Pendahuluan
Adanya Israiliyat dalam
kitab-kitab tafsir Al-Quran merupakan realitas yang tidak dapat dipungkiri.
Sejak periode tadwin[1] sampai sekarang berpuluh-puluh macam
kitab tafsir telah dihasilkan oleh para pengabdi Al-Quran. Namun, sebagian
besar di dalamnya ada yang dikenal dengan istilah “Israiliyat”, yang
dianggap sebagai unsur-unsur Yahudi dan Kristen dalam penafsiran Al-Quran.
Harus diakui bahwa intensitas pemuatan Israiliyat dalam kitab-kitab
tafsir tersebut tidaklah sama sesuai dengan sikap atau pandangan penulisnya
terhadap masalah itu. Dalam tafsir Al-Manar misalnya, penulisnya sangat
getol menghantam keberadaan Israiliyat dalam kitab-kitab tafsir terdahulu,
ternyata di dalamnya terdapat pula sumber-sumber Israiliyat dalam menafsirkan
ayat-ayat tertentu dalam Al-Quran.[2] Kenyataan ini mengandung suatu pertanyaan
pokok yang mendasar, apa sebenarnya pengertian (definisi) Israiliyat sebagai
suatu terminologi dalam ilmu tafsir Al-Quran.
Seiring dengan pertanyaan pokok
tersebut, tersirat pula pertanyaan lain yang memiliki hubungan sangat erat,
yaitu, bagaimana sikap yang sebenarnya terhadap Israiliyat tersebut dalam
kerangka penafsiran Al-Quran. Sebenarnya Rasulullah SAW. telah memberikan
semacam pegangan dalam menjawab pertanyaan terakhir ini. Antara lain,
sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya, yang
bersumber dan Abu Hurairah r.a. berkaitan dengan tafsir ayat 136 surat
Al-Baqarah. Ketika itu, sahabat tersebut memberitahukan kepada Rasulullah bahwa
Ahli Kitab membaca kitab Taurat yang berbahasa Ibrani dan menafsirkannya dengan
bahasa Arab untuk konsumsi umat Islam. Menanggapi berita ini, Rasulullah SAW.
lalu bersabda [3] :
لاتصدقوا
أهل الكتاب ولا تكذبوهم وقولوا امنا بالله وماأنزل الينا
Sikap tidak membenarkan dan tidak
mendustakan terhadap apa saja yang diterima dan para Ahli Kitab (Yahudi dan
Nasrani) sebagaimana yang ditegaskan oleh hadis tersebut di atas ternyata
mengundang beberapa pertanyaan. Antara lain, apakah sikap itu berlaku untuk
semua berita atau hanya untuk berita-berita tertentu saja? Bagaimana
berita-berita dan mereka yang ada konfirmasinya dari sumber islami? Apakah
harus bersikap “tawaqquf’ seperti itu? Atau, bagaimana mengaplikasikan
isi hadis tersebut, dalam menafsirkan Al-Quran yang ada sumbernya dari Ahli
Kitab?
A. Pengertian Israiliyat
Secara leksikal, Israiliyat adalah
masdar shinai’y dari kata “israil” yang merupakan gelar Nabi
Ya’kub ibn Ishaq ibn Ibrahim a.s. Nabi Ya’kub adalah nenek moyang bangsa
Yahudi, karena kedua belas suku bangsa Yahudi yang terkenal itu berinduk
kepadanya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa “Israiliyat” berarti, seorang
raja, pejuang di jalan Allah.[4] Israiliydt adalah lafazh jama’ dan
Israiliyah.
Menurut Adz-Dzahabi dalam bukunya
yang berjudul At Tafsir wal Al-Mufassirun, secara sepintas israiliyat
itu mengandung pengertian pengaruh kebudayaan Yahudi dalam penafsiran
AlQuran. Akan tetapi, dia memberi pengertian yang lebih luas, yaitu :[5]
مايعمها
اللون اليهودي واللون النصراني للتفسير ومايتأثربه التفسيرمن الثقافتين اليهودية
والنصرانية
Untuk lebih menjelaskan pengertian
ini, Adz-Dzahabi menjelaskan apa yang dimaksud dengan kebudayaan Yahudi dan
kebudayaan Nasrani itu. Kebudayaan Yahudi dalam pandangannya berpangkal pada
kitab Taurat yang diberitakan Al-Quran sebagai kitab suci yang di antaranya
berisi bermacam-macam hukum syari’at yang diturunkan Tuhan kepada Nabi Musa
a.s.[6] Kemudian kitab Taurat digunakan sebagai
predikat terhadap semua kitab suci agama Yahudi, termasuk di dalamnya kitab
Jabur dan lain-lainnya yang kemudian dikenal dengan sebutan Kitab Perjanjian
Lama. Di samping kitab Taurat yang diterima bangsa Yahudi secara tertulis,
mereka juga mempunyai pelbagai ajaran dan keterangan yang diterima mereka dan
Nabi secara lisan, dan mulut ke mulut. Kemudian setelah beberapa abad lamanya,
ajaran tersebut dibukukan dengan nama Talmud. Selain itu, bangsa Yahudi
juga mempunyai kekayaan seni sastra berupa cerita-cerita, legenda-legenda,
sejarah, dan sebagainya. Semua itu memperkaya apa yang disebut “Kebudayaan
Yahudi”. Adapun kebudayaan Nashrani menurut Adz-Dzahabi berpangkal kepada kitab
Injil yang di dalam Al-Quran diberitakan sebagai kitab suci yang diturunkan
Tuhan kepada Nabi Isa a.s.[7] Sedangkan kitab-kitab Injil yang diyakini di
kalangan Nashrani, termasuk surat-surat Rasul, kemudian dikenal dengan Kitab
Perjanjian Baru. Di samping itu, mereka mengenal adanya pelbagai keterangan
atau penjelasan Injil-Injil tersebut berupa cerita-cerita, berita-berita,
ajaran-ajaran yang semuanya mereka anggap diterima dan Nabi Isa. Inilah yang
menjadi sumber kebudayaan Nashrani.[8]
Pengertian Israiliyat yang dikemukakan
oleh Adz-Dzahabi ini, tampaknya masih bersifat umum dan bebas nilai. Maksudnya,
apa yang diterima dan sumber Yahudi dan Nashrani itu mencakup semua, termasuk
di dalamnya cerita-cerita, legenda, sejarah yang menyangkut hukum atau akidah
dan lain-lain. Dalam pengertian itu tidak ada penilaian, seperti yang dapat
diterima atau yang ditolak.
Dalam makalahnya yang berjudul “Al-Israiliyat
fi Al Tafsir wa Al-Hadis” yang disampaikan dalam Kongres IV Lembaga Riset
Islam Universitas Al-Azhar pada tahun 1968 M, Adz-Dzahabi lebih mengkhususkan
pengertian Israiliyat pada cerita atau berita yang diriwayatkan dan
sumber Israil (Yahudi).[9] Kekhususan pengertian Israiliyat di
sini masih sejiwa dengan pengertian sebelumnya, karena para sahabat Rasulullah
pertama kali mengambil Israiliyat dalam penafsiran Al-Quran hanya sebatas
cerita-cerita dan berita-berita para nabi terdahulu, atau hal-hal yang tidak
berkaitan dengan hukum akidah.[10] Namun kemudian, Adz-Dzahabi dalam makalah
itu menjelaskan pengertian Israiliyat itu berkembang menuju kepada suatu
pengertian yang berkonotasi jelek, yaitu:[11]
كل
ماتطرق إلى التفسير والحديث من أساطير قديمة منسوبة فى أصل روايتها إلى مصدر يهودي
أونصراني أو غيرهما
Dalam pengertian yang menurut
Adz-Dzahabi banyak dipergunakan oleh para ahli tafsir dan hadis ini, menggiring
pengertian Israiliyat hanya kepada dongeng-dongeng kuno, baik yang bersumber
dan Yahudi, Nashrani, maupun dan sumber lainnya seperti Persia dan Yunani.
Sebagai suatu dongeng, Israiliyat sudah berkonotasi terhadap segala “racun”
yang dimasukkan ke dalam tafsir dan hadis oleh musuh-musuh Islam yang berasal
dan Yahudi, Nashrani dan lainnya berupa berita-berita yang dibuat secara sadar
oleh musuh-musuh Islam tersebut. Dengan niat yang jahat untuk merusak akidah
kaum Muslimin.[12]
Jika diperhatikan, pengertian
Israiliyat terakhir ini tampaknya sudah ke luar dan konteksnya semula, karena
sumber Israiliyat mencakup semua sumber yang non-Islami, baik dan sumber Yahudi
dan Nashrani, maupun dan sumber lainnya. Begitu pula pengertiannya terlalu
ditekankan kepada penilaian yang bertumpu pada dampak negatifnya, di mana
faktor subjektivitas seseorang sangat kuat bermain, sehingga sisi ilmiahnya
berkurang. Sebagai contoh aplikasi ayat-ayat dan Perjanjian Lama yang
dipergunakan untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Quran tidak dianggap Israiliyat,
jika tidak membawa akses bagi akidah kaum Muslimin. Sebaliknya, bisa saja suatu
hadis yang dianggap sahih, namun jika dinilai dapat membahayakan bagi
akidah kaum Muslimin, akan dikategorikan Israiliyat. Oleh karena itulah,
penulis menganggap bahwa pengertian Israiliyat yang terakhir ini, kurang tepat
dan dapat membawa kepada kekacauan terminologi. Pengertian pertama yang
dikemukakan Adz-Dzahabi sendiri, dianggap lebih tepat, karena persyaratan
sebagai suatu definisi yang sempurna lebih terpenuhi, khususnya syarat jami’
dan mani’nya.
B. Israiliyat dalam Dimensi Sejarah
Dalam membahas Israiliyat, akan
sulit melepaskannya dan dimensi sejarah. Sebab, aspek dari Israiliyat dapat
membatu tegaknya Israiliyat pada proporsi sebenarnya, sehingga dapat diberikan
penilaian seobjektif mungkin. Hanya saja, sejarahnya sangatlah luas, sehingga
di sini hanya akan dibatasi pada dua hal yang dianggap penting, yaitu, latar
belakang sejarah masuknya Israiliyat ke dalam penafsiran Al-Quran dan mengenal
beberapa tokoh penting di sekitar Israiliyat pada masa yang pertama.
1. Latar Belakang Sejarah
Menurut Adz-Dzhabi salah satu sumber
tafsir Al-Quran pada masa shahabat adalah Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani).
Pendapat ini tampaknya didasarkan atas fakta sejarah bahwa sementara
tokoh-tokoh mufasir Al-Quran pada masa itu ada yang bertanya dan menerima
keterangan-keterangan dan tokoh-tokoh Ahli Kitab yang telah masuk Islam, untuk
menafsirkan ayat-ayat tertentu dalam Al-Quran. Ibn Abbas, yang terkenal sebagai
tokoh mufasir terkemuka pada masa itu, banyak juga mempergunakan sumber ini
dalam karya tafsirnya.[13]
Berdasarkan pendapat ini, masuknya
Israiliyat ke dalam penafsiran Al-Quran sudah dimulai sejak masa sahabat, yaitu
sesaat setelah Rasulullah wafat. Jika dikaji faktor-faktor apa saja yang
melatarbelakangi tindakan para sahabat tersebut, dapat dikategorikan dalam dua
aspek besar, kultural dan struktural pada masa itu.
Yang termasuk aspek kultural, antara
lain dapat dikemukakan sebagai berikut.
- Secara umum kebudayaan bangsa Arab, baik sebelum maupun
pada masa lahirnya agama Islam, relatif lebih rendah ketimbang kebudayaan
Ahli Kitab, karena kehidupan mereka yang nomad dan buta huruf.
Meskipun pada umumnya Ahli Kitab di Arabia juga tak terlepas dan kehidupan
nomad mereka, namun mereka relatif lebih mempunyai ilmu
pengetahuan, khususnya tentang sejarah masa lalu seperti diketahui oleh
umumnya Ahli Kitab waktu itu. Oleh karena itu, wajar adanya kecenderungan
kebudayaan yang rendah menyerap kebudayaan yang lebih tinggi jika keduanya
bertemu dalam suatu dimensi ruang dan waktu tertentu.[14]
- Isi Al-Quran di antaranya mempunyai titik-titik
persamaan dengan isi kitab-kitab terdahulu seperti Taurat dan Injil yang
dipegang oleh Ahli Kitab pada masa itu, terutama pada cerita-cerita para
nabi dan rasul terdahulu yang berbeda dalam penyajiannya. Pada umumnya,
Al-Quran menyajikan secara ijaz, sepotong-sepotong disesuaikan
dengan kondisi, sebagai nasihat dan pelajaran bagi kaum Muslimin.
Sedangkan dalam kitab suci Ahli Kitab penyajiannya agak lengkap seperti
dalam penulisan sejarah. Oleh karena itu, wajar jika ada ke-cenderungan
untuk melengkapi isi cerita dalam Al-Quran dengan bahan cerita yang sama
dan sumber kebudayaan Ahli Kitab.[15]
- Adanya beberapa hadis Rasulullah yang dapat dijadikan
sandaran oleh para sahabat untuk menerima dan meriwayatkan sesuatu yang
bersumber dan Ahli Kitab, meskipun dalam batas-batas tertentu yang dapat
dipergunakan untuk menafsirkan A1-Quran.[16]
Sedangkan dari aspek struktural
dapat dikemukakan antara lain :
a. Struktur pemukiman
penduduk Arabia waktu itu, di mana kaum Ahli Kitab memiliki pemukiman yang
berbaur dengan penduduk asli sejak lama. Menurut sejarah, terjadinya
perpindahan penduduk Ahli Kitab dari daerah Syam ke Arabia diawali sejak tahun
70 M. Mereka memasuki Arabia melepaskan diri dari keganasan Kaisar Titus dari
Romawi yang telah membakar habis bait Al-Maq’dis. Malah pada waktu Madinah
sudah menjadi ibu kota negara yang dipimpin Rasulullah SAW., bangsa Yahudi
memiliki pemukiman-pemukiman di sekitar kota. Adanya pembauran pemukiman ini
dengan sendirinya membawa kepada adanya pembauran di bidang kebudayaan.[17]
b. Adanya rute perdagangan
bangsa Arab khususnya bangsa Quraisy yang berpusat di Mekah sejak masa
Jahiliyah ke utara dan ke selatan pada musim-musim tertentu, mengakibatkan
pertemuan mereka dengan orang-orang Ahli Kitab di ujung rute-rute perdagangan
tersebut. Hal ini memungkinkan adanya pengaruh kebudayaan Ahli Kitab kepada
kebudayaan bangsa Arab.
c. Struktur sosial umat Islam
sejak masa Rasulullah, termasuk di dalamnya orang-orang Ahli Kitab yang telah
menganut agama Islam. Malah di antara tokoh-tokoh mereka di kalangan Ahli Kitab
itu mendapat kehormatan pula dalam masyarakat Islam. Sangatlah wajar apabila
para sahabat menggunakan ilmu pengetahuan mereka yang lebih tinggi tentang
cerita-cerita para nabi di kalangan Bani Israil yang juga ada di kalangan
masyarakat Islam sendiri, untuk memperjelas bagian-bagian tertentu dan
cerita-cerita yang ada dalam Al-Quran.[18]
Meskipun di antara mufasirin pada
masa sahabat ada yang mengambil sumber dan Ahli Kitab dalam menafsirkan
Al-Quran, jumlahnya masih sedikit sekali dan hanya dalam batas-batas kebolehan
yang digariskan Rasulullah berdasarkan hadis yang mereka pegang. Misalnya,
mereka tidak menanyakan dan sumber itu tentang masalah hukum dan akidah,
kecuali hanya untuk konfirmasi semata. Mereka hanya menanyakan penjelasan
terhadap cerita-cerita dalam Al-Quran yang bersifat mujmal. Mereka tidak
menerima penjelasan Ahli Kitab yang bertentangan dengan hukum dan akidah yang
sudah ditetapkan.[19]
Sedangkan pada masa tabi’in makin
banyak kalangan Ahli Kitab yang memeluk agama Islam, dan makin besar
kecenderungan para mufasirin masa itu untuk mengambil Israiliyat; maka sumber
Ahli Kitab makin banyak dipergunakan. Bahkan pada masa itu, mereka kurang
memerhatikan kebenaran sumber dan isinya, sehingga bercampur antara yang hak
dan yang batil, yang benar dan yang bohong, serta yang logis dan tidak logis.
Di antara mereka adalah Muqatil Ibn Sulaiman dan Muhammad Tbn Ishaq. Meskipun
kedua karya mufasirin itu tidak ditemukan sampai sekarang, namun kemudian
datang Ibnu Jarir Ath-Thabari yang banyak mengambil riwayat dan mereka dan
memasukkannya dalam kitab tafsirnya yang terkenal itu.[20]
2. Tokoh-Tokoh Israiliyat
Menurut Al-Qattan, kebanyakan
riwayat yang disebut Israiliyat itu dihubungkan kepada empat nama yang terkenal
yaitu, Abdulah Ibn Salam, Ka’b Al-Akhbar, Wahab Ibn Munabbih, dan Abd Al Malik
Ibn Abd Aziz Ibn Juraij.[21] Berikut ini akan dikemukakan selintas
tentang identitas keempat tokoh tersebut, terutama penilaian ahli hadis tentang
‘adalah mereka, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar dan keabsahan
riwayat mereka.
a.
Abdullah Ibnu Salam
Nama lengkapnya adalah Abu Yusuf
Abdulah Ibn Salam Ibn Harits Al-Israil Al-Anshari. Semula ia bernama “Al
Hashin” yang diubah oleh Rasulullah menjadi Abdullah ketika ia menyatakan
keislamannya sesaat sesudah Rasulullah tiba di Madinah dalam peristiwa hijrah.
Statusnya cukup tinggi di mata
Rasulullah. Ada dua ayat AlQuran yang diturunkan berkenaan dengan dirinya.[22] Dia termasuk di antara para sahabat yang
diberi kabar gembira masuk surga oleh Rasulullah. Dalam perjuangan menegakkan
Islam, dia termasuk mujahid di Perang Badar dan ikut menyaksikan penyerahan Bait
Al-Maqdis ke tangan kaum Muslimin bersama Umar ibn Khathab. Pada waktu
Khalifah Utsman Ibn Affan dikepung oleh kaum pemberontak, dia ke luar menemui
mereka atas izin Khalifah untuk membubarkannya, tetapi nasihat-nasihatnya tidak
didengar mereka, malah dia diancam mau dibunuh. Dia meninggal di Madinah pada
tahun 43 H.
Sebagai seorang sahabat Rasulullah,
Abdullah Ibn Salam juga banyak meriwayatkan hadis dari beliau. Hadis-hadis
tersebut diriwayatkan darinya oleh kedua putranya yaitu Yusuf dan Muhammad,
‘Auf Ibn Malik, Abu Hurairah, Abu Bardah Ibn Musa, ‘Atha Ibnu Yasar, dan
lain-lain. Imam Al-Bukhari juga memasukkan beberapa buah hadis yang
diriwayatkannya dan Rasulullah dalam Jami’ Shahih-nya.
Dan segi ‘adalah-nya, kalangan
ahli hadis dan tafsir tidak ada yang meragukan. Ketinggian ilmu pengetahuannya
diakui sebagai seorang yang paling ‘alim di kalangan bangsa Yahudi pada
masa sebelum masuk Islam dan sesudah masuk Islam. Dalam pandangan Mu’adz Ibn
Jabal, ia termasuk salah seorang dan empat orang sahabat yang mempunyai
otoritas di bidang ilmu dan iman. Kitab-kitab tafsir banyak memuat
riwayat-riwayat yang disandarkan kepadanya; di antaranya Tafsir Ath Thabari.
Meskipun demikian, dimungkinkan pula bahwa di antara riwayat tersebut ada
yang tidak mempunyai sanad yang benar kepadanya.Oleh sebab itu, menurut
Adz-Dzahabi, dapat saja ada di antara riwayat-riwayat itu yang tidak bisa
diterima.[23]
b. Ka’ab
Al-Akhbar
Nama lengkapnya adalah Abu Ishaq
Ka’ab Ibn Mani Al-Himyari. Kemudian beliau terkenal dengan gelar Ka’ab Al
Akhbar, karena kedalaman ilmu pengetahuannya. Dia berasal dan Yahudi Yaman, dan
keluarga Zi Ra’in, dan ada yang mengatakan dari Zi Kila’. Sejarah masuk
Islarnnya ada beberapa versi. Menurut Ibn Hajar, dia masuk Islam pada masa
pemerintahan Khalifah Umar Ibn Khathab, lalu berpindah ke Madinah, ikut dalam
penyerbuan Islam ke Syam, dan akhirnya pindah ke sana pada masa pemerintahan
Khalifah Utsman Ibnu Affan, sampai meninggal pada tahun 32 H di Horns dalam
usia 140 tahun.
Ibn Sa’ad memasukkan Ka’ab Al-Akhbar
dalam tingkatan pertama dan tabi’in di Syam. Sebagai seorang tabi’in, ia banyak
meriwayatkan hadis-hadis dan Rasulullah secara mursal, dan Umar,
Shuhaib, dan Aisyah. Hadis-hadisnya banyak diriwayatkan oleh Mu’awiyah, Abu
Hurairah, Ibnu Abbas, Atha bin Rabah, dan lain-lain.
Dan segi kedalaman ilmunya, beberapa
orang sahabat seperti Abu Darda dan Mu’awiyah mengakuinya. Malah menurut
Abdullah Ibn Zubair, dia mempunyai semacam prediksi yang tepat. Di samping itu,
sekalipun telah masuk Islam, beliau masih tetap membaca dan mempelajari Taurat
dan sumber-sumber Ahli Kitab lainnya.
Adapun dan segi’ adâlah, tokoh
ini termasuk seorang yang kontroversi. Namun, Adz-Dzahabi tidak sependapat,
malah menolak segala alasan sebagian orang yang menuduh Ka’ab sebagai pendusta,
malah meragukan keislamannya. Dia beralasan, antara lain bahwa para sahabat
seperti Ibn Abbas dan Abu Hurairah, mustahil mereka mengambil riwayat dan
seorang Ka’ab yang pendusta. Malah para muhadditsin seperti Imam Muslim
juga memasukkan beberapa hadis dan Ka’ab ke dalam kitab Shahih-nya. Begitu
pula yang lainnya seperti Abu Dawud, Tirmidzi, dan Nasai juga melakukan hal
yang sama dalam kitab Sunan mereka. Sehingga menurut Adz Dzahabi, tentu
saja mereka menganggap Ka’ab sebagai seorang yang ‘adil dan tsiqah. Di
lain pihak, Ahmad Amin[24] dan Rasyid Ridha[25] menuduh Ka’ab sebagai seorang pendusta,
tidak dapat diterima riwayatnya, malah berbahaya bagi Islam. Mereka beralasan,
karena ada sementara muhadditsin yang sama sekali tidak menerima riwayatnya
seperti lbn Qutaibah dan An-Nawawi, sedangkan Ath-Thabari hanya sedikit
meriwayatkan darinya, malah dia dituduh terlibat dalam pembunuhan Khalifah
beberapa han sebelum terbunuh.[26] Akan tetapi, alasan Amin dan Rasyid Ridha
yang memperkuat pendapat Ibnu Taimiyah sebelumnya, dibantah tegas oleh
Adz-Dzahabi yang tetap beranggapan bahwa Ka’ab A1-Akhbar adalah seorang yang
cukup ‘adil dan tsiqah.[27] Meskipun demikian, tokoh Ka’ab
Al-Akhbar tetap dianggap sebagai tokoh Israiliyat yang kontroversial.
c. Wahab
Ibn Munabbih
Nama lengkapnya adalah Abu Abdilah
Wahab Ibn Munabbih Ibn Sij Ibn Zinas Al-Yamani Al-Sha’ani. Lahir pada tahun 34
H dari keluarga keturunan Persia yang migrasi ke negeri Yaman, dan meninggal pada
tahun 110 H. Ayahnya, Munabbih Ibn Sij masuk Islam pada masa Rasulullah SAW.
Wahab termasuk di antara tokoh ulama
pada masa tabi’in. Sebagai seorang muhaddits, dia banyak meriwayatkan
hadis-hadis dan Abu Hurairah, Abu Sa’id Al-Hudry, Ibn Abbas, Ibn Umar, Ibn ‘Amr
Ibn Al-’Ash, Jabir, Anas dan lain-lain. Sedangkan hadis-hadisnya diriwayatkan
kembali oleh kedua orang anaknya yaitu Abdullah dan Abd Al-Rahman, ‘Amr Ibn
Dinar dan lain-lain. Imam Bukhari, Muslim, Nasal, Tirmidzi, dan Abu Dawud
memasukkan hadis-hadis yang diriwayatkan Wahab ke dalam kitab kumpulan hadis
mereka masing-masing. Dengan demikian, mereka menilainya sebagai seorang yang ‘adil
dan tsiqah.
Sebagaimana Ka’ab, Wahab juga
mendapat sorotan tajam dan sementara ahli yang menuduhnya sebagai seorang
pendusta dan berbahaya bagi Islam dengan cerita-cerita Israiliyat yang banyak
dikemukakannya. Akan tetapi, Adz-Dzahabi juga membela Wahab, meskipun dia juga
mengakui ketokohan Wahab di bidang cerita-cerita Israiliyat. Namun, dia
menganggap pribadi Wahab sebagai sosok yang ‘adil dan tsiqah sebagaimana
penilaian mayoritas (jumhur) muhadditsin, seperti disebut di atas. Di
samping itu, diakui pula kealiman dan kesufian hidupnya.[28] Dengan mikian, dia juga seorang tokoh yang
kontroversial.
d. Abd
Al-Malik Ibn A1d Al-’Aziz Ibn Juraij
Nama lengkapnya adalah Abu Al-Walid
(Abu A1-Khalid) Abd Al-Malik Ibn Abd Aziz Ibn Juraiz Al-Amawi. Dia berasal dan
bangsa Romawi yang beragama Kristen. Lahir pada tahun 80 H di Mekah dan
meninggal pada tahun 150 H. Dia terbilang salah satu tokoh di Mekah dan sebagai
pelopor penulisan kitab di daerah Hijaz. Sebagai seorang Muhaddits, dia banyak
meriwayatkan hadis dan ayahnya, Atha Ibn Abi Rabah Zaid Abi Aslam, Az-Zuhri,
dan lain-lain. Sedangkan hadis-hadisnya diriwayatkan kembali oleh kedua orang
anaknya yakni, Abd Al-Aziz dan Muhammad, Al-Auzai’ Al-Laits, Yahya Ibn Hanbal
yang menilai hadis-hadisnya banyak yang maudhu’. Kelemahannya, menurut
penilaian Imam Malik, dia tidak kritis dalam mengambil riwayatnya dari
seseorang, sehingga Adz-Dzahabi memperingatkan para mufasirin supaya menghindari
masuknya riwayat Ibn Juraij ke dalam karyanya, karena dianggap sebagai suatu
karya yang lemah dan tidak mu’tamad.[29]
Demikian, telah diungkapkan
identitas beberapa tokoh Israiliyat yang terbesar. Meskipun ada di antara
mereka yang dapat dianggap ‘adil dan tsiqah, untuk dapat menerima
riwayat yang disandarkan kepadanya, minimal ada dua pengkajian yang harus
didahulukan. Pertama, dan segi sanad; dan kedua segi matan.
Kajian pertama lebih diutamakan oleh mufasirin. Dalam hal ini, mereka yang
disebut terakhir berbeda sikap penilaian terhadap Israiliyat, seperti akan
diuraikan berikut ini.
C. Israiliyat di Mata Para Ahli
Tafsir
1. Dasar
Hukum Penilaian
Israiliyat, baik yang berupa nukilan
dan kitab suci (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru), maupun yang cerita atau
dongeng yang bersumber dan kebudayaan Ahli Kitab, menjadi salah satu objek
pembahasan ahli tafsir, karena keterkaitannya dengan penafsiran Al-Quran dengan
atsar (at-tafsir al-ma’sur).[30] Hal itu dikarenakan Israiliyat yang
diriwayatkan oleh sebagian sahabat dan tabi’in yang berasal dan Ahli Kitab
dipergunakan oleh sebagian mufasir sebagai atsar untuk menafsirkan
ayat-ayat AlQuran. Masalahnya, apa yang menjadi dasar hukum tindakan para mufasirin
tersebut?
Sebenamya, dalam Al-Quran tidak ada
dalil tegas yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum dalam masalah Israiliyat
ini. Memang ada beberapa ayat yang menyatakan bahwa Tuhan telah menurunkan
beberapa kitab suci kepada nabi-nabi terdahulu, seperti Zabur, Taurat, dan
Injil. Orang-orang beriman harus percaya kepada kitab-kitab tersebut,[31] tetapi Al-Quran juga menerangkan bahwa
orang-orang. Yahudi dan Nasrani yang disebut Ahli Kitab tersebut telah
melakukan perubahan dan memutar balikkan ayat-ayat Tuhan dalam kitab-kitab
tersebut, sehingga tidak sepenuhnya lagi merupakan firman-firman suci dan
Tuhan.[32] Pada waktu Al-Quran diturunkan, kitab suci
seperti itulah yang dipegangi oleh kalangan Ahli Kitab, baik Yahudi maupun
Nasrani.
Hanya saja ada beberapa hadis
Rasulullah yang dapat dianggap semacam dasar hukum dalam masalah ini, berikut
mi akan dikemukakan tiga buah hadis yang terpenting di antaranya, yaitu:
- Hadis riwayat Imam Bukhari dan Abu Hurairah: [33]
كان
أهل الكتاب يقرءون التورة بالعبرانية ويفسرونها بالعربية لأهل الإسلام. فقال رسول
الله ص.م. لاتصدقوا أهل الكتاب ولا تكذبوهم وقولوا امنا بالله وماأنزل الينا
Dari hadis ini secara sepintas dapat
dipahami bahwa Rasulullah menyuruh bersikap “tawaqquf” terhadap
beritaberita yang dikemukakan Ahli Kitab, yaitu tidak membenarkan dan tidak
mendustakan. Akan tetapi, hadis mi bersifat mujmal sehingga memerlukan
perincian lebih jauh, bagaimana aplikasinya.
- Hadis riwayat Imam Bukhari dan Abdullah ibn Amr Ibn
Al-Ash: [34]
بلغوا
عنى ولو أية وحدثوا عن بنى إسرا ئيل ولا حرج من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من
النار
Hadis mi jelas membolehkan kaum
Muslimin meriwayatkan berita-berita dan Ahli Kitab. Yang dilarang adalah bila
mengada-ada dengan sengaja sesuatu yang tidak benar bersumber dan Rasulullah.
Hadis ini juga masih perlu penjelasan terutama dalam hubungannya dengan hadis
pertama.
c. Hadis riwayat Imam Ahmad,
Ibn Abi Syaibah dan Bazzar dan Jabir ibn Abdillah :[35]
أن
عمر بن الخطاب أتى النبي ص.م. بكتاب أصابه من بعض أهل الكتاب فقرأه عليه فغضب فقال
: أمتهو كون فيها ياابن الخطاب, والذي نفسى بيده لقد جئتكم بها بيضاء نقية لاتسألوا بهم عن شيء
فيخبركم بحق فتكذبوا به أن بباطل فتصدقوا به, , والذي نفسى بيده, لو أن موسى ص.م.
كان حياماوسعه الا أن يتبعنى.
Dalam hadis ini ada semacam larangan
Rasulullah untuk menanyakan segala sesuatu kepada Ahli Kitab, karena
dikhawatirkan, jika jawaban mereka itu benar lalu didustakan atau sebaliknya.
Jika itu terjadi, akan menjadi dosa. Hadis ini juga memerlukan penjelasan,
utamanya dalam kaitannya dengan kedua hadis terdahulu, apakah mengandung
pertentangan atau tidak.
Tampaknya, para ahli tidak
sependapat dalam memahami ketiga hadis tersebut di atas, sehingga terjadi
perbedaan sikap dan penilaian mereka terhadap Israiliyat.
2. Beberapa pendapat tentang Israiligat
a. Ibnu Hajar
A1-’Asqalani (w. 852 H)
Dalam kitab Fath Al-Bari ketika
dia menjelaskan maksud hadis pertama di atas, menulis sebagai berikut: [36]
قوله
: لاتصدقوا أهل الكتاب ولا تكذبوهم أي اذاكان ما يخبرونكم به محتلا لئلا يكون فى
نفس الأمر صدقا فتكذبوه او كذبا فتصدقواه فتقعوا فى الحرج ولم يرد النهي عن
تكذيبهم فيما ورد شرعنا بخلافه ولاعن تصديقهم فيما ورد شرعنا بوفاقه ,
نبه على ذلك الشافعى رحمه الله يؤخذ من هذا الحديث التوقف عن الخوض فى
المشكلات والجزم فيها بما يقع فى الظن وعلى هذا يحمل ماجاء عن السلف من ذلك.
Sedangkan kebolehan memberitakan
dalam hadis kedua, menurut pendapatnya, hanya ditujukan pada berita-berita yang
sifatnya benar; sedangkan yang jelas kebohongannya, Rasulullah sangat melarang
untuk memberitakannya. Jadi, tidak bertentangan dengan maksud hadis pertama.[37] Begitu pula tidak bertentangan dengan hadis
ketiga, karena menurut pendapatnya, hadis terakhir ini diucapkan Rasulullah
pada masa hukum-hukum dan ajaran pokok agama Islam masih belum ditetapkan,
karena dikhawatirkan terjadi fitnah. Namun, setelah kekhawatiran tersebut tidak
relevan lagi dengan masanya, kebolehan pun diberikan sebagaimana dinyatakan
pada dua hadis sebelumnya, dengan harapan dapat menjadi pelajaran bagi umat.[38]
Pendapat Ibn Hajar ini menyatakan
adanya Israiliyat yang dapat diterima, yaitu yang sesuai dengan syariat. Namun,
ada pula yang harus tawaqquf terhadapnya karena kebenarannya masih muhtama,
dan tidak boleh banyak terlibat dalam masalah yang musykil dan meragukan
ini.
b. Ibnu Kasir (w. 774 H)
Dalam tafsir Al-Quran Al-Azhim, ia
membagi Israiliyat kepada tiga golongan. Pertama, yang diketahui kebenarannya,
karena ada konfirmasinya dalam syariat, maka dapat diterima. Kedua, yang
diketahui kebohongannya, karena ada pertentangannya dengan syariat, maka harus
ditolak. Ketiga, yang tidak masuk ke dalam bagian pertama dan kedua
tersebut, maka terhadap golongan ini tidak boleh membenarkan dan tidak boleh
mendustakannya, tetapi boleh meriwayatkannya.[39] Pendapat Ibn Kasir ini, tidak berbeda dengan
pendapat Ibn Hajar, hanya saja dia menegaskan kebolehan meriwayatkan Israiliyat
yang sifatnya tidak jelas antara benar dan dustanya. Maksudnya adalah meriwayatkan
dengan menerangkan status riwayat tersebut sebagai sesuatu yang harus
bersifat tawaqquf terhadapnya. Pendapat inilah yang ia pegang dalam
kitab tafsimya tersebut, sehingga banyak juga Israiliyat di dalamnya,
tetapi selalu diiringi dengan penjelasan tentang statusnya.[40]
c. Ibnu Al-Arabi
Dalam Ahkam Al-Quran, ia
sangat berhati-hati terhadap Israiliyat. Dalam menjelaskan maksud hadis yang
kedua di atas, dia membedakan antara isi berita yang berkenaan dengan diri
mereka sendiri (Ahli Kitab), dan yang berkenaan dengan orang lain
(non-Ahli Kitab). Yang pertama itu dapat diriwayatkan karena dianggap sebagai
pengakuan seseorang terhadap dirinya sendiri yang dia memang lebih tahu tentang
dirinya, sedangkan yang kedua harus diteliti lebih dahulu dari segi adalah perawinya
dan sisi positif berita itu sendiri. Sedangkan tentang hadis ketiga dia
khususkan terhadap masalah hukum syara yang dilarang menerimanya.[41]
d. Ibnu Taimiyah
Dalam Muqadimah fi Ushul
Al-Tafsir, ketika ia membahas perkara-perkara yang sebenarnya tidak begitu
perlu dan berguna untuk mengetahuinya dalam rangka penafsiran Al-Quran, seperti
tentang warna anjing (ashab al-kahfi) dan namanya, ukuran perahu Nabi
Nuh dan jenis kayunya, nama anak kecil yang dibunuh nabi Khidir dan lain-lain,
dia menulis sebagai berikut : [42]
فهذه
الأمور طريقة العلم بها النقل, فماكان منقولا نقلا صحيحا عن النبي ص.م. قبل ومالا,
بأن النقل عن أهل الكتاب ككسب ووهب, وقف عن تصديقه وتكذيبه لقوله ص.م. اذا
أحدثكم أهل الكتاب فلاتصدقوا هم ولا تكذبوهم
Memahami kata-kata tersebut, Rasyid
Ridha berkesimpulan bahwa Ibn Taimiyah sama sekali bersikap tawaqquf terhadap
kebenaran segala riwayat yang datang dan tokoh-tokoh Israiliyat yang sifatnya
tidak ada bukti yang tegas atas kebatilannya. Sikap tawaqquf juga
ditujukan kepada isi kitab suci Ahli Kitab (Taurat dan Injil), karena ada
kemungkinan isinya itu termasuk yang sudah mereka ubah, atau yang masih asli[43] Jadi, menurut Rasyid Ridha, Ibn Taimiyah
memerinci ada dua sikap terhadap Israiliyat: Pertama, tawaqquf (tidak
membenarkan dan tidak mendustakan) yaitu ditujukan kepada isi kitab suci mereka
dan segala yang diriwayatkan oleh tokoh-tokoh Israiliyat yang tidak ada bukti
kebohongannya. Kedua, mendustakan riwayat yang jelas ada bukti
kebohongannya.
Dengan demikian, sama sekali tidak
ada Israiliyat yang dapat dipergunakan dalam rangka penafsiran A1-Quran.[44] Pemahaman Rasyid Ridha mi dianggap keliru
oleh Adz-Dzahabi. Menurutnya, pendapat Ibn Taimiyah itu harus dipahami
bersamaan dengan pendapatnya di halaman lain dalam kitab tersebut (27 dan 28).
Di sana dijelaskan bahwa diriwayatkan oleh tokoh-tokoh Israiliyat tersebut,
jika sesuai dengan apa yang datang dari syariat Islam sendiri, maka dapat
diterima dan tidak perlu tawaqquf terhadapnya.[45] Jika benar demikian, Ibn Taimiyah juga
membenarkan adanya kemungkinan Israiliyat yang dapat dipergunakan dalam rangka penafsiran
Al-Quran.
e. Rasyid Ridha (w. 1935
M)
Dalam muqadimah tafsir Al-Manar,
ia menegaskan sikapnya terhadap Israiliyat antara lain sebagai berikut.[46]
فالحق
أن مالايعلم إلابالنقل عن المعصوم من أخبارهم الغيب الماضى أوالمستقبل وأمثاله
لايقبل فى إثباته إلا الحديث الصحيح المرفوع إلى النبي ص.م. وهذه قاعدة الإمام ابن
جرير التى يصرح بها كثيرا.
Pendapatnya ini sama dengan sikap
ibn Taimiyah sebagaimana yang dipahaminya. Namun tampaknya dia berbeda pendapat
dengan gurunya, Syaikh Muhammad Abduh (w. 1905 M). Dalam hal ini, Abduh setelah
berulang-ulang memperingatkan kewajiban berhati-hati terhadap cerita-cerita
nabi-nabi Bani Israil yang dibawakan oleh para Mufasir yang tafsirnya penuh
dengan Israiliyat, dia menulis sebagai berikut.[47]
فنحن
نعذر المفسرين الذين حشوا كتب التفسير بالقصص التى لايوثق بها الحسن قصدهم ولكننا
لانعول على ذلك بل ننتهى عنه ونقف عند نصوص القران لانتعداها وإنما نوضها بما
يوافقها إذا صحت روايتها
Di sini Muhammad Abduh memberikan
adanya kemungkinan untuk mempergunakan Israiliyat dalam menjelaskan nash-nash
AlQuran apabila sesuai dengan nash tersebut dan benar riwayatnya. Pendapat ini
akan bertambah jelas jika dihubungkan dengan tulisan dalam muqaddimah tafsir
Al-Manar berkaitan dengan macam-macam tafsir Al-Quran terdahulu sebagai
berikut.[48]
ثالثها
: تتبع القصص وقد سلك هذا السلك أقوام زادوا فى قصص القران ماشاءوا من كتب
التواريخ والإسرائيلى ولم يعتمدوا على التوراة والإنجيل والكتب المعتمدة عند أهل
الكتاب وغيرهم بل أخذوا جميع ماسمعوه عنهم من غير تفريق بين غث وسمين ولاتنقيح
لمايخلف الشرع ولا يطابق العقل.
Dari kutipan ini dapat dipahami
bahwa Abduh tidak mengkritik jika sumber cerita itu berasal dan kitab Taurat,
Injil dan kitab-kitab yang dipegang oleh Ahli Kitab, dan isinya tidak
bertentangan dengan syara dan akal sehat. Jika benar demikian, dapat dimengerti
mengapa di dalam tafsir Al-Manar juga ditemukan banyak kutipan dari
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam memperjelas kitab Taurat dan Injil
dan kitab-kitab yang dipegang Ahli Kitab dari pengertian “Israiliyat” yang
sangat bertentangan itu.
Dengan demikian, pada dasarnya
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha memiliki pandangan yang sama terhadap Taurat.
Keduanya menukil dari Taurat dalam penafsirannya terhadap AlQuran dan
membolehkannya, jika memiliki pembenaran dari AlQuran dan akal.
Selain itu, Muhammad Abduh menulis
tafsirnya dalam majalah sehingga dipastikan akan banyak dibaca orang, baik dan
kalangan Muslim maupum non-Muslim. Ia juga seorang dai, yang berarti berusaha
membela Islam dengan menggunakan dalil dari orang luar Islam.
f. Al-Biqa’i
Dalam tafsirnya, Al-Munasabat, ia
berpendapat bahwa dibolehkan mempergunakan ayat-ayat dalam kitab suci Ahli
Kitab (Taurat dan Injil) apabila ada konfirmasinya dan Al-Quran. Sebaliknya,
terhadap keterangan yang tidak ada konfirmasinya, baik yang membenarkan maupun
yang mendustakannya, dia menunjuk kepada hadis pertama dan kedua tersebut di
atas, yang dianggapnya membolehkan untuk mengambil berita-berita tertentu,
sebagaimana sahabat Rasulullah melaksanakannya.[49]
A1-Biqa’i hampir dihukum mati,
karena mengutip ayat-ayat dan Taurat dan Injil yang sudah diubah. Kemudian dia
tidak memisahkan antara Al-Quran dan tafsirnya. Sedangkan alasan A1-Biqai
meriwayatkan dan Taurat dengan alasan untuk pembuktian kebenaran isi Al-Quran.
Ia berpendapat:
قل
فأتوا بالتوراة فاتلوها إن كنتم صادقين
Maksudnya: Apa yang dapat memberi
kebenaran isi Al-Quran? Adakah dari Al-Quran tentang pembuktian terhadap
orang-orang Ahli Kitab. Jika ada dari Taurat itu dapat digunakan sebagai
tambahan penjelasan atau idea/pandangan kita yang sudah ada terhadap penafsiran
Al-Quran, lalu ada penjelasan dan Taurat, maka mi juga dibolehkan.
g. Al-Qasimi
Dalam tafsirnya, Mahasin
At-Ta’wil ia mengemukakan pendapatnya sekaligus mengakhiri pembahasannya
tentang konfirmasi cerita-cerita nabi-nabi terdahulu dengan Israiliyat, bahwa
kitab suci ahli kitab (Taurat dan Injil) dan segala riwayat yang bersumber dan
mereka, sama-sama dapat dipegangi, karena adanya kebohongan dan pertentangan di
dalamnya sampai sekarang.[50] Jadi, pendapatnya sama dengan pendapat
Rasyid Ridha sebelumnya.
h. Adz-Dzahabi
Dalam kitabnya, At-Tafsir wa
Al-Mufassirun, ia membagi Israiliyat pada tiga jenis: Pertama, yang
diketahui kesahihannya, karena adanya konfirmasi dan sabda Nabi SAW. atau
dikuatkan oleh syariat. Bentuk ini dapat diterima. Kedua, diketahui
kebohongannya, karena pertentangannya dengan syari’at atau tidak sesuai dengan
akal sehat. Bentuk ini tidak boleh diterima dan tidak boleh meriwayatkannya. Ketiga,
yang tidak termasuk kedua jenis tersebut di atas, harus bersikap tawaqquf
terhadapnya (tidak membenarkan dan tidak mendustakan), tetapi boleh
meriwayatkannya, yang didasarkannya atas hadis pertama di atas. Selanjutnya,
Adz-Dzahabi menentukan pula beberapa kriteria terhadap penilaian ketiga bentuk
ini. Ia beranggapan bahwa kebanyakan tidak begitu diperlukan dalam masalah
agama, yakni:
Jika ada konfirmasinya yang datang
dari perkataan salah seorang sahabat yang bukan berasal dan Ahli Kitab dengan
riwayat yang sahih, dapat juga diterima seperti jenis pertama. Apabila
diyakini bahwa perkataan tersebut benar-benar dan sahabat yang bersangkutan,
karena ia tidak mungkin mengambil dan Ahli Kitab setelah tegas ada larangan
Rasulullah untuk membenarkannya. Akan tetapi, jika tidak yakin benar berasal
dan sahabat yang bersangkutan, lebih baik diterima juga, karena kemungkman
sahabat tersebut mendengar dan Rasulullah. Hal ini lebih kuat daripada dia
mengambil dan Ahli Kitab. Sebagaimana diketahui, para sahabat lebih sedikit
mengambil dan Ahli Kitab daripada para tabi’in sesudahnya.
Kriteria lain ialah, jika ada
konfirmasi yang datang dan sebagian tabi’in yang berbeda-beda isinya (tidak sepakat),
maka mi termasuk yang harus tawaqquf, karena kemungkinan besar mereka
mengambil dan Ahli Kitab dan jauh kemungkinan mendengar langsung dan
Rasulullah. Namun, jika mereka sepakat, lebih pantas diterima saja, karena
adanya kesepakatan di antara mereka itu menjauhkan dugaan bahwa mereka
mengambil dan Ahli Kitab.[51]
Berdasarkan keterangan di atas,
dapat diketahui bahwa AlQuran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian
Nabi menjelaskan petunjuk dan Allah berdasarkan pendapat Nabi (dengan bimbingan
wahyu) kepada para sahabat.
Sementara itu, kalangan tabi’in
kurang mendapatkan penjelasan, padahal mereka ingin mengetahui maksud ayat
secara lebih jauh, sehingga mereka akhirnya jatuh ke Israiliyat.
Sikap kita pada masa sekarang
terhadap kitab-kitab tafsir yang memuat Israiliyat adalah:
- Jika sejalan dengan Al-Quran dan akal, dapat diterima;
- Jika bertentangan dengan Al-Quran, ditolak;
Kita menolak riwayat Abu Hurairah
tentang awal penciptaan,
karena bertentangan dengan Al-Quran;
karena bertentangan dengan Al-Quran;
- Jika bertentangan dengan akal, tafsir dengan akal harus
didahulukan.
Dengan kata lain, jenis Israiliyat
yang ditolak adalah yang jelas bertentangan dengan syariat dan akal dan
diriwayatkan oleh orang yang tidak maqbul riwayat.
Dan Israiliyat yang dapat diterima
adalah:
- Sejalan dengan atau mendapatkan konfirmasi dan Al-Quran
Israiliyat yang ditawaqqufkan:
- Yang tidak mendapat konfirmasi dan Al-Quran.
Sedangkan kriteria penolakan dan
penerimaan menurut M. Quraisy Syihab, antara lain:
- Al-Quran
Taurat menyebutkan sab’ah ayyam, sedangkan
dalam Al-Quran dinyatakan sittah ayyarn, maka keterangan dan Taurat itu
tertolak.
- Akal dan ilmu, yakni pemikiran yang sudah disepakati, bukan yang berdasarkan subjektivitas masing-masing golongan, Misalnya, soal kelahiran iz sebagai kembaran dari Ya’qub.
D. Kesimpulan
Dari uraian terdahulu dapat
disimpulkan bahwa pengertian Israiliyat di kalangan para ahli tafsir
tidak sama, karena adanya perbedaan tekanan pengertian pada sumber, materi dan
dampak dan Israiliyat itu sendiri. Dan segi sejarah, masuknya Israiliyat ke
dalam kerangka penafsiran Al-Quran adalah dilatarbelakangi oleh situasi dan
kondisi pada masa sahabat, baik kultural maupun struktural. Sedangkan beberapa
tokoh terkemuka Israiliyat, jika dilihat dan segi keadilan dan ke-tsiqah-an mereka,
ada di antaranya yang tidak diragukan, ada yang sangat diragukan di samping ada
yang bersifat kontroversial. Berdasarkan konstelasi di atas, para ahli tafsir
tidak sepakat tentang sikap dan penilaian mereka terhadap Israiliyat. Di
antaranya ada yang menolak sama sekali, dan lebih banyak yang menerima secara
selektif.
Keberadaan Israiliyat dalam
kitab-kitab tafsir Al-Quran, sangat menurunkan derajat Al-Quran, karena di
dalamnya bercampur baur yang hak dengan yang batil, yang benar dengan yang
bohong, yang ilmiah dengan dongeng semata. Bahkan kenyataan itu dapat membahayakan
Islam sendiri, dan merugikan dakwah Islam di abad modem mi, di saat kemajuan
ilmu dan teknologi makin pesat. Dengan demikian, perlu diintensifkan penelitian
ilmiah terhadap segala macam Israiliyat yang ada dalam kitab-kitab tafsir,
dengan mempergunakan kriteria yang disepakati bersama, sehingga AlQuran dengan
tafsirnya dapat dibersihkan dan noda Israiliyat yang ditinggalkannya selama
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adz-Dzahabi At-Tafsr Wa
Al-Mufassirun, (Kairo: Dar Al-Kutub Al Haditsah, 1961), Jilid I,
Adz-Dzhabi, “Al-Israiliyat fi
At-Tafsir wa Al-Hadist”, Majalat Al-Azhar, Sya’ban 1388 H/Oktober 1968 M
Ahmad Amin, Dhuha Al-Islam, (Mesir:
Mathal ba’ah Lajnah Ai-Ta’lif wa Ai-Nasr,
1952), Jiid II, him. 310.
1952), Jiid II, him. 310.
Az-Zarqani, Manabilu Al-’Irfan Fi
Ulumi Al Qur’an (Mesir: Matha’ah Isa Al-Baby Al-Halabi Wa Syurakahu, jilid
II)
Ibnu Hajar Al Asqalany, Fath
al-Bary (Kairo: Mathba’ah Ai-Khairiyah, 1325 H.), Juz VIII
Ibnu Katsir Ibn Ai-Quraisyi, Tafsir
Al Qur’an Al ‘Azhim (Mesir: Isa Ai-Babi Aql Halaby As-Syurakahu, juz I)
hIm. 4.
Manna’ Al-Qattan, Mahabis Fi
‘Lilumi Al Qu’ran (Mesir: Mansyurat Ai’Ashari AlHadis, 1973), cet. Ke—2.
Musnad Imam Ahmad juz III him. 287,
lihat: Adz-Dzahabi, Op. Cit. him. 172-173.
Jamal Al din Al-Qasimi Mahasinu
Ai-ta’wil, jaz I. H. 45-47.
Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu
Tafsir, Bandung : Pustaka Setia, 2006
Rasyid Ridha, Tafsir AlQuran
Al-Hakim, (Mesir. Dar Al-Manar, 1373), Juz II, cet. IV
Ahmad Syadali, Ahmad Rofi’i , Ulumul
Qur’an I, Bandung, Pustaka Setia, 1997
[1] Maksudnya “masa penulisan” yaitu pengumpulan
hadis-hadis yang berkenaan dengan penafsiran Al-Quran dijadikan suatu bagiari
dan penulisan hadis, waktunya sekitar akhir masa Daulat Umayyah dan awal masa
Abbasiyah. Lihat; Moch. AdzDzahabi At-Tafsr Wa Al-Mufassirun, (Kairo:
Dar Al-Kutub Al Haditsah, 1961, Jilid I, him. 140-141.
[2] Misalnya dalam penafsiran ayat 88-89 surat
Yunus Lihat: Rasyid Ridha, Tafsir AlQuran Al-Hakim, (Mesir. Dar
Al-Manar, 1373), Juz II, cet. IV, Mm. 482—83.
[3] Lihat: Ibnu Hajar Al Asqalany, Fath
al-Bary (Kairo: Mathba’ah Ai-Khairiyah, 1325 H.), Juz VIII, hIm. 120.
[4] Rasyid Ridha, Op. Cit., Juz I, him.
289.
[5] Adz-Dzhabi, Op. Cit., him. 165.
[6] Surat Al-Maidah ayat 44 dan 45.
[7] Surat Al-Hadid ayat: 27
[8] Adz-Dzahabi, Op. cit., him. 165—166
[9] Adz-Dzhabi, “Al-Israiliyat fi At-Tafsir
zt’a Al-Hadist”, Majalat Ai-Azhar, Sya’ban 1388 H/Oktober 1968 M, him. 496
(selanjutnya disebut Al-Azhar).
[10] Adz-Dzahabi At-Tafsir zva Al-Mufasirun (selanjutnya
disebut: At-Tafsir) him. 173—174.
[11] Ibid. him. 497.
[12] Ibid.
[13] Adz-Dzhabi, Al-Tafsir, him. 61
[14] Ibid. him. 173.
[15] Ibnu Khaidun, Muqaddimah, him.
491—98. Lihat: Adz-Dzahabi him. 177—78.
[16] Ibid. him. 61—62.
[17] Ibid. him. 171—173,
[18] Adz-Dzahabi, Al-Azhar, him. 497.
[19] Ibid.
[20] Ibid, him. 169—171.
[21] Ahmad Amin, Dhuha Al-Islam, (Mesir:
Mathal ba’ah Lajnah Ai-Ta’lif wa Ai-Nasr,
1952), Jiid II, him. 310.
1952), Jiid II, him. 310.
[22] Manna’ Al-Qattan, Mahabis Fi ‘Lilumi Al
Qu’ran (Mesir: Mansyurat Ai’Ashari AlHadis, 1973), cet. Ke—2, him. 355.
[23] Yaitu: Surat Ar-Ra’du ayat 43; dan surat
Ai-Ahqaf ayat 10.
[24] Adz-Dzahabi At-Tafsir, him. 184-187.
[25] Ahmad Ainin, Fajru Al Islam, hIm.
198, iihat Ibid. 189.
[26] Rasyid Ridha, Op. Cit. juz I, 9—10.
[27] Lihat: Adz-Dzahabi, Loc. Cit.
[28] ibid. him. 194.
[29] Ibid. him. 195—197.
[30] Ibid. him. 198—200. Lihat Ahmad Amin,
Dhuha Al-Islam, II, him. 130.
[31] Pengertian At-Tafsir Al-M’tsur menurut
Az-Zarqani, yaitu apa saja berasal dan AlQuran, As-Sunnah, atau perkataan
sahabat sebagai penjeias terhadap maksud Allah
SWT. dalam kitabnya. Lihat: Az-Zarqani, Manabilu Al-’Irfan Fi Ulumi Al Qur’an (Mesir: Matha’ah Isa Al-Baby Al-Halabi Wa Syurakahu, jilid II)hlm. 12.
SWT. dalam kitabnya. Lihat: Az-Zarqani, Manabilu Al-’Irfan Fi Ulumi Al Qur’an (Mesir: Matha’ah Isa Al-Baby Al-Halabi Wa Syurakahu, jilid II)hlm. 12.
[32] Lihat: Surat Al-Baqarah Ayat: 4 dan ayat
285.
[33] Lihat: Surat A?-An’am ayat 91; dan surat A1-Maidah
ayat: 14-15.
[34] Ibn Hajar A1-Asqalany, Loc. Cit.
[35] Ibid, juz VI, hIm. 226.
[36] Musnad Imam Ahmad juz III him. 287, lihat:
Adz-Dzahabi, Op. Cit. him. 172-173.
[37] Ibnu Hajar, juz VIII, Loc. Cit.
[38] Ibnu Hajar, juz VI, Loc. Cit.
[39] ibid.
[40] Ibnu Katsir Ibn Ai-Quraisyi, Tafsir Al
Qur’an Al ‘Azhim (Mesir: Isa Ai-Babi Aql Halaby As-Syurakahu, juz I) hIm.
4.
[41] Adz-Dzahabi, Op. Cit. 246.
[42] Ibn Al-Araby, Ahkam Al Qur’an (Mesir:
Isa Al Babi Ai-Halabi Wa Syurakahu, juz I). 11.
[43] Lihat Rasyid Ridha, Op. Cit. ju.z 1,
him. 8.
[44] Lihat: Surat All Imran ayat 23.
[45] Rasyid Ridha, Op. Cit. him. 9.
[46] Adz-Dzahabi, Op. Cit. him. 191—192.
[47] Rasyid Ridha, Op. Cit. hIm. 10.
[48] Ibid. hIm. 347—348.
[49] Ibid hIm. 18.
[50] Lihat: Jamal Al din Al-Qasimi Mahasinu
Ai-ta’wil, jaz I. H. 45-47.
[51] Adz-Dzahaby, Op.Cit. hIm. 179-180.