A. Pendahuluan
Saat nabi muhammad Saw. akan
mengutus Mu’az bin Jabal ke Yaman untuk menjadi hakim, keduanya sempat
melakukan dialog. Dialog tersebut sangat penting direferensi karena
substansinya mengungkapkan metode penetapan hukum Islam. Isi dialog
mereka adalah sebagai berikut :
عن
معاذ بن جبل قال : قال رسول الله عليه وسلمو, كيف تقض إذاعرض لك قضاء؟ قال أقضى
بكتاب الله قال فإن لم تجد فى كتاب الله؟ قال فبسنة رسول الله قال فإن لم تجد فى
سننة رسول الله ولا فى كتاب الله ؟ قال أجتهد رأي ولا ألو … [1]
“Dari Muaz bin Jabal berkata : Nabi
bertanya kepadaku (Muaz bin Jabal) Bagaimana engkau memutuskan perkara jika
diajukan orang kepada engkau? Muaz menjawab, saya akan putuskan dengan kitab
Allah. Nabi bertanya kembali, bagaimana jika tidak engkau temukan dalam kitab
Allah?, Saya akan putuskan dengan sunnah Rasulullah jawab Muaz. Rasulullah bertanya
kembali, jika tidak engkau dapatkan dalam sunnah Rasulullah dan tidak pula
dalam Kitab Allah? Muaz menjawab, saya akan berijtihad dengan pemikiran saya
dan saya tidak akan berlebih-lebihan. (HR Abu Daud)
Dari riwayat Mu’az di atas diperoleh
kesimpulan bahwa sumber-sumber asli Hukum Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah.
Jika di dalam al-Qur’an atau Sunnah tidak terdapat ketentuan-ketentuan hukum
sesuatu, maka diusahakan menemukan hukumnya melalui ijtihad. Ijtihad adalah
“penggunaan pikiran semaksimal mungkin” untuk memperoleh ketentuan hukum syara.[2] Diantara bentuk-bentuk ijtihad adalah qiyas,
i, istislah, istishab, ‘urf, sadd al-zarai.[3]
Tulisan ini mencoba membahas
penerapan istihsan sebagai salah satu metode kajian hukum Islam. Hal ini
penting diketahui oleh peminat kajian hukum Islam, karena seorang hakim,
misalnya apabila menghadapi peristiwa hukum yang ketentuan hukumnya dituntut
oleh keumuman nas atau oleh qiyas yang zhahir atau oleh
penerapan hukum kulliy, bila diterapkan nas umum atau bila diikuti qiyas
zhahir tersebut akan berakibat hilangnya maslahah atau timbulnya mafsadah,
maka hukum terhadap peristiwa hukum tersebut dipindahkan kepada ketentuan hukum
lain yang dituntut pentakhsisannya dari ketentuan umum atau pengecualian dari
hukum kulliy atau pun dituntut oleh qiyas khafy. Maka penerapan
serupa ini tersebut istihsan. Gambaran konkritnya ialah :
“Melihat aurat perempuan yang bukan mahram,
hukumnya haram karena dapat menimbulkan fitnah (membawa orang kepada dosa).
Bagaimana hukumnya seorang dokter yang harus memeriksa pasien wanitanya ? Bila
ia tidak melihat auratnya, ia tidak bisa menolong pasien itu dengan baik. Ia
harus menolong pasien itu untuk mengembalikan kesehatan pasiennya. ‘illat
kasus ini hanya menolong pasiennya saja”. Dokter tersebut boleh melihat aurat
pasiennya meskipun menurut ketentuan umum adalah haram. Kebolehan dokter melihat
aurat pasiennya tersebut semata-mata maslahah dan menghindari mafsadah pasien.
Untuk mengetahui seperti apa istihsan
itu, berikut dibahas secara berurut pengertiannya, kehujjahannya, pembagian dan
penerapannya dan ditutup dengan kesimpulan.
B. Pengertian Istihsan
Menurut al-Sarakhsi (w.483 H),
pengertian istihsan ialah :
“Berusaha mendapatkan yang terbaik
untuk diikuti bagi sesuatu masalah yang diperintahkan untuk dilaksanakan.”
Dan pada kesempatan lain
al-Sarakhsi, menyebutkan pula sebagai berikut :
“Istihsan ialah meninggalkan qiyas
dan menggunakan yang lebih kuat dari padanya, karena adanya dalil yang
menghendaki dan lebih sesuai untuk merealisir kemaslahatan manusia.”
Senada dengan al-Sarakhsi di atas,
Abdul Wahhab Khalaf menyebutkan pula, bahwa yang dimaksud dengan istihsan
ialah :
هوعدول
المجتهد عن قياس جلي إلى مقتض قياس خفي أو عن حكم كلي إلى حكم إستشنائ أنقدح فى
عقله رجع لديه هذا العدول[6]
“Istihsan ialah berpindahnya
seorang mujtahid dari ketentuan qiyas yang jelas kepada ketentuan qiyas
yang samar ( tersembunyi ), atau dari ketentuan yang kulliy ( umum )
kapada ketentuan hukum yang sifatnya khusus, karena menurut pandangan mujtahid
itu adalah dalil ( alasan ) yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan
dimaksud.”
Sementara itu, Ibnu Rusyd ( w.594 H
), menyebutkan dalam Bidayah al-Mujtahid bahwa istihsan adalah :
“Pada banyak keadaan, istihsan
didefinisikan dengan iltifat ( berpaling ) kepada maslahah atau keadilan”.
Berdasarkan definisi di atas
ternyata istihsan berkisar pada 2 hal :
1) Bahwa istihsan
itu ialah pindah atau meninggalkan ketentuan qiyas yang jelas kepada
ketentuan qiyas yang samar-samar (tersembunyi) karena ada alasan kuat
yang menghendakinya. Pemahaman seperti ini terlihat dalam pandangan
al-Sarakhsi, dan Abd al-Wahab Khalaf.
2) Atau
meninggalkan ketentuan kulliy dan mengamalkan ketentuan yang khusus
sebagai pengecualian dari ketentuan kulliy, atau mengkhususkan qiyas
karena ada alasan dalil yang lebih kuat.
Muktar Yahya dan Fathurrahman, Ulama
dari Indonesia memberikan batasan istihsan sebagai berikut :
Istihsan ialah meninggalkan qiyas yang nyata untuk
menjalankan qiyas yang tidak nyata (samar-samar) atau meninggalkan hukum
kulli untuk menjalankan hukum istina’i (pengecualian) disebabkan ada dalil yang
menurut logika membenarkannya.[8]
Dari rumusan definisi tersebut,
dapat ditarik sebuah pengertian bahwa istihsan yaitu adanya dua pilihan
atas salah satu dari dua ‘illat yang tingkat kekuatannya tidak sama.
Tingkat kekuatan yang dimaksud di sini yaitu ada yang jelas dan ada yang
tersembunyi. Sebagian ulama memilih ‘illat yang tersembunyi, karena
pertimbangan khusus. Ulama Hanafiah menamakan istihsan semacam ini
dengan istihsan qiyas atau qiyas khafi, sementara
ulama-ulama pendukung Mazhab Malikiyah menamakannya mashalih al-mursalah.[9]
C. Kehujjahan Istihsan
Bila dilacak dasar perumusan dan
akar sejarah munculnya istihsan sebagai metode penetapan hukum dan dalil
hukum pada mulanya dirumuskan oleh Imam Abu Hanifah (w.150 H). Qiyas
sebagai salah satu dalil hukum dalam persoalan-persoalan tertentu tidak dapat
diterapkan, karena salah satu dari unsur rukunnya yaitu ’illat tidak
memenuhi syarat. Dengan kata lain,’illat qiyas yang akan dijadikan
sebagai pautan atau penyamaan hukum bagi persoalan tertentu itu tidak
dapat diterapkan, karena tidak sebanding. Oleh karena itu, harus diselesaikan
dengan cara istihsan yang lebih mendekati tujuan syara’.[10]
Sebagai salah satu contoh ialah
tentang sisa air minum burung buas. Burung buas sama halnya dengan binatang
buas, yaitu dagingnya tidak boleh dimakan karena najis. Binatang, karena
dagingnya najis, maka air liurnya juga najis. Jika ia minum maka sisa air
minumnya menjadi najis pula. Berdasarkan ketentuan qiyas, maka sisa
minuman burung buas karena ia sama dengan binatang buas tentu najis pula. Akan
tetapi, bagi ulama kalangan mazhab Hanafi[11], bahwa sisa minuman burung tidak najis,
karena burung buas minum air dengan paruhnya. Sehingga air minum tidak terkena
oleh air liurnya. Berbeda halnya dengan bintang buas yang minum langsung dengan
mulutnya, sehingga air terkena oleh air liurnya.
Hasbi ash-Shiddiqi[12], menjelaskan bahwa munculnya istihsan
ini ialah karena adanya persoalan hukum yang menyalahi (berlawanan dengan)
kaidah yang sudah biasa dipakai lantaran suatu sebab yang mengharuskan
meninggalkan (mengenyampingkan) kaidah tersebut. Sebab dengan meninggalkan
kaidah yang telah lazim dipakai itu, justru lebih dekat kepada maksud syara’.
Penggunaan istihsan ini, lanjut Hasbi ash-Shiddiq hanya berlaku pada
masalah-masalah juz’iyah, bukan pada masalah-masalah kulliyah.
Setelah istihsan disistematisasikan
menjadi bagian dari dalil hukum, maka penggunaannya tidak saja di kalangan
Mazhab Hanafi, tetapi juga dikembangkan oleh Mazhab lainnya. Di kalangan Mazhab
Maliki dasar perumusan istihsan barawal dari perlawanan dua dalil dan
jalan keluarnya adalah memilih dalil yang terkuat atau juga pengecualian dari
penerapan dalil kulliy. Pengecualian dari penerapan dari kulliy
di sini, maksudnya, sebagai dijelaskan oleh Imam Syatibi (w.790 H), ialah
berpegang kepada kemaslahatan juz’iy ketika berlawanan dengan dalil yang
kulliy.
Di samping itu, di kalangan mazhab
Maliki, bahwa istihsan itu termasuk juga mendahulukan maslahah
al-mursalah dari qiyas. Maksud, jika terjadi perlawanan antara maslahah
mursalah dengan qiyas, maka qiyas yang diterapkan pada
masalah yang terjadi, maka apa yang menjadi tujuan hukum tidak dapat
direalisir.
Kemudian di kalangan Mazhab Hanbali,
dasar perumusan istihsan itu, sebagai disebutkan oleh Ibnu Qudamah
(w.620 H), seorang ulama pengikut Mazhab Hanbali didasarkan pada tiga pemikiran[14], Pertama, penyimpangan suatu ketentuan hukum
yang seharusnya diberlakukan, karena adanya dalil khusus dari al-Kitab dan
Sunnah; Kedua, sesuatu apa yang dipandang baik berdasarkan pertimbangan
Mujtahid, dan Ketiga, adanya suatu dalil yang menurut ukuran Mujtahid tidak
dapat direalisasikan.
Penerapan istihsan sebagai
dalil hukum, para ulama usul (selain Syafi’iah), mengemukakan argumen dari
al-Qur’an, Sunnah, dan Ijmak.
Dalil dari Al-Qur’an yang mereka
kemukakan adalah :
1) Surat al-Zumar
(39) : 18 :
الذين
يستمعون القول فيتبعون أحسنه
“Mereka yang mendengarkan perkataan
lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya”
2) Surat al-Zumar
(39) : 55 :
اواتبعوا
أحسن ماأنزل اليكم من ربكم
“Dan ikutilah apa yang paling baik
yang telah diturunkan kepadamu oleh Tuhanmu”
Ayat pertama, menurut mereka,
memuji orang-orang yang mengikuti pendapatan yang paling baik. Sedangkan ayat kedua
memerintahkan untuk mengikuti yang paling baik dari apa yang diturunkan Allah.
Sedangkan Sunnah yang mereka jadikan
dalil adalah hadis yang berbunyi :
عن
ابن مسعود قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ما راه المسلمين حسنا فهو عند
الله حسن. رواه احمد[15]
“Ibnu Mas’ud berkata, Rasulullah Saw
bersabda: Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka hal itu juga baik di
sisi Allah.” (HR.Ahmad)
Ada pun ijmak yang mereka
jadikan alasan adalah ijmak ulama terhadap masalah pemakaian kamar mandi
umum tanpa disebutkan lamanya masa pemakaian dan banyaknya air yang digunakan. [16]
D. Pembagian Istihsan
Memperhatikan eksistensi istihsan
sebagai metode dan dalil hukum ternyata di kalangan ulama usul dibagi kepada
beberapa macam.
Dijelaskan Muhammad al-Said Ali Abd.
Rabuh[17], bahwa istihsan dibagi kepada lima
macam yaitu:
a) Istihsan
dengan Nas (الإستحسان بالناس)
Yang dimaksud dengan istihsan
jenis ini ialah penyimpangan suatu ketentuan hukum berdasarkan ketetapan qiyas
kepada ketentuan hukum yang berlawanan dengan apa yang ditetapkan berdasarkan
nas al-Kitab dan Sunnah.
“Berpindahnya suatu ketentuan
berdasarkan qiyas kepada ketentuan hukum yang berlawanan dengan nas
al-Qur’an dan Sunnah.
Istihsan jenis ini, sering ditemui dalam beberapa masalah yang
bersumber dari nas yang sudah pasti berlawanan dengan ketentuan hukum yang umum
atau kaidah yang sudah berlaku. Contoh yang sering dirujuk untuk istihsan
jenis ini ialah, tentang jual beli salam (pesanan). Dalam jual beli salam untuk
kegiatannya adalah barang atau benda yang dijual-belikan itu sebetulnya belum
ada, tetapi harganya sudah ditetapkan dan dibayar lebih dahulu sesuai dengan
perjanjian antara pihak pemesan (pembeli) dengan penjual (pembuat barang). Jual
beli seperti ini sering juga disebut dengan istilah bai’ul ma’dum. Jika
dilihat dari ketentuan jual-beli transaksi seperti ini tidak memenuhi
persyaratan, karena salah satu syarat sahnya jual-beli itu ialah benda yang
dipesankan (diperjual-belikan itu) harus ada. Karena dalam satu Hadis ada
larangan jual beli benda atau barang yang sebetulnya wujudnya belum ada. Akan
tetapi, larangan tersebut dikecualikan berdasarkan istihsan, karena ada
nas khusus yang membolehkannya. Diriwayatkan bahwa ketika Nabi datang ke
Madinah, beliau melihat penduduk Madinah biasa melakukan jual-beli buah-buahan
yang belum jelas wujudnya, satu tahun sampai dua tahun. Melihat jual-beli
seperti ini Nabi mengatakan ‘barang siapa yang melakukan jual-beli seperti ini
lakukanlah dengan ketentuan yang sudah diketahui dan masa yang sudah diketahui
pula.
Kasus di atas menjelaskan tentang istihsan
dengan nas, yakni adanya nas khusus dari Syari’ terhadap suatu maslahah
yang menghendaki penetapan hukumnya tersendiri berlawanan dengan hukum yang
sudah pasti dan jelas yang seharusnya tercakup di dalamnya. Maka nas yang
dikecualikan dari ketetapan hukum yang sudah pasti yang berlaku umum itu
merupakan ketetapan yang berlaku pasti yang berlaku umum itu merupakan
ketetapan yang berlaku tersendiri seperti jual-beli salam.
b) Istihsan
dengan Ijmak (الإستحسان بالإجماع)
Yang dimaksud dengan istihsan
jenis ini ialah meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada suatu
persoalan karena ada ijmak. Hal ini terjadi karena adanya fatwa mujtahid
atas suatu peristiwa yang berlawanan dengan pokok atau kaidah umum yang telah
ditetapkan, atau para mujtahid bersikap diam dan tidak menolak apa yang
dilakukan oleh manusia (masyarakat), yang sebetulnya berlawanan dengan
dasar-dasar pokok yang telah ditetapkan. Sebagai contoh istihsan jenis
ini ialah pesanan seseorang kepada orang lain untuk dibuatkan sesuatu barang.
Transaksi seperti ini disebut dengan ‘akdul istishna’.”Transaksi seperti ini
ialah seseorang meminta kepada orang lain untuk dibuatkan sesuatu barang
tertentu, dengan syarat-syarat tertentu yang sebetulnya tidak boleh dilakukan,
karena ketika berlangsungnya transaksi tersebut, barang pesanan itu belum ada
wujudnya (ma’dum), sementara transaksi atas barang yang belum ada
wujudnya tidak dibolehkan. Akan tetapi, berdasarkan istihsan, transaksi (aqad)
seperti ini dibolehkan meskipun berlawanan dengan ketentuan qiyas,
karena hal seperti ini dalam praktik (muamalah) masyarakat telah berjalan tanpa
ada penolakannya dari ahli Ijtihad (mujtahid).
c) Istihsan
dengan Darurat dan Hajat (الإستحسان بالضرورة والحاجة)
Yang dimaksud dengan istihsan
jenis ini ialah seorang mujtahid meninggalkan keharusan pemberlakuan qiyas
atas sesuatu masalah karena berhadapan dengan kondisi darurat, dan mujtahid
berpegang kepada ketentuan yang mengharuskan untuk memenuhi hajat atau menolak
terjadinya kemudaratan. Dengan kata lain, karena adanya persoalan yang bersifat
darurat dan menjadi hajat orang banyak, maka penetapan yang semestinya
didasarkan pada qiyas terpaksa ditinggalkan. Sebagai contoh, sumur atau
kolam yang terkena najis. Berdasarkan kaidah umum bahwa sumur atau kolam yang
terkena najis itu tidak boleh digunakan. Akan tetapi, karena kondisi darurat
yang menghendakinya dan air itu sangat dibutuhkan, maka dalam kondisi seperti
ini dibolehkan, meskipun berlawanan dengan kaidah umum atau adanya yang
melarangnya. Menurut kalangan Mazhab Hanafi untuk menghilangkan najis itu cukup
dengan memasukkan beberapa galon air ke dalam kolam atau sumur tersebut karena
kondisi darurat yang dihadapi, agar orang tidak menemukan kesulitan untuk
memenuhi kebutuhan terhadap air.
d) Istihsan
dengan Urf dan Adat (الإستحسان بالعرف و العادة)
Yang dimaksud dengan istihsan
jenis ini ialah penyimpangan atau pemalingan penetapan hukum yang berlainan
(berlawanan) dengan ketentuan qiyas, karena adanya ‘urf yang
sudah biasa diperaktekkan dan sudah dikenal dalam kehidupan masyarakat. Istihsan
jenis ini sangat banyak digunakan dalam berbagai tasaruf masyarakat yang
menyalahi ketentuan qiyas atau kaidah yang berlaku. Sebagai contoh dapat
dikemukakan ialah menyewa wanita untuk menyusukan bayi dengan menjamin
kebutuhan makan-minum dan pakaiannya. Menurut Imam Abu Hanifah, menyewa atau
mengupah wanita untuk menyusukan bayi dengan upah yang sudah diketahui adalah
boleh berdasarkan kesepakatan dan membolehkan pemenuhan kebutuhan makan-minum
dan pakaian tersebut, merupakan istihsan menurut pandangan Abu Hanifah.
“Sesungguhnya menyewa wanita untuk
menyusukan bayi dengan upah yang sudah diketahui adalah boleh berdasarkan
kesepakatan dan boleh memenuhi kebutuhan makan dan pakaian adalah istihsan
menurut Abu Hanifah”.
e) Istihsan
dengan Qiyas Khafi (الإستحسان بالقياس
الخفى)
Yang dimaksud istihsan jenis
ini adalah memalingkan suatu masalah dari ketentuan hukum qiyas jali
yang jelas kepada ketentuan hukum qiyas khafiy yang samar-samar
dan tidak jelas, tetapi keberadaannya lebih kuat dan lebih tepat untuk
diamalkan. Sebagai contoh ialah tentang aurat wanita. Sesungguhnya aurat wanita
itu ialah mulai dari ujung kepala sampai kedua ujung kaki, kecuali muka dan
telapak tangannya, kemudian dibolehkan melihat bagian tubuhnya sekedar yang
dibutuhkan; seperti melihat karena kepentingan pengobatan. Hal seperti ini
terdapat perlawanan antara dua qiyas: yang pertama ditetapkan
berdasarkan kaidah yang jelas tentang keadaan wanita melihatnya bisa
menimbulkan fitnah; dan yang kedua adanya suatu keadaan yang menimbulkan
masyaqqah (keadaan yang mendesak) dalam beberapa keadaan seperti pengobatan
ketika tidak ada wanita yang khusus untuk itu, maka digunakan ‘‘illat
(alasan) yang membawa kepada kemudaratan pada bagian ini.
Contoh lain, apabila eseorang
mewakafkan sebidang tanah pertaniannya kepada seseorang. Menurut qiyas,
segala hal yang berkaitan dengan urusan tanah tersebut tidak secara langsung
dapat dimasukkan di dalamnya, misalnya pemanfaatan tanah itu seoptimal mungkin,
agar memberikan nilai guna yang maksimal, terkecuali jika hal-hal itu di
dalamnya ada ketetapan nash, sebagaimana halnya dalam kasus jual beli, karena
wakaf diqiyaskan dengan jual beli, yaitu ‘‘illatnya mengalihkan
hak pemilikan suatu barang dari seseorang kepada yang lainnya.
Tetapi menurut istihsan, segala
sesuatu yang berhubungan dengan sebidang tanah yang diwakafkan itu, sudah
dengan sendirinya menjadi hak yang menerima wakaf, sebab dengan itu, tanah yang
diwakafkan itu akan memberikan kemaslahatan seoptimal mungkin kepada
pengelolanya. Dengan demikian, dapat ditangkap makna bahwa wajah istihsannya
di sini adalah untuk memberikan manfaat suatu barang (yang diwakafkan) kepada
penerima wakaf. Oleh karena itu, walaupun hak-hak yang menjadi syarat atau
bagian dari pengalihan hak tidak disebutkan secara terperinci ketika wakaf
diucapkan, tetapi dipahami bahwa syarat-syarat qiyas sudah terpenuhi.
Dengan sendirinya, sudah menjadi hak penerima wakaf dalam mengelola tanah wakaf
tersebut. Istihsan semacam ini disebut istihsan jali
(perpindahan dari qiyas jaliy kepada qiyas khafiy).
f) Istihsan
berdasarkan kemaslahatan (الإستحسان بالمصلحة)
Misalnya, ketentuan umum menetapkan
bahwa buruh di suatu pabrik tidak bertanggungjawab atas kerusakan hasil
komoditas yang diproduksi pabrik tersebut, kecuali atas kelalaian dan
kesengajaan mereka, karena mereka hanya sebagai buruh yang menerima upah. Akan
tetapi demi kemaslahatan dalam memelihara harta orang lain dari sikap acuh para
buruh dan sulitnya mempercayai sebagian pekerja pabrik dalam masalah keamanan
produk, maka ulama mazhab Hanafi mempergunakan istihsan dengan menyatakan bahwa
buruh harus bertanggungjawab atas kerusakan setiap produk itu, baik sengaja
maupun tidak.
Ulama Mazhab Maliki mencontohkannya
dengan kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam berobat. Menurut kaidah
umum (qiyas), seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tetapi,
dalam keadaan tertentu seseorang harus membuka bajunya untuk kepentingan
diagnosis atas penyakitnya, maka untuk kemaslahatan diri orang itu, menurut
kaidah istihsan seorang dokter boleh melihat aurat wanita yang berobat
kepadanya.[20]
E. Kesimpulan
Dari uraian yang telah dikemukakan
pada bagian-bagian terdahulu dapat disimpulkan sebagai berikut, bahwa :
1. Penerapan istihsan
dalam penetapan hukum cenderung digunakan karena dilatarbelakangi oleh beberapa
faktor yaitu :
(a). Meninggalkan
ketentuan qiyas karena tidak dapat diberlakukan pada masalah tertentu.
(b). Meninggalkan kaidah yang
umum karena persoalan khusus.
(c). Meninggalkan
ketentuan kulliy karena memelihara al-’urf yang berlaku.
(d). Atau karena pertimbangan
maslahat, yaitu memelihara keberlang-sungan manfaat dan menolak kemudaratan
serta menghilangkan kesulitan.
2. Adanya perbedaan pendapat
di kalangan ulama ushul fiqh dalam menerima atau menolak istihsan sebagai
metode penggalian hukum syara’ adalah disebabkan berangkat dari istilah yang
berbeda tentang istihsan. Apabila mengacu pada definisi yang sama perbedaan
tersebut niscaya dapat didamaikan, karena dalam prakteknya pada banyak kasus
ulama yang menolak keberadaan istihsan berpendapat sama dengan ulama yang
menerima kehujahan istihsan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Dahlan (Editor) et. al. ,
Ensiklopedi Hukum Islam, cet 1, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Abdul Wahhab Khallaf. Masadir
al-Tasyri’ al Islami fima La Nasa Fihi (Kuwait : Dar al-Qalam, 1972) cet.
III
Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul
al-Fiqh, (Al-Qahirah : Maktabah al-Da’wah al-Islamiyyah, 1990) Cet. VIII
Abu Dawud. Sunan Abu Dawud. Juz
II (Indonesia : Maktabah Dahlan. T.th.)
Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh.
(Mesir : Dar al-Fikri al-Arabi, 1958)
Ahmad Ibnu Hambal, Musnad al-Imam
Ahmad Ibn Hanbal, (Beirut : Dar Sadir, t.th.) Juz
Allaidin Koto, Ilmu Fiqih dan
Ushul Fiqih (Sebuah Pengantar), Jakarta : Raja Grafindo Perkasa, 2004
Al-Amidi, al-ihkam fi Usul
al-Ahkam, (al-Qahirah : Dar al-Hadis, t. th.) Juz IV II.
Al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul ila
Tahqiq al-Haqq min ‘Ilm al-Ushul (Beirut : Dar al Fikr,t. th. )
Al-Sarakhsi, Ushul al-Sarakhsi
(Kuwait : Dar al-Qalam, 1977) Juz II. Cet. XII.
Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul
al-Syari’ah, (Beirut : Dar al-Ma’rifah, 1975) Juz IV
Hasbi Ash-Shidiqi, Pokok-pokok
Pegangan Imam Mazhab dalam Membina Hukum Islam. (Jakarta
Ibnu Rusyd al-Maliki, Bidayah
al-Mujtahid, (Al-Qahirah : Mustafa al-Babyal-Halaby), Juz II.
Musthafa Ahmad Al-Zarqa, Al-Fiqh al-Islamy fi Saubah al-Jadid, (Damaskus
:Al Bah-al-Adib, 1968), Juz I
Kamal Mukhtar, et. al., Ushul
Fiqh Jilid I, Jakarta, PT. Dana Bakti Wakaf, 1995
Muhammad al-Said Ali Abdul- Rabuh,
Buhus fi al-Ad’illat al-Mukhtalaf Fiha ‘inda al-Ushuliyyin. (Mesir :
Matba’al-Sa’adah,1980)
Muhammad Hasyim Kamali, Prinsip
dan Teori-Teori Hukum Islam (Ushul al-Fiqh) / diterjemahkan dari Buku Principles
of Islamic Jurisprudence oleh Noorhaidi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996.
Mukhtar Yahya et. al. Dasar-Dasar
Pembinaan Hukum Fiqh Islam (Bandung : Al-Ma’arif, 1993)
M. Asywadie Syukur, Pengantar
Ilmu Fikih dan Ushul Fikih, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1990
Said Agil Husin al-Munawwar, Membangun
Metodologi Ushul Fiqh : Telaah Konsep Al-Nadb dan al-Karahah dalam Istimbath
Hukum Islam, Jakarta, Ciputat Press, 2004
Taj al-Din Abd al-Wahhab, Ibnu
al-Subki, Jam’al Jawami’, (Mesir : Mustafa al-Bab al-Halabi, 1937)
Wahbah al-Zuhaili, Ilm Ushul
al-Fiqh Islamy, (Beirut : Dar al-Fikr, 1986), Juz. I
[1] Teks hadits ini dapat dilihat dalam Abu
Dawud. Sunan Abu Dawud. Juz II (Indonesia : Maktabah Dahlan. t.th. h. 303.
[2] Al-Syaukani menyebutkan pengertian ijtihad
sebagai berikut :
بذل
الوسع في نيل حكم شرعي عملي بطر ألاستباط
(mengerahkan segenap kemampuan dalam
mendapatkan hukum syara yang praktis dengan menggunakan metode istinbath).
Lihat Al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haqq min ‘Ilm al-Uhul (Beirut
: Dar al Fikr,t. th. ) h. 250.
[3] Lihat Wahbah al-Zuhaili , Ilm Ushul
al-Fiqh Islamy, (Beirut : Dar al-Fikr, 1986), Juz. I h. 417.
[4] Al-Sarakhsi, Ushul al-Sarakhsi (Kuwait
: Dar al-Qalam, 1977) Juz II. Cet. XII. H. 200.
[5] Ibid., h. 200
[6] Lihat dalam Abdul Wahhab Khallaf, Ilm
Ushul al-Fiqh, (Al-Qahirah : Maktabah al-Da’wah al-Islamiyyah, 1990) Cet.
VIII, h. 79. Muhammad al-Said Ali Abdul- Rabuh, Buhus fi al-Ad’illat
al-Mukhtalaf Fiha ‘inda al-Ushuliyyin. (Mesir : Matba’al-Sa’adah,1980), h.
53.
[7]Ibnu Rusyd al-Maliki, Bidayah al-Mujtahid,
(Al-Qahirah : Mustafa al-Babyal-Halaby), Juz II. H. 154; Bandingkan dengan
dengan Musthafa Ahmad Al-Zarqa, Al-Fiqh al-Islamy fi Saubah al-Jadid, (Damaskus
:Al Bah-al-Adib, 1968), Juz I, h. 88.
[8] Mukhtar Yahya et. al. Dasar-Dasar Pembinaan
Hukum Fiqh Islam (Bandung : Al-Ma’arif, 1993) h. 100
[9] Mukhtar Yahya et. al. Ibid., h.
101-102
[10] Perlu diuraikan, di samping Mazhab Hanafi,
golongan lain yang menggunakan istihsan adalah sebagian Mazhab Maliki
dan sebagian Mazhab Hambali. Sementara yang menentang istihsan adalah Mazhab
Syafi’i. Istihsan menurut mereka adalah menetapkan hukum syara’
berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara’
hanyalah Allah. Sehingga Imam Syafi’i pernah mengatakan : من استحسن فقد شرع
(”Barang siapa yang memper-gunakan istihsan sesungguhnya ia membikin
syari’at baru”. Bahkan dalam Ar-Risalah Asy-Syafi’i menyebut :
”.Perumpamaan orang yang mempergunakan istihsan dalam menetapkan hukum seperti
orang yang sembahyang yang katanya menghadap kiblat tanpa ada alasan untuk
menjadi patokan arah kiblat”. Namun jika diperhatikan alasan-alasan yang
dikemukakan dalam pro dan kontra istihsan sebagai metode penetapan hukum adalah
bersumber dari perbedaan antara Imam Syafi’i dengan Imam Hanafi dalam
memberikan definisi pengertian. Bila masalah tersebut diperbincangkan dengan
baik dengan mengacu kepada pengertian yang disepakati, perbedaan itu niscaya
akan dapat dikurangi.
[11] Lihat juga, Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh.
(Mesir : Dar al-Fikri al-Arabi, 1958), h. 266
[12] Hasbi Ash-Shidiqi, Pokok-pokok Pegangan
Imam Mazhab dalam Membina Hukum Islam. (Jakarta : Bulan Bintang, 1973),
jilid II, h. 163
[13] Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul
al-Syari’ah, (Beirut : Dar al-Ma’rifah, 1975) Juz IV h. 206-207
[14] Abdul Wahhab Khallaf. Masadir al-Tasyri’
al Islami fima La Nasa Fihi (Kuwait : Dar al-Qalam, 1972) cet. III h. 70
[15] Ahmad Ibnu Hambal, Musnad al-Imam Ahmad
Ibn Hanbal, (Beirut : Dar Sadir, t.th.) Juz II. H. 379
[16] Uraian lebih lanjut lihat Al-Amidi, al-ihkam
fi Usul al-Ahkam, (al-Qahirah : Dar al-Hadis, t. th.) Juz IV, h. 394
[17] Muhammad al-Said Ali Abdul- Rabuh, Buhus fi
al-Ad’illat al-Mukhtalaf Fiha ‘inda al-Ushuliyyin. (Mesir :
Matba’al-Sa’adah,1980), h. 72.
[18] Taj al-Din Abd al-Wahhab, Ibnu al-Subki, Jam’al
Jawami’, (Mesir : Mustafa al-Bab al-Halabi, 1937), h. 211
[19] Muhammad al-Said Ali Abdul- Rabuh, Buhus fi
al-Ad’illat al-Mukhtalaf Fiha ‘inda al-Ushuliyyin. op.cit., h. 76
[20] Lihat dalam Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi
Hukum Islam jilid 3, Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, h. 771