Pendahuluan
Ada tuduhan dalam teks hadits terdapat inkonsistensi status sebuah perkara, yang nantinya akan menimbulkan negative thinking bahwa Nabi umat Islam tidak konsisten, aggapan semacam itu adalah kesalahan orang yang memang tidak paham bahkan tidak mengetahui seluk beluk ilmu hukum. Pakar hukum Islam (mujtahid) terdahulu mengkaji dan meneliti dalil-dalil yang secara tekstual saling bertentangan, kemudian membuat langkah-langkah penyelesaian. Hasil dari pada kajian para pakar hukum di atas sekarang bisa kita peroleh dan kita pelajari dalam literatur hukum Islam yang termuat dalam bab khusus, yaitu sub kontradiksi hukum.
Apabila menurut analisis seorang mujtahid ada dua dalil yang saling bertentangan, maka dapat digunakan metode tertentu untuk menyelesaikannya. Ulama Madzhab Hanafi mengemukakan empat metode penyelesaian: 1) An-Nasakh, 2) Tarjih, yaitu menguatkan salah satu dari dua dalil yang bertentangan berdasarkan beberapa indikasi yang mendukungnya. Ini dapat dilakukan jika masa turunnya kedua dalil tersebut tidak diketahui. Namun dalam melakukan tarjih, seorang mujtahid harus mengemukakan argument yang membuat satu dalil lebih kuat dibandingkan dengan dalil lainnya. 3) Al-Jam’u wa al-Taufiq, yaitu menggabungkan dalil yang bertentangan dan kemudian mengkompromikannya. Metode ini dilakukan jika penyelesaian dengan cara tarjih tidak berhasil. Metode ini didasarkan atas kaidah fiqh “mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain”. 4) Tasaqu al-Dalilain, yaitu menggugurkan kedua dalil yang bertentangan. Apabila ketiga cara di atas tidak bisa dilakukan oleh seorang mujtahid, maka ia boleh menggugurkan kedua dalil tersebut. Adapun cara penyelesaian dua dalil yang bertentangan menurut ulama Madzhab Syafi’i, Maliki, Hambali, dan al-Dhahiri adalah sebagai berikut: 1. Al-Jam’u wa al-Taufiq 2. Tarjih. 3. An-Nasakh. 4. Tasaqu al-Dalilain. Menurut mereka keempat cara ini harus ditempuh oleh mujtahid secara berurutan.
Dalam makalah ini akan dibahas Nasikh dan Mansukh sebagai salah satu metode metode yang diberdayakan para ulama hadits dalam menyelesaikan permasalahan seputar kontradiksi hadith.
Definisi
Secara etimologi kata Nasikh adalah bentuk isim fa’il, sedangkan Mansukh adalah bentuk isim maf’ul dari kata kerja nasakha yang mempunyai beberapa makna, yaitu : Izalah (menghapus), Ibthal (membatalkan), al tabdil (mengganti), al tahwil (mengalihkan), an naql (memindah).[1] Sehingga seolah-olah orang yang menasakh itu telah menghapuskan yang mansukh, lalu memindahkan atau menukilkannya kepada hukum yang lain
Sedangkan menurut istilah, para ulama mempunyai definisi yang berbeda-beda, Ulama mutaqaddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar'i yang ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk ketentuan/hukum yang mencabut ketentuan/hukum yang sudah berlaku sebelumnya, atau mengubah ketentuan/hukum yang pertama yang dinyatakan berakhirnya masa pemberlakuannya, sejauh hukum tersebut tidak dinyatakan berlaku terus menerus, tapi juga mencakup pengertian pembatasan (qaid) bagi suatu pengertian bebas(muthlaq). Juga dapat mencakup pengertian pengkhususan (makhasshish) terhadap suatu pengertian umum ('am). Bahkan juga pengertian pengecualian (istitsna). Demikian pula pengertian syarat dan sifatnya.
Sebaliknya ulama mutaakhkhir memperciut batasan-batasan pengertian tersebut untuk mempertajam perbedaan antara nasikh dan makhasshish atau muqayyid, dan lain sebagainya, sehingga pengertian naskh terbatas hanya untuk ketentuan hukum yang datang kemudian, untuk mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan ketentuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan yang diberlakukan ialah ketentuan yang ditetapkan terakhir dan menggantikan ketentuan yang mendahuluinya. Dengan demikian tergambarlah, di satu pihak naskh mengandung lebih dari satu pengertian, dan di lain pihak -dalam perkembangan selanjutnya- naskh membatasinya hanya pada satu pengertian[2]
Menurut al Jurjani naskh adalah datangnya dalil Syar’i setelah adanya dalil syar’i awal yang mengharuskan adanya perbedaan hukum atau bisa juga diartikan keterangan tentang berakhirnya hukum syara’ sehingga harus diganti dan dirubah[3].
Mengenai nasakh mansukh dalam ilmu hadits Para muhadditsin memberikan gambaran tentang ilmu hadits nasikh dan mansukh seperti keterangan Suyuti[4]:
والمختار أن النسخ رفع الشارع حكما منه متقدما بحكم منه متأخر
“ Penghapusan Syar’i terhadap suatu hukum yang datang duluan dengan hukum yang datang belakangan “.
Dari pengertian pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu Nasikh mansukh hadith adalah : ilmu yang membahas hadits-hadits yang saling berlawanan maknanya, yang tidak mungkin dapat dikompromikan dari segi hukum, dengan cara menentukan salah satu hadith sebagai nasikh (penghapus) dan hadith yang lain sebagai mansukh (yang dihapus), hadits yang mendahului adalah sebagai mansukh dan hadits yang terakhir adalah sebagai nasikh.
Urgensi Ilmu Nasikh dan Mansukh
Salah satu cabang pengkajian Ilmu Hadits yang terpenting utamanya adalah yang berkenaan dengan hadits hukum yaitu Ilmu Nasikh dan Mansukh. Kepentingannnya tidak dapat dihilangkan karena ia merupakan salah satu syarat ijtihad. Secara azas seorang mujtahid harus mengetahui latar belakang dalil secara hukum khususnya hadits yang akan dijadikan azas hukum.
Atas dasar itulah al Hazimy berkata : ”Ilmu ini termasuk sarana penyempurna ijtihad. Sebab sebagaimana diketahui bahwa rukun utama didalam melakukan ijtihad. Itu ialah adanya kesanggupan untuk memetik hukum dari dalil-dalil naqli (nash) dan menukil dari dalil-dalil naqli itu haruslah mengenal pula dalil yang sudah dinasakh atau dalil yang menasakhnya. Memahami khitab Hadits menurut arti literal adalah mudah dan tidak banyak mengorbankan waktu. Akan tetapi yang menimbulkan kesukaran adalah mengistinbathkan hukum dari dalil-dalil nash yang tidak jelas penunjukannya. Diantara jalan untuk mentahqiqkan (mempositifkan) ketersembunyian arti yang tidak tersurat itu ialah mengetahui mana dalil yang terdahulu dan manapula yang terkemudian dan lain sebaginya dari segi makna.”
Para sahabat memberi perhatian yang tinggi, hal ini diikuti generasi sesudahnya, seperti dirwiyatkan dari Ali RA, dia pernah berdialog dengan seorang hakim, kemudian Ali bertanya “ apakah engkau mengetahui nasikh dan mansukh “, sang hakim menjawab “ aku tidak tahu “, kemudian Ali menegurnya dengan berkata “ rusaklah engkau dan engkau telah menebar kerusakan “[5].. Terlihat disini betapa Ali memerhatikan tentang urgensi nasakh dan mansuk, beliau menegur seseorang yang mempunyai posisi strategis dalam menentukan kebijakan hukum namun tidak memiliki sejarah tentang proses produksi hukum dalam hal ini nasikh dan mansukh.
Seorang ilmuwan hadits yang mengetahui nasakh dan masukh mempunyai keunggulan, nasakh dan mansukh adalah ilmu yang rumit dan sulit sebagaimana ungkapan al Zuhri: “ yang paling memberatkan dan menguras tenaga bagi ahli fikih adalah membedakan hadits yang telah dimansukh dari dengan hadits yang manasihknya “[6].
Imam syafii seorang yang terkenal dengan gelar penolong sunnah mempunyai peran yang besar dalam bidang ini, imam Ahmad bin Hambal berkata kepada ibni Warah ketika dia kembali dari Mesir, “ apakah engkau telah menyalin kitab-kitab Imam Syafi’I”, Ibnu Warah dengan apologis mengatakan dia tidak melakukan hal itu, kemudian Ahmad bin Hambal berkata “ Engkau telah menyia-nyiakan kesempatan, kita tidak mengetahui mujmal dan mufashol hadits, nasikh dan mansukh hadits kecuali setelah mengikuti majlis Asy syafi’i.[7]
Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan peranan yang besar bagi para ahli ilmu agar pengetahuan tentang suatu hukum tidak kacau dan kabur. Karena itulah kita temukan perhatian mereka kepada hadis sangat besar, Imam Syafi’I, imam Hambali dan para imam yang lain begitu menganggap penting ilmu ini, karena dia termasuk ilmu yang dengannya pemahaman hadis akan menjadi benar dan tidak sempit.
Karena urgensinya ilmu ini, maka sahabat, tabi’in dan ulama sesudah mereka memberikan perhatian yang sangat serius terhadapnya, imam-imam juga menjelaskan hal ini kepada murid-murid mereka, menganjurkan mempelajarinya, menekuninya, menemukan hal-hal pelik berkenaan dengannya, mensistematisasikannya dan menyusun karya dalam bidang ini[8].
Cara Mengetahui Nasikh dan Mansukh
Nasikh dan mansukh dapat diketahui dari beberapa hal sebagai berikut :
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة ومحمد بن عبد الله بن نمير ومحمد بن المثنى واللفظ لأبي بكر وبن نمير قالوا حدثنا محمد بن فضيل عن أبي سنان وهو ضرار بن مرة عن محارب بن دثار عن بن بريدة عن أبيه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها......
“ Dari Buraidah, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda: Aku dahulu pernah melarang kalian untuk berziarah kubur. Maka (sekarang) berziarahlah kalian ”.
Dari hadis diatas diketahui bahwa dahulu hukum ziyarah kubur adalah haram, kemudian memperbolehkan, bahkan dalam riwayat lain nabi menyebutkan sisi positif ziyarah kubur yakni karena di dalam ziyarah kubur banyak pelajaran yang bisa diambil, juga karena mengingatkan kematian.
أخبرنا إسحاق إبراهيم قال أنبأنا إسماعيل وعبد الرزاق قالا حدثنا معمر عن الزهري عن عمر بن عبد العزيز عن إبراهيم بن عبد الله بن قارظ عن أبي هريرةقال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول توضئوا مما مست النار
Hadis diatas mansukh berdasarkan hadis yang juga diriwayatkan al Nasa’i[11] :
أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَيَّاشٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعَيْبٌ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ : كَانَ آخِرَ الأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ تَرْكُ الْوُضُوءِ مِمَّا مَسَّتْ النَّار
Kedua redaksi hadith menjelaskan tentang makanan yang disentuh api (misal: dipanggang), namun isi dari kedua hadis tersebut bertentangan, yang pertama menerangkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan orang yang makan daging atau makanan lain yang disentuh api untuk berwudhu terlebih dahulu sebelum melaksanakan ritual salat, sedang hadis kedua menerangkan kebolehan salat setelah memakan makanan yang disentuh api, disini diketahui bahwa hadis yang kedua memposisikan diri sebagai Nasik, sedang hadis pertama mansukh.
Media pernyataan sahabat ini Ahli ushul mewajibkan adanya penjelasan bahwa hadits kedua dalam kronologisnya datang setelah hadits pertama[12]
3) Fakta sejarah, seperti hadits yang terdapat dalam kitabnya Imam Tirmidzi[13] :
حدثنا محمد بن رافع النيسابوري ومحمود بن غيلان ويحيى بن موسى قالوا اخبرنا عبد الرزاق عن معمر عن يحيى بن ابي كثير عن ابراهيم بن عبد الله بن قارظ عن السائب بن يزيد عن رافع بن خديج عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "افطر الحاجم والمحجوم"
Hadits diatas dimansukh oleh hadits berikut yang juga diriwayatkan Imam Tirmidzi [14]:
حدثنا بشر بن هلال البصري حدثنا عبد الوارث بن سعيد حدثنا أيوب عن عكرمة عن بن عباس قال احتجم رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو محرم صائم
Dua hadis ini berbicara tentang bekam, hadits pertama berisi batalnya puasa orang yang membekam dan orang yang berbekam, sedang hadis kedua menerangkan bahwa bekam tidak membatalkan puasa.
Hadits tentang batalnya puasa baik subyek maupun obyek bekam juga diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari jalur Shaddad. Imam syafi’i menerangkan bahwa hadits yang diriwayatkan shaddad peristiwanya terjadi pada hari al fath (fathu makkah) pada tahun 8 hijriyah, sedang hadits ibnu Abbas[15] terjadi pada haji Wada’ yang terjadi beberapa tahun setelah fathu makkah yakni pada tahun 10 hijriyah, maka hadits yang kedua menasakh hadits pertama.
4) Ijma’ ulama’; seperti hadits yang berbunyi[16] :
حدثنا نصر بن عاصم الأنطاكي حدثنا يزيد بن هارون الواسطي حدثنا ابن أبي ذئب عن الحارث بن عبد الرحمن عن أبي سلمة عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا سكر فاجلدوه ثم إن سكر فاجلدوه ثم إن سكر فاجلدوه فإن عاد الرابعة فاقتلوه ,قال أبو داود وكذا حديث عمر بن أبي سلمة عن أبيه عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم إذا شرب الخمر فاجلدوه فإن عاد الرابعة فاقتلوه قال أبو داود وكذا حديث سهيل عن أبي صالح عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم إن شربوا الرابعة فاقتلوهم وكذا حديث ابن أبي نعم عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم وكذا حديث عبد الله بن عمرو عن النبي صلى الله عليه وسلم والشريد عن النبي صلى الله عليه وسلم وفي حديث الجدلي عن معاوية أن النبي صلى الله عليه وسلم قال فإن عاد في الثالثة أو الرابعة فاقتلوه
”Barangsiapa yang meminum khamr maka cambuklah dia, dan jika dia kembali mengulangi yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia”.
Umar ibnul Khattab menjatuhkan delapan puluh kali dera sebagai hukuman bagi peminum khomr , ini lahir dari musyawarah para sahabat, diantara sahabat yang berbicara pada waktu itu adalah Abdurrahman bin Auf. Beliau mengatakan bahwa hukuman had yang paling ringan atau rendah adalah delapan puluh kali dera. Sayyidina Umar akhirnya menyetujui pendapat tersebut dan ditetapkan sebagai keputusan bersama, yang kemudian dikirimkan ke daaerah-daerah antara lain Syam yang waktu itu penguasanya Khalid dan Abu Ubaidah.
Jika empat hal ini tidak ditemukan ketika terdapat suatu hadis yang kontradiksi maka menurut al Hazimi hal yang dilakukan adalah mentarjih hadis tersebut[18].
Nasikh Mansukh dan Asbab al Wurud al Hadith
Sebab turun hadis memiliki hubungan penting dengan nasikh mansukh, sebab turun hadith atau asbabul wurud dapat diartikan sebagai sebab-sebab atau latar belakang munculnya suatu hadis[19], baik kontekstualisasi hadis, sosio historis hadits, dengan lembaga ilmu asbab al wurud al hadis para peminat kajian hadits dapat mengetahui mana hadith yang terdahulu dan hadith yang datang kemudian, dengan begitu akan jelaslah jalan untuk membatalkan hukum berdasarkan pada dalil yang turun kemudian. Dalil yang turun kemudian ini mengandung hukum yang berbeda dengan hukum yang dikandung oleh dalil yang pertama. Dalam hal ini seorang mujtahid harus berusaha mencari kronologi munculnya kedua dalil tersebut. Apabila dalam pelacakannya, ia ternyata menemukan bahwa salah satu dari dua dalil itu muncul lebih dahulu, maka ia harus mengunggulkan dalil yang datang kemudian (terakhir).
Karya-Karya yang Disusun Tentang Nasikh dan Mansukh
Sebenarnya ilmu nasikh dan mansukh ini sudah ada sejak periode hadis pada awal abad pertama, akan tetapi belum muncul dalam ilmu yang berdiri sendiri, kelahirannya sebagai ilmu dipromotori oleh Qatadah bin Di’amah As-Sadusi (wafat 118 H), kemudian pada rentang abad ke dua dan ketiga bangunlah ulama-ulama menulis kitab nasikh mansukh. Diantara kitab-kitab terseut yang masyhur adalah:
1. An-Nasikh wal-Mansukh, karya Qatadah bin Di’amah As-Sadusi (wafat 118 H), namun tidak sampai ke tangan kita.
2. Nasikhul-Hadits wa Mansukhihi, karya ahli hadits ‘Iraq, Abu Hafsh Umar Ahmad Al-Baghdadi, yang dikenal dengan Ibnu Syahin (wafat 385 H).
3. Nasikhul-Hadits wa Mansukhihi, karya Al-Hafidh Abu Bakar Ahmad bin Muhammad Al-Atsram (wafat 261 H), shahabat Imam Ahmad. Kitab ini terdiri dari tiga jilid kecil, juz yang ketiga bisa ditemukan di dar al kutub al mishriyyah dengan nomor 1587[20].
4. Al-I’tibar fin-Nasikh wal-Mansukh minal-Atsar, karya Imam Al-Hafidh An-Nassabah Abu Bakar Muhammad bin Musa Al-Hazimi Al-Hamadani (wafat 584 H).
5. An-Nasikh wal-Mansukh, karya Abul-Faraj Abdurrahman bin ‘Ali, atau yang lebih dikenal dengan nama Ibnul-Jauzi.
PENUTUP
Pengertian ilmu Nasikh mansukh hadith adalah : ilmu yang membahas hadits-hadits yang saling berlawanan maknanya, yang tidak mungkin dapat dikompromikan dari segi hukum, dengan cara menentukan salah satu hadith sebagai nasikh (penghapus) dan hadith yang lain sebagai mansukh (yang dihapus), hadits yang mendahului adalah sebagai mansukh dan hadits yang terakhir adalah sebagai nasikh.
Urgensi ilmu nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan peranan yang besar bagi para ahli ilmu agar pengetahuan tentang suatu hukum tidak kacau dan kabur. Karena itulah kita temukan perhatian mereka kepada hadis sangat besar, Imam Syafi’I, imam Hambali dan para imam yang lain begitu menganggap penting ilmu ini, karena dia termasuk ilmu yang dengannya pemahaman hadis akan menjadi benar dan tidak sempit.
Karena urgensinya ilmu ini, maka sahabat, tabi’in dan ulama sesudah mereka memberikan perhatian yang sangat serius terhadapnya, imam-imam juga menjelaskan hal ini kepada murid-murid mereka, menganjurkan mempelajarinya, menekuninya, menemukan hal-hal pelik berkenaan dengannya, mensistematisasikannya dan menyusun karya dalam bidang ini
Cara mengetahu nasak dan mansukh ada empat, yakni penjelasan dari nabi, keterangan sahabat, fakta sejarah dan yang ke-empat adalah ijma’ umat.
DAFTAR PUSTAKA
1 Abu Sulaiman bin al Ash’ath al Sijistani, Sunan Abi Dawud, (Beirut: al Maktabah al Ashriyah, t.th)
2 Ahmad bin Shu’aib bin Ali, Abu Abdirrahman , Sunan Nasa’i, (Riyadh: Maktabah al Maarif, t,th),
3 Hajjaj (al), Muslim, Shahih Muslim, (Riyadh: Dar al Mughni, 1998
4 Tirmidzi (al), Muhammad bin Isa bin Saurah, Sunan al Tirmidzi, (Riyadh: Maktabah al Maarif, t.th
5 Abu Shuhbah, Muhammad bin Muhammad, al Wasit fi ulumi wa musthalah al hadits, (Kairo; Dar al Fikr al Araby, 1982),
6 al Atthar, Abdul Nashir Taufiq, Dustur lil ummah wa ulum al sunnah, (Kairo: Maktabah al Wahbah, 1987),
7 Abu al Hasan Ali bin Muhammad bin Ali al Jurjani, al Ta’rifat, (Beirut : Dar al Kutub al Ilmiyyah, 2003)
8 Ibn al Mandzur, Lisan al Arab, (Kairo: Dar al Hadits, jilid VIII, 2003), 533.
9 Hasyim, Ahmad Umar, Qowaidu ushul al hadits, (Beirut : Dar al kutub al arabi, 1984)
10 Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud: study kritis hadits nabi pendekatan sosio-histories-kontekstual , (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001).
11 Rasikh (al), Abdul Mannan, kamus istilah-istilah hadith terj. Asmuni, (Jakarta: Darul Falah, 2006), 218
12 Abu Zahroh, Muhammad , al Hadith wal Muhaddithun, (Riyadh : al Mamlaka al arabiyah al suudiyah, 1984)
13 Jauhari, Ahmad Tantowi, “ Dirasah Wa al tahqiq lil I’tibar fin al naasikh wa al mansukh li al Hazimi”, (thesis—Ummul Quro, 1994).
14 Ali Yafie, “ Nasakh Mansukh dalam al Quran “, dalam http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/NasikhMansukh1.html
15 Suyuti (al), Jalaluddin , Tadrib al Rawi fi Syarhi Taqrib al Nawawi, (Riyadh: Dar al Toyyibah, t.th)
16 Tahhan (al), Mahmud, Taisir Mustalah al Hadith, (Beirut: Dar al Fikr, t.th
17 Muhammad ‘Ajaj al Khatib, Ushul al Hadith terj. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007
[1] . Ibn al Mandzur, Lisan al Arab, (Kairo: Dar al Hadits, jilid VIII, 2003), 533. Lihat juga Abdul Mannan al Rasikh, kamus istilah-istilah hadith terj. Asmuni, (Jakarta: Darul Falah, 2006), 218.
[2] . Ali Yafie, “ Nasakh Mansukh dalam al Quran “, dalam http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/NasikhMansukh1.html
[3] . Abu al Hasan Ali bin Muhammad bin Ali al Jurjani, al Ta’rifat, (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyyah, 2003), 237
[4] . Jalaluddin al Suyuti, Tadrib al Rawi fi Syarhi Taqrib al Nawawi, (Riyadh: Dar al Toyyibah, t.th), juz 2, 642, lihat Mahmud al Tahhan, Taisir Mustalah al Hadith, (Beirut: Dar al Fikr, t.th), 49
[5] . Muhammad bin Muhammad Abu Shuhbah, al Wasit fi ulumi wa musthalah al hadits, (Kairo; Dar al Fikr al Araby, 1982), 459
[6] . Ahmad Umar Hasyim, Qowaidu ushul al hadits, (Beirut : Dar al kutub al arabi, 1984), 250.
[7] . Muhammad Abu Zahroh, al Hadith wal Muhaddithun, (Riyadh : al Mamlaka al arabiyah al suudiyah, 1984), 300.
[8] . Muhammad ‘Ajaj al Khatib, Ushul al Hadith terj. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 295.
[10] . Abu Abdirrahman Ahmad bin Shu’aib bin Ali, Sunan Nasa’i, (Riyadh: Maktabah al Maarif, t,th), 36
[13] . Muhammad bin Isa bin Saurah al Tirmidzi, Sunan al Tirmidzi, (Riyadh: Maktabah al Maarif, t.th), 190
[16] . Abu Sulaiman bin al Ash’ath al Sijistani, Sunan Abi Dawud, (Beirut: al Maktabah al Ashriyah, t.th), Juz 4, 165
[17] . Abdul Nashir Taufiq al Atthar, Dustur lil ummah wa ulum al sunnah, (Kairo: Maktabah al Wahbah, 1987),
[18] . Ahmad Tantowi Jauhari, “ Dirasah Wa al tahqiq lil I’tibar fin al naasikh wa al mansukh li al Hazimi”, (thesis—Ummul Quro, 1994), 20
[19] . Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud: study kritis hadits nabi pendekatan sosio-histories-kontekstual , (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001), 5.
[20] . Al Wajiz fi Ulum al hadits wa nushushihi, hal 258