adalah wajah sesungguhnya dari Islam. Empat hal tersebut meliputi bidang pokok dari kehidupan umat manusia. Masalah lingkungan hidup tidak hanya terbatas pada sampah, pencemaran, penghijauan kembali atau sekadar pelestarian alam tetapi—lebih dari semua itu—masalah lingkungan hidup merupakan bagian dari suatu pandangan hidup. Sebab ia merupakan kritik terhadap kesenjangan yang diakibatkan oleh pengurasan energi dan keterbelakangan yang lebih merupakan ekses dari pertumbuhan ekonomi yang ekplosif dan tidak bervisi konservasi.
Kalau Nabi adalah rahmat bagi alam, maka kita sebagian umatnya sejatinya juga demikian, sehingga sifat-sifat Tuhan pun mestinya terpatri dalam kehidupan sehari-hari. Olehnya itu, jauh sebelumnya, Tuhan seakan memberi isyarat bahwa manusia adalah perusak. Hal ini dapat dipahami dari dialog antara Tuhan dengan malaikat, ketika Tuhan menciptakan manusia. Digambarkan pula bahwa telah tampak kerusakan di daratan dan di laut akibat ulah tangan-tangan manusia. Dengan itu pula, maka Tuhan sudah memperingatkan bahwa kita jangan melakukan pengrusakan di atas bumi ini. Pandangan Ali Yafie terntang norma fikih senantiasa mencoba untuk memahami sejumlah masalah secara sosiologis ketimbang pendekatan individual.

e.       Pakaian
Pakaian merupakan salah satu yang membedakan antara manusia dengan binatang, karena manusia mengenakan pakaian sebagai pelindung dan penutup aurat, sedang binatang tidak. Dalam Al-Qur'an, pakaian disebut dalam beberapa terma antara lain: libas, siyab, zinah, dan riyas. Dua yang disebutkan pertama lebih mengacu pada penutup aurat ("aurat" diartikan dengan rus'an sebagai kehormatan, manusia lebih terhormat dari pada binatang karena menutup aurat), sedangkan dua yang terakhir lebih pada perhiasan (estetika).
Ali Yafie dalam membahas mengenai aurat sebagai bagian tubuh yang harus tertutupi, membaginya menjadi dua macam.[23] Pertama, aurat mughallazah, yaitu kemaluan depan dan belakang, dimana keduanya diprioritaskan untuk ditutup dan tidak boleh membukanya kecuali darurat. Kedua, aurat biasa, yaitu bagian tubuh antara pusat dan lutut. Bagi laki-laki terhadap sesamanya atau terhadap perempuan mahramnya kecuali istrinya. Ketentuan ini juga berlaku bagi perempuan terhadap laki-laki bukan mahramnya kecuali suaminya. Ali Yafie menambahkan khusus bagi perempuan, seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan, adalah aurat terhadap laki-laki bukan mahramnya.
Ali Yafie mengakui bahwa budaya berpakaian adalah cirri peradaban manusia sebagai makhluk terhormat. Ia menambahkan bahwa standar berpakaian adalah takwa (pemenuhan ketentuan-ketentuan agama Islam mengakui adanya kecenderungan manusia untuk memilih makanan dan pakaian yang baik serta indah karena itu adalah fitri bagi manusia. Namun diperingatkan dalam memilih yang indah itu tidak boleh berlebih-lebihan, karena Allah tidak senang kepada mereka yang berfoya-foya. Lebih jauh lagi Ali Yafie mengatakan bahwa seorang wanita dalam berpakaian supaya tidak seperti wanita murahan pesolek yang dapat mengundang orang untuk melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh syari'at.[24]
Adapun penalaran fikih dalam persoalan pakaian—lanjut Ali Yafie—menitikberatkan pada fungsinya dalam etika pergaulan di lingkungan keluarga dan masyarakat ramai, inilah yang merupakan soal pokoknya (ghayah). Menurutnya, bahkan bentuk dan modelnya merupakan washilah atau sarana untuk mewujudkan fungsi itu. Dengan demikian pakaian orang beriman tidak terikat oleh mode, bentuk, bahkan warnanya, yang penting dibenarkan oleh hukum Islam.

PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat di ambil beberapa pemikiran Ali Yafie dalam bidang fikih, maka dapat disimpulkan bahwa di sini Ali Yafie mencoba memahami ajaran Islam, – paling tidak –  dengan beberapa pendekatan :
1.      Memadukan Teks/nash dengan Nalar
2.      Memadukan Teks dengan realitas.
3.      Memadukan teks dengan Maslahah
Dengan beberapa pendekatan tersebut, menjadikan fikih lebih konteksual dan lebih mengarahkannya pada persoalan yang lebih bersifat sosial. Ia menguraikannya secara argumentatif-normatif pada beberapa bagian tertentu yang telah menjadi konvensi dunia dan pada hakekatnya bersumber dari ajaran Islam, seperti HAM, lingkungan hidup, busana dan lain sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Yazid,  Nalar dan Wahyu interrelasi dalam proses pembentukan Syariat, Jakarta : Airlangga, 2007.
al-Nadwi, Ali Ahmad, al-Qawai’id al-Fiqhiyyah, Damaskus: Dar al-Qalam, 1991.
al-Qaradhawi, Yusuf,  al-sunnah Mashdaran li ma’rifah al-hadharah, Kairo : Dar al-Syuruq, 1997.
An-na’im, Abdullahi Ahmed,  Dekonstruksi Syari’ah, Yogjakarta: LKIS, 1994.
Arifi, Ahmad, Pergulatan pemikiran Fikih “tradisi’ pola Mazhab. Yogjakarta : Elsaq, 2010.
Azizy, A. Qodri A., Reformasi Bermazhab Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Sesuai Saintifik Modern, Jakarta: Teraju, 2003.
Baqi, Muhammad Fuad Abdul, Al-Mu`jam Al-Mufahras li Alfadz Qur’an, Kairo : Dar al-Hadis, 1346H.
Bruisnessen, Martin Van, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, Bandung : Mizan, 1995.
Fuad, Mahsun, Hukum Islam Indonesia, Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, Yogjakarta, LKIS,  2005
Hanafi, Hasan, Islamologi I : Dari Teologi Statis ke Anarkis, Terj. Miftah Faqih, Yogyakarta : LkiS, 2003.
Mahfud, Sahal, Menggagas Fikih Sosial, Yogjakarta : LKIS, 2004
Mas’udi, Masdar F., Meletakkan Kembali Mashlahah sebagai Acuan Syari’at, dalam jurnal Ulumul Qur’an, No.3, Volume VI, 1995.
Rahman, Jamal D. (et.al.), Wacana Baru Fikih Sosial: 70 Tahun K.H. Ali Yafie, Bandung: Mizan, 1997.
Rofiq, Ahmad, Fikih Kontekstual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Syufa’at, Hegemoni Politik dan tertutupnya pintu ijtihad, Jurnal Ibda’ STAIN Purwokerto, Vol 3, No. 1, Jan-Jun, 2005.
Yafie, K.H. Ali, Menggagas Fikih Sosial, Bandung: Mizan, 2000.

INTERNET


[1] Abu Yazid,  Nalar dan Wahyu Interrelasi dalam Proses Pembentukan Syariat, (Jakarta : Airlangga, 2007), 66-67.
[2] Ahmad Rofiq, Fikih Kontekstual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 5.
[3] Hasan Hanafi, Islamologi I : Dari Teologi Statis ke Anarkis, Terj. Miftah Faqih, (Yogyakarta : LkiS, 2003). 160-177
[4] Menurut Abdillah Ahmad An-Na’im, hal ini disebabkan oleh adanya kesulitan-kesulitan dalam memadukan pola pemikiran fikih klasik dan fikih kontemporer dalam beberapa hal, antara lain yang berkaitan dengan hukum publik, konstitusionalisme modern, hukum pidana, hukum internasional modern serta Hak Asasi manusia. Baca : Abdullahi Ahmed An-na’im,  Dekonstruksi Syari’ah, (Yogjakarta: LKIS, 1994).
[5] Syufa’at, Hegemoni Politik dan tertutupnya pintu ijtihad, Jurnal Ibda’ STAIN Purwokerto, Vol 3, No. 1, Jan-Jun, 2005, 84.
[6] Sahal Mahfud, Menggagas Fikih Sosial, (Yogjakarta : LKIS, 2004),
[7] Martin Van Bruisnessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, (Bandung : Mizan, 1995), 112
[8] http://id.wikipedia.org/wiki/Ali_Yafie
[9] www.tokohindonesia.com
[10] Jamal D. Rahman, at all Wacana Baru Fiqih Sosial: 70 Tahun K.H. Ali Yafie, (Bandung: Mizan, 1997), 8.
[11] Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia, Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, (Yogjakarta, LKIS,  2005), 62-95.
[12] Masdar F. Mas’udi, Meletakkan Kembali Mashlahah sebagai Acuan Syari’at, dalam jurnal Ulumul Qur’an, No.3, Volume VI, 1995, 95.
[13] Ahmad Arifi, Pergulatan pemikiran Fiqih “tradisi’ pola Mazhab. (Yogjakarta : Elsaq, 2010), 11-12.
[14] Yusuf al-Qaradhawi,  al-Sunnah Mashdaran li ma’rifah al-hadharah, (Kairo : Dar al-Syuruq, 1997), 40.
[15] Azizy, A. Qodri A, Reformasi Bermazhab Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Sesuai Saintifik Modern, (Jakarta: Teraju, 2003), 73-76.
[16] Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial: dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukhuwah (Bandung: Mizan, 2000), 21.
[17] Abdul Wahab Khallaf, Ushul al-Fiqh,(Beirut : Dar al-Fikr, 1972), 159
[18] Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial…, 161
[19] Ibid, 162.
[20] Rahman, Wacana Baru…186.
[21] Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu`jam Al-Mufahras li Alfadz Qur’an, (Kairo : Dar al-Hadis, 1346H), 331-332.
[22]  Ibid, 132.
[23] Ibid, 250.
[24]  Ibid.

Israiliyat

Pendahuluan

Adanya Israiliyat dalam kitab-kitab tafsir Al-Quran merupakan realitas yang tidak dapat dipungkiri. Sejak periode tadwin[1] sampai sekarang berpuluh-puluh macam kitab tafsir telah dihasilkan oleh para pengabdi Al-Quran. Namun, sebagian besar di dalamnya ada yang dikenal dengan istilah “Israiliyat”, yang dianggap sebagai unsur-unsur Yahudi dan Kristen dalam penafsiran Al-Quran. Harus diakui bahwa intensitas pemuatan Israiliyat dalam kitab-kitab tafsir tersebut tidaklah sama sesuai dengan sikap atau pandangan penulisnya terhadap masalah itu. Dalam tafsir Al-Manar misalnya, penulisnya sangat getol menghantam keberadaan Israiliyat dalam kitab-kitab tafsir terdahulu, ternyata di dalamnya terdapat pula sumber-sumber Israiliyat dalam menafsirkan ayat-ayat tertentu dalam Al-Quran.[2] Kenyataan ini mengandung suatu pertanyaan pokok yang mendasar, apa sebenarnya pengertian (definisi) Israiliyat sebagai suatu terminologi dalam ilmu tafsir Al-Quran.
Seiring dengan pertanyaan pokok tersebut, tersirat pula pertanyaan lain yang memiliki hubungan sangat erat, yaitu, bagaimana sikap yang sebenarnya terhadap Israiliyat tersebut dalam kerangka penafsiran Al-Quran. Sebenarnya Rasulullah SAW. telah memberikan semacam pegangan dalam menjawab pertanyaan terakhir ini. Antara lain, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya, yang bersumber dan Abu Hurairah r.a. berkaitan dengan tafsir ayat 136 surat Al-Baqarah. Ketika itu, sahabat tersebut memberitahukan kepada Rasulullah bahwa Ahli Kitab membaca kitab Taurat yang berbahasa Ibrani dan menafsirkannya dengan bahasa Arab untuk konsumsi umat Islam. Menanggapi berita ini, Rasulullah SAW. lalu bersabda [3] :
لاتصدقوا أهل الكتاب ولا تكذبوهم وقولوا امنا بالله وماأنزل الينا
Sikap tidak membenarkan dan tidak mendustakan terhadap apa saja yang diterima dan para Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) sebagaimana yang ditegaskan oleh hadis tersebut di atas ternyata mengundang beberapa pertanyaan. Antara lain, apakah sikap itu berlaku untuk semua berita atau hanya untuk berita-berita tertentu saja? Bagaimana berita-berita dan mereka yang ada konfirmasinya dari sumber islami? Apakah harus bersikap “tawaqquf’ seperti itu? Atau, bagaimana mengaplikasikan isi hadis tersebut, dalam menafsirkan Al-Quran yang ada sumbernya dari Ahli Kitab?

A. Pengertian Israiliyat
Secara leksikal, Israiliyat adalah masdar shinai’y dari kata “israil” yang merupakan gelar Nabi Ya’kub ibn Ishaq ibn Ibrahim a.s. Nabi Ya’kub adalah nenek moyang bangsa Yahudi, karena kedua belas suku bangsa Yahudi yang terkenal itu berinduk kepadanya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa “Israiliyat” berarti, seorang raja, pejuang di jalan Allah.[4] Israiliydt adalah lafazh jama’ dan Israiliyah.
Menurut Adz-Dzahabi dalam bukunya yang berjudul At Tafsir wal Al-Mufassirun, secara sepintas israiliyat itu mengandung pengertian pengaruh kebudayaan Yahudi dalam penafsiran AlQuran. Akan tetapi, dia memberi pengertian yang lebih luas, yaitu :[5]
مايعمها اللون اليهودي واللون النصراني للتفسير ومايتأثربه التفسيرمن الثقافتين اليهودية والنصرانية
Untuk lebih menjelaskan pengertian ini, Adz-Dzahabi menjelaskan apa yang dimaksud dengan kebudayaan Yahudi dan kebudayaan Nasrani itu. Kebudayaan Yahudi dalam pandangannya berpangkal pada kitab Taurat yang diberitakan Al-Quran sebagai kitab suci yang di antaranya berisi bermacam-macam hukum syari’at yang diturunkan Tuhan kepada Nabi Musa a.s.[6] Kemudian kitab Taurat digunakan sebagai predikat terhadap semua kitab suci agama Yahudi, termasuk di dalamnya kitab Jabur dan lain-lainnya yang kemudian dikenal dengan sebutan Kitab Perjanjian Lama. Di samping kitab Taurat yang diterima bangsa Yahudi secara tertulis, mereka juga mempunyai pelbagai ajaran dan keterangan yang diterima mereka dan Nabi secara lisan, dan mulut ke mulut. Kemudian setelah beberapa abad lamanya, ajaran tersebut dibukukan dengan nama Talmud. Selain itu, bangsa Yahudi juga mempunyai kekayaan seni sastra berupa cerita-cerita, legenda-legenda, sejarah, dan sebagainya. Semua itu memperkaya apa yang disebut “Kebudayaan Yahudi”. Adapun kebudayaan Nashrani menurut Adz-Dzahabi berpangkal kepada kitab Injil yang di dalam Al-Quran diberitakan sebagai kitab suci yang diturunkan Tuhan kepada Nabi Isa a.s.[7] Sedangkan kitab-kitab Injil yang diyakini di kalangan Nashrani, termasuk surat-surat Rasul, kemudian dikenal dengan Kitab Perjanjian Baru. Di samping itu, mereka mengenal adanya pelbagai keterangan atau penjelasan Injil-Injil tersebut berupa cerita-cerita, berita-berita, ajaran-ajaran yang semuanya mereka anggap diterima dan Nabi Isa. Inilah yang menjadi sumber kebudayaan Nashrani.[8]
Pengertian Israiliyat yang dikemukakan oleh Adz-Dzahabi ini, tampaknya masih bersifat umum dan bebas nilai. Maksudnya, apa yang diterima dan sumber Yahudi dan Nashrani itu mencakup semua, termasuk di dalamnya cerita-cerita, legenda, sejarah yang menyangkut hukum atau akidah dan lain-lain. Dalam pengertian itu tidak ada penilaian, seperti yang dapat diterima atau yang ditolak.
Dalam makalahnya yang berjudul “Al-Israiliyat fi Al Tafsir wa Al-Hadis” yang disampaikan dalam Kongres IV Lembaga Riset Islam Universitas Al-Azhar pada tahun 1968 M, Adz-Dzahabi lebih mengkhususkan pengertian Israiliyat pada cerita atau berita yang diriwayatkan dan sumber Israil (Yahudi).[9] Kekhususan pengertian Israiliyat di sini masih sejiwa dengan pengertian sebelumnya, karena para sahabat Rasulullah pertama kali mengambil Israiliyat dalam penafsiran Al-Quran hanya sebatas cerita-cerita dan berita-berita para nabi terdahulu, atau hal-hal yang tidak berkaitan dengan hukum akidah.[10] Namun kemudian, Adz-Dzahabi dalam makalah itu menjelaskan pengertian Israiliyat itu berkembang menuju kepada suatu pengertian yang berkonotasi jelek, yaitu:[11]
كل ماتطرق إلى التفسير والحديث من أساطير قديمة منسوبة فى أصل روايتها إلى مصدر يهودي أونصراني أو غيرهما
Dalam pengertian yang menurut Adz-Dzahabi banyak dipergunakan oleh para ahli tafsir dan hadis ini, menggiring pengertian Israiliyat hanya kepada dongeng-dongeng kuno, baik yang bersumber dan Yahudi, Nashrani, maupun dan sumber lainnya seperti Persia dan Yunani. Sebagai suatu dongeng, Israiliyat sudah berkonotasi terhadap segala “racun” yang dimasukkan ke dalam tafsir dan hadis oleh musuh-musuh Islam yang berasal dan Yahudi, Nashrani dan lainnya berupa berita-berita yang dibuat secara sadar oleh musuh-musuh Islam tersebut. Dengan niat yang jahat untuk merusak akidah kaum Muslimin.[12]
Jika diperhatikan, pengertian Israiliyat terakhir ini tampaknya sudah ke luar dan konteksnya semula, karena sumber Israiliyat mencakup semua sumber yang non-Islami, baik dan sumber Yahudi dan Nashrani, maupun dan sumber lainnya. Begitu pula pengertiannya terlalu ditekankan kepada penilaian yang bertumpu pada dampak negatifnya, di mana faktor subjektivitas seseorang sangat kuat bermain, sehingga sisi ilmiahnya berkurang. Sebagai contoh aplikasi ayat-ayat dan Perjanjian Lama yang dipergunakan untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Quran tidak dianggap Israiliyat, jika tidak membawa akses bagi akidah kaum Muslimin. Sebaliknya, bisa saja suatu hadis yang dianggap sahih, namun jika dinilai dapat membahayakan bagi akidah kaum Muslimin, akan dikategorikan Israiliyat. Oleh karena itulah, penulis menganggap bahwa pengertian Israiliyat yang terakhir ini, kurang tepat dan dapat membawa kepada kekacauan terminologi. Pengertian pertama yang dikemukakan Adz-Dzahabi sendiri, dianggap lebih tepat, karena persyaratan sebagai suatu definisi yang sempurna lebih terpenuhi, khususnya syarat jami’ dan mani’nya.

B. Israiliyat dalam Dimensi Sejarah
Dalam membahas Israiliyat, akan sulit melepaskannya dan dimensi sejarah. Sebab, aspek dari Israiliyat dapat membatu tegaknya Israiliyat pada proporsi sebenarnya, sehingga dapat diberikan penilaian seobjektif mungkin. Hanya saja, sejarahnya sangatlah luas, sehingga di sini hanya akan dibatasi pada dua hal yang dianggap penting, yaitu, latar belakang sejarah masuknya Israiliyat ke dalam penafsiran Al-Quran dan mengenal beberapa tokoh penting di sekitar Israiliyat pada masa yang pertama.

1. Latar Belakang Sejarah
Menurut Adz-Dzhabi salah satu sumber tafsir Al-Quran pada masa shahabat adalah Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani). Pendapat ini tampaknya didasarkan atas fakta sejarah bahwa sementara tokoh-tokoh mufasir Al-Quran pada masa itu ada yang bertanya dan menerima keterangan-keterangan dan tokoh-tokoh Ahli Kitab yang telah masuk Islam, untuk menafsirkan ayat-ayat tertentu dalam Al-Quran. Ibn Abbas, yang terkenal sebagai tokoh mufasir terkemuka pada masa itu, banyak juga mempergunakan sumber ini dalam karya tafsirnya.[13]
Berdasarkan pendapat ini, masuknya Israiliyat ke dalam penafsiran Al-Quran sudah dimulai sejak masa sahabat, yaitu sesaat setelah Rasulullah wafat. Jika dikaji faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi tindakan para sahabat tersebut, dapat dikategorikan dalam dua aspek besar, kultural dan struktural pada masa itu.
Yang termasuk aspek kultural, antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut.
  1. Secara umum kebudayaan bangsa Arab, baik sebelum maupun pada masa lahirnya agama Islam, relatif lebih rendah ketimbang kebudayaan Ahli Kitab, karena kehidupan mereka yang nomad dan buta huruf. Meskipun pada umumnya Ahli Kitab di Arabia juga tak terlepas dan kehidupan nomad mereka, namun mereka relatif lebih mempunyai ilmu pengetahuan, khususnya tentang sejarah masa lalu seperti diketahui oleh umumnya Ahli Kitab waktu itu. Oleh karena itu, wajar adanya kecenderungan kebudayaan yang rendah menyerap kebudayaan yang lebih tinggi jika keduanya bertemu dalam suatu dimensi ruang dan waktu tertentu.[14]
  2. Isi Al-Quran di antaranya mempunyai titik-titik persamaan dengan isi kitab-kitab terdahulu seperti Taurat dan Injil yang dipegang oleh Ahli Kitab pada masa itu, terutama pada cerita-cerita para nabi dan rasul terdahulu yang berbeda dalam penyajiannya. Pada umumnya, Al-Quran menyajikan secara ijaz, sepotong-sepotong disesuaikan dengan kondisi, sebagai nasihat dan pelajaran bagi kaum Muslimin. Sedangkan dalam kitab suci Ahli Kitab penyajiannya agak lengkap seperti dalam penulisan sejarah. Oleh karena itu, wajar jika ada ke-cenderungan untuk melengkapi isi cerita dalam Al-Quran dengan bahan cerita yang sama dan sumber kebudayaan Ahli Kitab.[15]
  3. Adanya beberapa hadis Rasulullah yang dapat dijadikan sandaran oleh para sahabat untuk menerima dan meriwayatkan sesuatu yang bersumber dan Ahli Kitab, meskipun dalam batas-batas tertentu yang dapat dipergunakan untuk menafsirkan A1-Quran.[16]
Sedangkan dari aspek struktural dapat dikemukakan antara lain :
a.   Struktur pemukiman penduduk Arabia waktu itu, di mana kaum Ahli Kitab memiliki pemukiman yang berbaur dengan penduduk asli sejak lama. Menurut sejarah, terjadinya perpindahan penduduk Ahli Kitab dari daerah Syam ke Arabia diawali sejak tahun 70 M. Mereka memasuki Arabia melepaskan diri dari keganasan Kaisar Titus dari Romawi yang telah membakar habis bait Al-Maq’dis. Malah pada waktu Madinah sudah menjadi ibu kota negara yang dipimpin Rasulullah SAW., bangsa Yahudi memiliki pemukiman-pemukiman di sekitar kota. Adanya pembauran pemukiman ini dengan sendirinya membawa kepada adanya pembauran di bidang kebudayaan.[17]
b.  Adanya rute perdagangan bangsa Arab khususnya bangsa Quraisy yang berpusat di Mekah sejak masa Jahiliyah ke utara dan ke selatan pada musim-musim tertentu, mengakibatkan pertemuan mereka dengan orang-orang Ahli Kitab di ujung rute-rute perdagangan tersebut. Hal ini memungkinkan adanya pengaruh kebudayaan Ahli Kitab kepada kebudayaan bangsa Arab.
c.   Struktur sosial umat Islam sejak masa Rasulullah, termasuk di dalamnya orang-orang Ahli Kitab yang telah menganut agama Islam. Malah di antara tokoh-tokoh mereka di kalangan Ahli Kitab itu mendapat kehormatan pula dalam masyarakat Islam. Sangatlah wajar apabila para sahabat menggunakan ilmu pengetahuan mereka yang lebih tinggi tentang cerita-cerita para nabi di kalangan Bani Israil yang juga ada di kalangan masyarakat Islam sendiri, untuk memperjelas bagian-bagian tertentu dan cerita-cerita yang ada dalam Al-Quran.[18]
Meskipun di antara mufasirin pada masa sahabat ada yang mengambil sumber dan Ahli Kitab dalam menafsirkan Al-Quran, jumlahnya masih sedikit sekali dan hanya dalam batas-batas kebolehan yang digariskan Rasulullah berdasarkan hadis yang mereka pegang. Misalnya, mereka tidak menanyakan dan sumber itu tentang masalah hukum dan akidah, kecuali hanya untuk konfirmasi semata. Mereka hanya menanyakan penjelasan terhadap cerita-cerita dalam Al-Quran yang bersifat mujmal. Mereka tidak menerima penjelasan Ahli Kitab yang bertentangan dengan hukum dan akidah yang sudah ditetapkan.[19]
Sedangkan pada masa tabi’in makin banyak kalangan Ahli Kitab yang memeluk agama Islam, dan makin besar kecenderungan para mufasirin masa itu untuk mengambil Israiliyat; maka sumber Ahli Kitab makin banyak dipergunakan. Bahkan pada masa itu, mereka kurang memerhatikan kebenaran sumber dan isinya, sehingga bercampur antara yang hak dan yang batil, yang benar dan yang bohong, serta yang logis dan tidak logis. Di antara mereka adalah Muqatil Ibn Sulaiman dan Muhammad Tbn Ishaq. Meskipun kedua karya mufasirin itu tidak ditemukan sampai sekarang, namun kemudian datang Ibnu Jarir Ath-Thabari yang banyak mengambil riwayat dan mereka dan memasukkannya dalam kitab tafsirnya yang terkenal itu.[20]

2. Tokoh-Tokoh Israiliyat
Menurut Al-Qattan, kebanyakan riwayat yang disebut Israiliyat itu dihubungkan kepada empat nama yang terkenal yaitu, Abdulah Ibn Salam, Ka’b Al-Akhbar, Wahab Ibn Munabbih, dan Abd Al Malik Ibn Abd Aziz Ibn Juraij.[21] Berikut ini akan dikemukakan selintas tentang identitas keempat tokoh tersebut, terutama penilaian ahli hadis tentang ‘adalah mereka, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar dan keabsahan riwayat mereka.

a. Abdullah Ibnu Salam
Nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Abdulah Ibn Salam Ibn Harits Al-Israil Al-Anshari. Semula ia bernama “Al Hashin” yang diubah oleh Rasulullah menjadi Abdullah ketika ia menyatakan keislamannya sesaat sesudah Rasulullah tiba di Madinah dalam peristiwa hijrah.
Statusnya cukup tinggi di mata Rasulullah. Ada dua ayat AlQuran yang diturunkan berkenaan dengan dirinya.[22] Dia termasuk di antara para sahabat yang diberi kabar gembira masuk surga oleh Rasulullah. Dalam perjuangan menegakkan Islam, dia termasuk mujahid di Perang Badar dan ikut menyaksikan penyerahan Bait Al-Maqdis ke tangan kaum Muslimin bersama Umar ibn Khathab. Pada waktu Khalifah Utsman Ibn Affan dikepung oleh kaum pemberontak, dia ke luar menemui mereka atas izin Khalifah untuk membubarkannya, tetapi nasihat-nasihatnya tidak didengar mereka, malah dia diancam mau dibunuh. Dia meninggal di Madinah pada tahun 43 H.
Sebagai seorang sahabat Rasulullah, Abdullah Ibn Salam juga banyak meriwayatkan hadis dari beliau. Hadis-hadis tersebut diriwayatkan darinya oleh kedua putranya yaitu Yusuf dan Muhammad, ‘Auf Ibn Malik, Abu Hurairah, Abu Bardah Ibn Musa, ‘Atha Ibnu Yasar, dan lain-lain. Imam Al-Bukhari juga memasukkan beberapa buah hadis yang diriwayatkannya dan Rasulullah dalam Jami’ Shahih-nya.
Dan segi ‘adalah-nya, kalangan ahli hadis dan tafsir tidak ada yang meragukan. Ketinggian ilmu pengetahuannya diakui sebagai seorang yang paling ‘alim di kalangan bangsa Yahudi pada masa sebelum masuk Islam dan sesudah masuk Islam. Dalam pandangan Mu’adz Ibn Jabal, ia termasuk salah seorang dan empat orang sahabat yang mempunyai otoritas di bidang ilmu dan iman. Kitab-kitab tafsir banyak memuat riwayat-riwayat yang disandarkan kepadanya; di antaranya Tafsir Ath Thabari. Meskipun demikian, dimungkinkan pula bahwa di antara riwayat tersebut ada yang tidak mempunyai sanad yang benar kepadanya.Oleh sebab itu, menurut Adz-Dzahabi, dapat saja ada di antara riwayat-riwayat itu yang tidak bisa diterima.[23]

b. Ka’ab Al-Akhbar
Nama lengkapnya adalah Abu Ishaq Ka’ab Ibn Mani Al-Himyari. Kemudian beliau terkenal dengan gelar Ka’ab Al Akhbar, karena kedalaman ilmu pengetahuannya. Dia berasal dan Yahudi Yaman, dan keluarga Zi Ra’in, dan ada yang mengatakan dari Zi Kila’. Sejarah masuk Islarnnya ada beberapa versi. Menurut Ibn Hajar, dia masuk Islam pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Khathab, lalu berpindah ke Madinah, ikut dalam penyerbuan Islam ke Syam, dan akhirnya pindah ke sana pada masa pemerintahan Khalifah Utsman Ibnu Affan, sampai meninggal pada tahun 32 H di Horns dalam usia 140 tahun.
Ibn Sa’ad memasukkan Ka’ab Al-Akhbar dalam tingkatan pertama dan tabi’in di Syam. Sebagai seorang tabi’in, ia banyak meriwayatkan hadis-hadis dan Rasulullah secara mursal, dan Umar, Shuhaib, dan Aisyah. Hadis-hadisnya banyak diriwayatkan oleh Mu’awiyah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Atha bin Rabah, dan lain-lain.
Dan segi kedalaman ilmunya, beberapa orang sahabat seperti Abu Darda dan Mu’awiyah mengakuinya. Malah menurut Abdullah Ibn Zubair, dia mempunyai semacam prediksi yang tepat. Di samping itu, sekalipun telah masuk Islam, beliau masih tetap membaca dan mempelajari Taurat dan sumber-sumber Ahli Kitab lainnya.
Adapun dan segi’ adâlah, tokoh ini termasuk seorang yang kontroversi. Namun, Adz-Dzahabi tidak sependapat, malah menolak segala alasan sebagian orang yang menuduh Ka’ab sebagai pendusta, malah meragukan keislamannya. Dia beralasan, antara lain bahwa para sahabat seperti Ibn Abbas dan Abu Hurairah, mustahil mereka mengambil riwayat dan seorang Ka’ab yang pendusta. Malah para muhadditsin seperti Imam Muslim juga memasukkan beberapa hadis dan Ka’ab ke dalam kitab Shahih-nya. Begitu pula yang lainnya seperti Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasai juga melakukan hal yang sama dalam kitab Sunan mereka. Sehingga menurut Adz Dzahabi, tentu saja mereka menganggap Ka’ab sebagai seorang yang ‘adil dan tsiqah. Di lain pihak, Ahmad Amin[24] dan Rasyid Ridha[25] menuduh Ka’ab sebagai seorang pendusta, tidak dapat diterima riwayatnya, malah berbahaya bagi Islam. Mereka beralasan, karena ada sementara muhadditsin yang sama sekali tidak menerima riwayatnya seperti lbn Qutaibah dan An-Nawawi, sedangkan Ath-Thabari hanya sedikit meriwayatkan darinya, malah dia dituduh terlibat dalam pembunuhan Khalifah beberapa han sebelum terbunuh.[26] Akan tetapi, alasan Amin dan Rasyid Ridha yang memperkuat pendapat Ibnu Taimiyah sebelumnya, dibantah tegas oleh Adz-Dzahabi yang tetap beranggapan bahwa Ka’ab A1-Akhbar adalah seorang yang cukup ‘adil dan tsiqah.[27] Meskipun demikian, tokoh Ka’ab Al-Akhbar tetap dianggap sebagai tokoh Israiliyat yang kontroversial.

c. Wahab Ibn Munabbih
Nama lengkapnya adalah Abu Abdilah Wahab Ibn Munabbih Ibn Sij Ibn Zinas Al-Yamani Al-Sha’ani. Lahir pada tahun 34 H dari keluarga keturunan Persia yang migrasi ke negeri Yaman, dan meninggal pada tahun 110 H. Ayahnya, Munabbih Ibn Sij masuk Islam pada masa Rasulullah SAW.
Wahab termasuk di antara tokoh ulama pada masa tabi’in. Sebagai seorang muhaddits, dia banyak meriwayatkan hadis-hadis dan Abu Hurairah, Abu Sa’id Al-Hudry, Ibn Abbas, Ibn Umar, Ibn ‘Amr Ibn Al-’Ash, Jabir, Anas dan lain-lain. Sedangkan hadis-hadisnya diriwayatkan kembali oleh kedua orang anaknya yaitu Abdullah dan Abd Al-Rahman, ‘Amr Ibn Dinar dan lain-lain. Imam Bukhari, Muslim, Nasal, Tirmidzi, dan Abu Dawud memasukkan hadis-hadis yang diriwayatkan Wahab ke dalam kitab kumpulan hadis mereka masing-masing. Dengan demikian, mereka menilainya sebagai seorang yang ‘adil dan tsiqah.
Sebagaimana Ka’ab, Wahab juga mendapat sorotan tajam dan sementara ahli yang menuduhnya sebagai seorang pendusta dan berbahaya bagi Islam dengan cerita-cerita Israiliyat yang banyak dikemukakannya. Akan tetapi, Adz-Dzahabi juga membela Wahab, meskipun dia juga mengakui ketokohan Wahab di bidang cerita-cerita Israiliyat. Namun, dia menganggap pribadi Wahab sebagai sosok yang ‘adil dan tsiqah sebagaimana penilaian mayoritas (jumhur) muhadditsin, seperti disebut di atas. Di samping itu, diakui pula kealiman dan kesufian hidupnya.[28] Dengan mikian, dia juga seorang tokoh yang kontroversial.

d. Abd Al-Malik Ibn A1d Al-’Aziz Ibn Juraij
Nama lengkapnya adalah Abu Al-Walid (Abu A1-Khalid) Abd Al-Malik Ibn Abd Aziz Ibn Juraiz Al-Amawi. Dia berasal dan bangsa Romawi yang beragama Kristen. Lahir pada tahun 80 H di Mekah dan meninggal pada tahun 150 H. Dia terbilang salah satu tokoh di Mekah dan sebagai pelopor penulisan kitab di daerah Hijaz. Sebagai seorang Muhaddits, dia banyak meriwayatkan hadis dan ayahnya, Atha Ibn Abi Rabah Zaid Abi Aslam, Az-Zuhri, dan lain-lain. Sedangkan hadis-hadisnya diriwayatkan kembali oleh kedua orang anaknya yakni, Abd Al-Aziz dan Muhammad, Al-Auzai’ Al-Laits, Yahya Ibn Hanbal yang menilai hadis-hadisnya banyak yang maudhu’. Kelemahannya, menurut penilaian Imam Malik, dia tidak kritis dalam mengambil riwayatnya dari seseorang, sehingga Adz-Dzahabi memperingatkan para mufasirin supaya menghindari masuknya riwayat Ibn Juraij ke dalam karyanya, karena dianggap sebagai suatu karya yang lemah dan tidak mu’tamad.[29]
Demikian, telah diungkapkan identitas beberapa tokoh Israiliyat yang terbesar. Meskipun ada di antara mereka yang dapat dianggap ‘adil dan tsiqah, untuk dapat menerima riwayat yang disandarkan kepadanya, minimal ada dua pengkajian yang harus didahulukan. Pertama, dan segi sanad; dan kedua segi matan. Kajian pertama lebih diutamakan oleh mufasirin. Dalam hal ini, mereka yang disebut terakhir berbeda sikap penilaian terhadap Israiliyat, seperti akan diuraikan berikut ini.

C. Israiliyat di Mata Para Ahli Tafsir
1. Dasar Hukum Penilaian
Israiliyat, baik yang berupa nukilan dan kitab suci (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru), maupun yang cerita atau dongeng yang bersumber dan kebudayaan Ahli Kitab, menjadi salah satu objek pembahasan ahli tafsir, karena keterkaitannya dengan penafsiran Al-Quran dengan atsar (at-tafsir al-ma’sur).[30] Hal itu dikarenakan Israiliyat yang diriwayatkan oleh sebagian sahabat dan tabi’in yang berasal dan Ahli Kitab dipergunakan oleh sebagian mufasir sebagai atsar untuk menafsirkan ayat-ayat AlQuran. Masalahnya, apa yang menjadi dasar hukum tindakan para mufasirin tersebut?
Sebenamya, dalam Al-Quran tidak ada dalil tegas yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum dalam masalah Israiliyat ini. Memang ada beberapa ayat yang menyatakan bahwa Tuhan telah menurunkan beberapa kitab suci kepada nabi-nabi terdahulu, seperti Zabur, Taurat, dan Injil. Orang-orang beriman harus percaya kepada kitab-kitab tersebut,[31] tetapi Al-Quran juga menerangkan bahwa orang-orang. Yahudi dan Nasrani yang disebut Ahli Kitab tersebut telah melakukan perubahan dan memutar balikkan ayat-ayat Tuhan dalam kitab-kitab tersebut, sehingga tidak sepenuhnya lagi merupakan firman-firman suci dan Tuhan.[32] Pada waktu Al-Quran diturunkan, kitab suci seperti itulah yang dipegangi oleh kalangan Ahli Kitab, baik Yahudi maupun Nasrani.
Hanya saja ada beberapa hadis Rasulullah yang dapat dianggap semacam dasar hukum dalam masalah ini, berikut mi akan dikemukakan tiga buah hadis yang terpenting di antaranya, yaitu:
  1. Hadis riwayat Imam Bukhari dan Abu Hurairah: [33]
كان أهل الكتاب يقرءون التورة بالعبرانية ويفسرونها بالعربية لأهل الإسلام. فقال رسول الله ص.م. لاتصدقوا أهل الكتاب ولا تكذبوهم وقولوا امنا بالله وماأنزل الينا
Dari hadis ini secara sepintas dapat dipahami bahwa Rasulullah menyuruh bersikap “tawaqquf” terhadap beritaberita yang dikemukakan Ahli Kitab, yaitu tidak membenarkan dan tidak mendustakan. Akan tetapi, hadis mi bersifat mujmal sehingga memerlukan perincian lebih jauh, bagaimana aplikasinya.
  1. Hadis riwayat Imam Bukhari dan Abdullah ibn Amr Ibn Al-Ash: [34]
بلغوا عنى ولو أية وحدثوا عن بنى إسرا ئيل ولا حرج من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
Hadis mi jelas membolehkan kaum Muslimin meriwayatkan berita-berita dan Ahli Kitab. Yang dilarang adalah bila mengada-ada dengan sengaja sesuatu yang tidak benar bersumber dan Rasulullah. Hadis ini juga masih perlu penjelasan terutama dalam hubungannya dengan hadis pertama.
c.   Hadis riwayat Imam Ahmad, Ibn Abi Syaibah dan Bazzar dan Jabir ibn Abdillah :[35]
أن عمر بن الخطاب أتى النبي ص.م. بكتاب أصابه من بعض أهل الكتاب فقرأه عليه فغضب فقال : أمتهو كون فيها ياابن الخطاب, والذي نفسى بيده لقد جئتكم بها بيضاء نقية لاتسألوا بهم عن شيء فيخبركم بحق فتكذبوا به أن بباطل فتصدقوا به, , والذي نفسى بيده, لو أن موسى ص.م. كان حياماوسعه الا أن يتبعنى.
Dalam hadis ini ada semacam larangan Rasulullah untuk menanyakan segala sesuatu kepada Ahli Kitab, karena dikhawatirkan, jika jawaban mereka itu benar lalu didustakan atau sebaliknya. Jika itu terjadi, akan menjadi dosa. Hadis ini juga memerlukan penjelasan, utamanya dalam kaitannya dengan kedua hadis terdahulu, apakah mengandung pertentangan atau tidak.
Tampaknya, para ahli tidak sependapat dalam memahami ketiga hadis tersebut di atas, sehingga terjadi perbedaan sikap dan penilaian mereka terhadap Israiliyat.

2.   Beberapa pendapat tentang Israiligat
a.   Ibnu Hajar A1-’Asqalani (w. 852 H)
Dalam kitab Fath Al-Bari ketika dia menjelaskan maksud hadis pertama di atas, menulis sebagai berikut: [36]
قوله : لاتصدقوا أهل الكتاب ولا تكذبوهم أي اذاكان ما يخبرونكم به محتلا لئلا يكون فى نفس الأمر صدقا فتكذبوه او كذبا فتصدقواه فتقعوا فى الحرج ولم يرد النهي عن تكذيبهم  فيما ورد شرعنا بخلافه ولاعن تصديقهم  فيما ورد شرعنا بوفاقه , نبه على ذلك الشافعى رحمه الله يؤخذ من هذا الحديث  التوقف عن الخوض فى المشكلات والجزم فيها بما يقع فى الظن وعلى هذا يحمل ماجاء عن السلف من ذلك.
Sedangkan kebolehan memberitakan dalam hadis kedua, menurut pendapatnya, hanya ditujukan pada berita-berita yang sifatnya benar; sedangkan yang jelas kebohongannya, Rasulullah sangat melarang untuk memberitakannya. Jadi, tidak bertentangan dengan maksud hadis pertama.[37] Begitu pula tidak bertentangan dengan hadis ketiga, karena menurut pendapatnya, hadis terakhir ini diucapkan Rasulullah pada masa hukum-hukum dan ajaran pokok agama Islam masih belum ditetapkan, karena dikhawatirkan terjadi fitnah. Namun, setelah kekhawatiran tersebut tidak relevan lagi dengan masanya, kebolehan pun diberikan sebagaimana dinyatakan pada dua hadis sebelumnya, dengan harapan dapat menjadi pelajaran bagi umat.[38]
Pendapat Ibn Hajar ini menyatakan adanya Israiliyat yang dapat diterima, yaitu yang sesuai dengan syariat. Namun, ada pula yang harus tawaqquf terhadapnya karena kebenarannya masih muhtama, dan tidak boleh banyak terlibat dalam masalah yang musykil dan meragukan ini.
b.   Ibnu Kasir (w. 774 H)
Dalam tafsir Al-Quran Al-Azhim, ia membagi Israiliyat kepada tiga golongan. Pertama, yang diketahui kebenarannya, karena ada konfirmasinya dalam syariat, maka dapat diterima. Kedua, yang diketahui kebohongannya, karena ada pertentangannya dengan syariat, maka harus ditolak. Ketiga, yang tidak masuk ke dalam bagian pertama dan kedua tersebut, maka terhadap golongan ini tidak boleh membenarkan dan tidak boleh mendustakannya, tetapi boleh meriwayatkannya.[39] Pendapat Ibn Kasir ini, tidak berbeda dengan pendapat Ibn Hajar, hanya saja dia menegaskan kebolehan meriwayatkan Israiliyat yang sifatnya tidak jelas antara benar dan dustanya. Maksudnya adalah meriwayatkan dengan menerangkan status riwayat tersebut sebagai sesuatu yang harus bersifat tawaqquf terhadapnya. Pendapat inilah yang ia pegang dalam kitab tafsimya tersebut, sehingga banyak juga Israiliyat di dalamnya, tetapi selalu diiringi dengan penjelasan tentang statusnya.[40]
c.   Ibnu Al-Arabi
Dalam Ahkam Al-Quran, ia sangat berhati-hati terhadap Israiliyat. Dalam menjelaskan maksud hadis yang kedua di atas, dia membedakan antara isi berita yang berkenaan dengan diri mereka sendiri (Ahli Kitab), dan yang berkenaan dengan orang lain (non-Ahli Kitab). Yang pertama itu dapat diriwayatkan karena dianggap sebagai pengakuan seseorang terhadap dirinya sendiri yang dia memang lebih tahu tentang dirinya, sedangkan yang kedua harus diteliti lebih dahulu dari segi adalah perawinya dan sisi positif berita itu sendiri. Sedangkan tentang hadis ketiga dia khususkan terhadap masalah hukum syara yang dilarang menerimanya.[41]
d.   Ibnu Taimiyah
Dalam Muqadimah fi Ushul Al-Tafsir, ketika ia membahas perkara-perkara yang sebenarnya tidak begitu perlu dan berguna untuk mengetahuinya dalam rangka penafsiran Al-Quran, seperti tentang warna anjing (ashab al-kahfi) dan namanya, ukuran perahu Nabi Nuh dan jenis kayunya, nama anak kecil yang dibunuh nabi Khidir dan lain-lain, dia menulis sebagai berikut : [42]
فهذه الأمور طريقة العلم بها النقل, فماكان منقولا نقلا صحيحا عن النبي ص.م. قبل ومالا, بأن النقل عن أهل الكتاب ككسب ووهب, وقف عن تصديقه وتكذيبه لقوله ص.م.  اذا أحدثكم أهل الكتاب فلاتصدقوا هم ولا تكذبوهم
Memahami kata-kata tersebut, Rasyid Ridha berkesimpulan bahwa Ibn Taimiyah sama sekali bersikap tawaqquf terhadap kebenaran segala riwayat yang datang dan tokoh-tokoh Israiliyat yang sifatnya tidak ada bukti yang tegas atas kebatilannya. Sikap tawaqquf juga ditujukan kepada isi kitab suci Ahli Kitab (Taurat dan Injil), karena ada kemungkinan isinya itu termasuk yang sudah mereka ubah, atau yang masih asli[43] Jadi, menurut Rasyid Ridha, Ibn Taimiyah memerinci ada dua sikap terhadap Israiliyat: Pertama, tawaqquf (tidak membenarkan dan tidak mendustakan) yaitu ditujukan kepada isi kitab suci mereka dan segala yang diriwayatkan oleh tokoh-tokoh Israiliyat yang tidak ada bukti kebohongannya. Kedua, mendustakan riwayat yang jelas ada bukti kebohongannya.
Dengan demikian, sama sekali tidak ada Israiliyat yang dapat dipergunakan dalam rangka penafsiran A1-Quran.[44] Pemahaman Rasyid Ridha mi dianggap keliru oleh Adz-Dzahabi. Menurutnya, pendapat Ibn Taimiyah itu harus dipahami bersamaan dengan pendapatnya di halaman lain dalam kitab tersebut (27 dan 28). Di sana dijelaskan bahwa diriwayatkan oleh tokoh-tokoh Israiliyat tersebut, jika sesuai dengan apa yang datang dari syariat Islam sendiri, maka dapat diterima dan tidak perlu tawaqquf terhadapnya.[45] Jika benar demikian, Ibn Taimiyah juga membenarkan adanya kemungkinan Israiliyat yang dapat dipergunakan dalam rangka penafsiran Al-Quran.
e.   Rasyid Ridha (w. 1935 M)
Dalam muqadimah tafsir Al-Manar, ia menegaskan sikapnya terhadap Israiliyat antara lain sebagai berikut.[46]
فالحق أن مالايعلم إلابالنقل عن المعصوم من أخبارهم الغيب الماضى أوالمستقبل وأمثاله لايقبل فى إثباته إلا الحديث الصحيح المرفوع إلى النبي ص.م. وهذه قاعدة الإمام ابن جرير التى يصرح بها كثيرا.
Pendapatnya ini sama dengan sikap ibn Taimiyah sebagaimana yang dipahaminya. Namun tampaknya dia berbeda pendapat dengan gurunya, Syaikh Muhammad Abduh (w. 1905 M). Dalam hal ini, Abduh setelah berulang-ulang memperingatkan kewajiban berhati-hati terhadap cerita-cerita nabi-nabi Bani Israil yang dibawakan oleh para Mufasir yang tafsirnya penuh dengan Israiliyat, dia menulis sebagai berikut.[47]
فنحن نعذر المفسرين الذين حشوا كتب التفسير بالقصص التى لايوثق بها الحسن قصدهم ولكننا لانعول على ذلك بل ننتهى عنه ونقف عند نصوص القران لانتعداها وإنما نوضها بما يوافقها إذا صحت روايتها
Di sini Muhammad Abduh memberikan adanya kemungkinan untuk mempergunakan Israiliyat dalam menjelaskan nash-nash AlQuran apabila sesuai dengan nash tersebut dan benar riwayatnya. Pendapat ini akan bertambah jelas jika dihubungkan dengan tulisan dalam muqaddimah tafsir Al-Manar berkaitan dengan macam-macam tafsir Al-Quran terdahulu sebagai berikut.[48]
ثالثها : تتبع القصص وقد سلك هذا السلك أقوام زادوا فى قصص القران ماشاءوا من كتب التواريخ والإسرائيلى ولم يعتمدوا على التوراة والإنجيل والكتب المعتمدة عند أهل الكتاب وغيرهم بل أخذوا جميع ماسمعوه عنهم من غير تفريق بين غث وسمين ولاتنقيح لمايخلف الشرع ولا يطابق العقل.
Dari kutipan ini dapat dipahami bahwa Abduh tidak mengkritik jika sumber cerita itu berasal dan kitab Taurat, Injil dan kitab-kitab yang dipegang oleh Ahli Kitab, dan isinya tidak bertentangan dengan syara dan akal sehat. Jika benar demikian, dapat dimengerti mengapa di dalam tafsir Al-Manar juga ditemukan banyak kutipan dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam memperjelas kitab Taurat dan Injil dan kitab-kitab yang dipegang Ahli Kitab dari pengertian “Israiliyat” yang sangat bertentangan itu.
Dengan demikian, pada dasarnya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha memiliki pandangan yang sama terhadap Taurat. Keduanya menukil dari Taurat dalam penafsirannya terhadap AlQuran dan membolehkannya, jika memiliki pembenaran dari AlQuran dan akal.
Selain itu, Muhammad Abduh menulis tafsirnya dalam majalah sehingga dipastikan akan banyak dibaca orang, baik dan kalangan Muslim maupum non-Muslim. Ia juga seorang dai, yang berarti berusaha membela Islam dengan menggunakan dalil dari orang luar Islam.
f.    Al-Biqa’i
Dalam tafsirnya, Al-Munasabat, ia berpendapat bahwa dibolehkan mempergunakan ayat-ayat dalam kitab suci Ahli Kitab (Taurat dan Injil) apabila ada konfirmasinya dan Al-Quran. Sebaliknya, terhadap keterangan yang tidak ada konfirmasinya, baik yang membenarkan maupun yang mendustakannya, dia menunjuk kepada hadis pertama dan kedua tersebut di atas, yang dianggapnya membolehkan untuk mengambil berita-berita tertentu, sebagaimana sahabat Rasulullah melaksanakannya.[49]
A1-Biqa’i hampir dihukum mati, karena mengutip ayat-ayat dan Taurat dan Injil yang sudah diubah. Kemudian dia tidak memisahkan antara Al-Quran dan tafsirnya. Sedangkan alasan A1-Biqai meriwayatkan dan Taurat dengan alasan untuk pembuktian kebenaran isi Al-Quran. Ia berpendapat:
قل فأتوا بالتوراة فاتلوها إن كنتم صادقين
Maksudnya: Apa yang dapat memberi kebenaran isi Al-Quran? Adakah dari Al-Quran tentang pembuktian terhadap orang-orang Ahli Kitab. Jika ada dari Taurat itu dapat digunakan sebagai tambahan penjelasan atau idea/pandangan kita yang sudah ada terhadap penafsiran Al-Quran, lalu ada penjelasan dan Taurat, maka mi juga dibolehkan.
g.   Al-Qasimi
Dalam tafsirnya, Mahasin At-Ta’wil ia mengemukakan pendapatnya sekaligus mengakhiri pembahasannya tentang konfirmasi cerita-cerita nabi-nabi terdahulu dengan Israiliyat, bahwa kitab suci ahli kitab (Taurat dan Injil) dan segala riwayat yang bersumber dan mereka, sama-sama dapat dipegangi, karena adanya kebohongan dan pertentangan di dalamnya sampai sekarang.[50] Jadi, pendapatnya sama dengan pendapat Rasyid Ridha sebelumnya.
h.   Adz-Dzahabi
Dalam kitabnya, At-Tafsir wa Al-Mufassirun, ia membagi Israiliyat pada tiga jenis: Pertama, yang diketahui kesahihannya, karena adanya konfirmasi dan sabda Nabi SAW. atau dikuatkan oleh syariat. Bentuk ini dapat diterima. Kedua, diketahui kebohongannya, karena pertentangannya dengan syari’at atau tidak sesuai dengan akal sehat. Bentuk ini tidak boleh diterima dan tidak boleh meriwayatkannya. Ketiga, yang tidak termasuk kedua jenis tersebut di atas, harus bersikap tawaqquf terhadapnya (tidak membenarkan dan tidak mendustakan), tetapi boleh meriwayatkannya, yang didasarkannya atas hadis pertama di atas. Selanjutnya, Adz-Dzahabi menentukan pula beberapa kriteria terhadap penilaian ketiga bentuk ini. Ia beranggapan bahwa kebanyakan tidak begitu diperlukan dalam masalah agama, yakni:
Jika ada konfirmasinya yang datang dari perkataan salah seorang sahabat yang bukan berasal dan Ahli Kitab dengan riwayat yang sahih, dapat juga diterima seperti jenis pertama. Apabila diyakini bahwa perkataan tersebut benar-benar dan sahabat yang bersangkutan, karena ia tidak mungkin mengambil dan Ahli Kitab setelah tegas ada larangan Rasulullah untuk membenarkannya. Akan tetapi, jika tidak yakin benar berasal dan sahabat yang bersangkutan, lebih baik diterima juga, karena kemungkman sahabat tersebut mendengar dan Rasulullah. Hal ini lebih kuat daripada dia mengambil dan Ahli Kitab. Sebagaimana diketahui, para sahabat lebih sedikit mengambil dan Ahli Kitab daripada para tabi’in sesudahnya.
Kriteria lain ialah, jika ada konfirmasi yang datang dan sebagian tabi’in yang berbeda-beda isinya (tidak sepakat), maka mi termasuk yang harus tawaqquf, karena kemungkinan besar mereka mengambil dan Ahli Kitab dan jauh kemungkinan mendengar langsung dan Rasulullah. Namun, jika mereka sepakat, lebih pantas diterima saja, karena adanya kesepakatan di antara mereka itu menjauhkan dugaan bahwa mereka mengambil dan Ahli Kitab.[51]
Berdasarkan keterangan di atas, dapat diketahui bahwa AlQuran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian Nabi menjelaskan petunjuk dan Allah berdasarkan pendapat Nabi (dengan bimbingan wahyu) kepada para sahabat.
Sementara itu, kalangan tabi’in kurang mendapatkan penjelasan, padahal mereka ingin mengetahui maksud ayat secara lebih jauh, sehingga mereka akhirnya jatuh ke Israiliyat.
Sikap kita pada masa sekarang terhadap kitab-kitab tafsir yang memuat Israiliyat adalah:
  1. Jika sejalan dengan Al-Quran dan akal, dapat diterima;
  2. Jika bertentangan dengan Al-Quran, ditolak;
Kita menolak riwayat Abu Hurairah tentang awal penciptaan,
karena bertentangan dengan Al-Quran;
  1. Jika bertentangan dengan akal, tafsir dengan akal harus didahulukan.
Dengan kata lain, jenis Israiliyat yang ditolak adalah yang jelas bertentangan dengan syariat dan akal dan diriwayatkan oleh orang yang tidak maqbul riwayat.
Dan Israiliyat yang dapat diterima adalah:
  1. Sejalan dengan atau mendapatkan konfirmasi dan Al-Quran Israiliyat yang ditawaqqufkan:
  2. Yang tidak mendapat konfirmasi dan Al-Quran.
Sedangkan kriteria penolakan dan penerimaan menurut M. Quraisy Syihab, antara lain:
  1. Al-Quran
Taurat menyebutkan sab’ah ayyam, sedangkan dalam Al-Quran dinyatakan sittah ayyarn, maka keterangan dan Taurat itu tertolak.
  1. Akal dan ilmu, yakni pemikiran yang sudah disepakati, bukan yang berdasarkan subjektivitas masing-masing golongan, Misalnya, soal kelahiran iz sebagai kembaran dari Ya’qub.

D. Kesimpulan
Dari uraian terdahulu dapat disimpulkan bahwa pengertian Israiliyat di kalangan para ahli tafsir tidak sama, karena adanya perbedaan tekanan pengertian pada sumber, materi dan dampak dan Israiliyat itu sendiri. Dan segi sejarah, masuknya Israiliyat ke dalam kerangka penafsiran Al-Quran adalah dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi pada masa sahabat, baik kultural maupun struktural. Sedangkan beberapa tokoh terkemuka Israiliyat, jika dilihat dan segi keadilan dan ke-tsiqah-an mereka, ada di antaranya yang tidak diragukan, ada yang sangat diragukan di samping ada yang bersifat kontroversial. Berdasarkan konstelasi di atas, para ahli tafsir tidak sepakat tentang sikap dan penilaian mereka terhadap Israiliyat. Di antaranya ada yang menolak sama sekali, dan lebih banyak yang menerima secara selektif.
Keberadaan Israiliyat dalam kitab-kitab tafsir Al-Quran, sangat menurunkan derajat Al-Quran, karena di dalamnya bercampur baur yang hak dengan yang batil, yang benar dengan yang bohong, yang ilmiah dengan dongeng semata. Bahkan kenyataan itu dapat membahayakan Islam sendiri, dan merugikan dakwah Islam di abad modem mi, di saat kemajuan ilmu dan teknologi makin pesat. Dengan demikian, perlu diintensifkan penelitian ilmiah terhadap segala macam Israiliyat yang ada dalam kitab-kitab tafsir, dengan mempergunakan kriteria yang disepakati bersama, sehingga AlQuran dengan tafsirnya dapat dibersihkan dan noda Israiliyat yang ditinggalkannya selama ini.

DAFTAR PUSTAKA
Adz-Dzahabi At-Tafsr Wa Al-Mufassirun, (Kairo: Dar Al-Kutub Al Haditsah, 1961), Jilid I,
Adz-Dzhabi, “Al-Israiliyat fi At-Tafsir wa Al-Hadist”, Majalat Al-Azhar, Sya’ban 1388 H/Oktober 1968 M
Ahmad Amin, Dhuha Al-Islam, (Mesir: Mathal ba’ah Lajnah Ai-Ta’lif wa Ai-Nasr,
1952), Jiid II, him. 310.
Az-Zarqani, Manabilu Al-’Irfan Fi Ulumi Al Qur’an (Mesir: Matha’ah Isa Al-Baby Al-Halabi Wa Syurakahu, jilid II)
Ibnu Hajar Al Asqalany, Fath al-Bary (Kairo: Mathba’ah Ai-Khairiyah, 1325 H.), Juz VIII
Ibnu Katsir Ibn Ai-Quraisyi, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim (Mesir: Isa Ai-Babi Aql Halaby As-Syurakahu, juz I) hIm. 4.
Manna’ Al-Qattan, Mahabis Fi ‘Lilumi Al Qu’ran (Mesir: Mansyurat Ai’Ashari AlHadis, 1973), cet. Ke—2.
Musnad Imam Ahmad juz III him. 287, lihat: Adz-Dzahabi, Op. Cit. him. 172-173.
Jamal Al din Al-Qasimi Mahasinu Ai-ta’wil, jaz I. H. 45-47.
Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung : Pustaka Setia, 2006
Rasyid Ridha, Tafsir AlQuran Al-Hakim, (Mesir. Dar Al-Manar, 1373), Juz II, cet. IV
Ahmad Syadali, Ahmad Rofi’i , Ulumul Qur’an I, Bandung, Pustaka Setia, 1997

[1] Maksudnya “masa penulisan” yaitu pengumpulan hadis-hadis yang berkenaan dengan penafsiran Al-Quran dijadikan suatu bagiari dan penulisan hadis, waktunya sekitar akhir masa Daulat Umayyah dan awal masa Abbasiyah. Lihat; Moch. AdzDzahabi At-Tafsr Wa Al-Mufassirun, (Kairo: Dar Al-Kutub Al Haditsah, 1961, Jilid I, him. 140-141.
[2] Misalnya dalam penafsiran ayat 88-89 surat Yunus Lihat: Rasyid Ridha, Tafsir AlQuran Al-Hakim, (Mesir. Dar Al-Manar, 1373), Juz II, cet. IV, Mm. 482—83.
[3] Lihat: Ibnu Hajar Al Asqalany, Fath al-Bary (Kairo: Mathba’ah Ai-Khairiyah, 1325 H.), Juz VIII, hIm. 120.
[4] Rasyid Ridha, Op. Cit., Juz I, him. 289.
[5] Adz-Dzhabi, Op. Cit., him. 165.
[6] Surat Al-Maidah ayat 44 dan 45.
[7] Surat Al-Hadid ayat: 27
[8] Adz-Dzahabi, Op. cit., him. 165—166
[9] Adz-Dzhabi, “Al-Israiliyat fi At-Tafsir zt’a Al-Hadist”, Majalat Ai-Azhar, Sya’ban 1388 H/Oktober 1968 M, him. 496 (selanjutnya disebut Al-Azhar).
[10] Adz-Dzahabi At-Tafsir zva Al-Mufasirun (selanjutnya disebut: At-Tafsir) him. 173—174.
[11] Ibid. him. 497.
[12] Ibid.
[13] Adz-Dzhabi, Al-Tafsir, him. 61
[14] Ibid. him. 173.
[15] Ibnu Khaidun, Muqaddimah, him. 491—98. Lihat: Adz-Dzahabi him. 177—78.
[16] Ibid. him. 61—62.
[17] Ibid. him. 171—173,
[18] Adz-Dzahabi, Al-Azhar, him. 497.
[19] Ibid.
[20] Ibid, him. 169—171.
[21] Ahmad Amin, Dhuha Al-Islam, (Mesir: Mathal ba’ah Lajnah Ai-Ta’lif wa Ai-Nasr,
1952), Jiid II, him. 310.
[22] Manna’ Al-Qattan, Mahabis Fi ‘Lilumi Al Qu’ran (Mesir: Mansyurat Ai’Ashari AlHadis, 1973), cet. Ke—2, him. 355.
[23] Yaitu: Surat Ar-Ra’du ayat 43; dan surat Ai-Ahqaf ayat 10.
[24] Adz-Dzahabi At-Tafsir, him. 184-187.
[25] Ahmad Ainin, Fajru Al Islam, hIm. 198, iihat Ibid. 189.
[26] Rasyid Ridha, Op. Cit. juz I, 9—10.
[27] Lihat: Adz-Dzahabi, Loc. Cit.
[28] ibid. him. 194.
[29] Ibid. him. 195—197.
[30] Ibid. him. 198—200. Lihat Ahmad Amin, Dhuha Al-Islam, II, him. 130.
[31] Pengertian At-Tafsir Al-M’tsur menurut Az-Zarqani, yaitu apa saja berasal dan AlQuran, As-Sunnah, atau perkataan sahabat sebagai penjeias terhadap maksud Allah
SWT. dalam kitabnya. Lihat: Az-Zarqani, Manabilu Al-’Irfan Fi Ulumi Al Qur’an (Mesir: Matha’ah Isa Al-Baby Al-Halabi Wa Syurakahu, jilid II)hlm. 12.
[32] Lihat: Surat Al-Baqarah Ayat: 4 dan ayat 285.
[33] Lihat: Surat A?-An’am ayat 91; dan surat A1-Maidah ayat: 14-15.
[34] Ibn Hajar A1-Asqalany, Loc. Cit.
[35] Ibid, juz VI, hIm. 226.
[36] Musnad Imam Ahmad juz III him. 287, lihat: Adz-Dzahabi, Op. Cit. him. 172-173.
[37] Ibnu Hajar, juz VIII, Loc. Cit.
[38] Ibnu Hajar, juz VI, Loc. Cit.
[39] ibid.
[40] Ibnu Katsir Ibn Ai-Quraisyi, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim (Mesir: Isa Ai-Babi Aql Halaby As-Syurakahu, juz I) hIm. 4.
[41] Adz-Dzahabi, Op. Cit. 246.
[42] Ibn Al-Araby, Ahkam Al Qur’an (Mesir: Isa Al Babi Ai-Halabi Wa Syurakahu, juz I). 11.
[43] Lihat Rasyid Ridha, Op. Cit. ju.z 1, him. 8.
[44] Lihat: Surat All Imran ayat 23.
[45] Rasyid Ridha, Op. Cit. him. 9.
[46] Adz-Dzahabi, Op. Cit. him. 191—192.
[47] Rasyid Ridha, Op. Cit. hIm. 10.
[48] Ibid. hIm. 347—348.
[49] Ibid hIm. 18.
[50] Lihat: Jamal Al din Al-Qasimi Mahasinu Ai-ta’wil, jaz I. H. 45-47.
[51] Adz-Dzahaby, Op.Cit. hIm. 179-180.