Pengertian Akhlaq Tasawuf

Hubungan akhlak dan tasawuf sangatlah erat karena Segala amal dan usaha di alam hidup kita adalah dorongan dari fikiran dan batin kita. Didalam batinlah terletak petimbangan diantara baik dan buruk.dari suatu pertimbangan tersebut akan muncullah suatu gagasan yang disebut akhlak, tapi batinlah yang akan menentukan Akhlak (Baik dan Buruk) tersebut, terus Apakah kebatinan itu? Dan Apakah kerohanian itu sehingga bisa menentukan baik dan buruk: inilah yang senantiasa menjadi pertanyaan dan penyelidikan ahli-ahli fkir sejak dunia berkembang, sampai pada masa kita saat ini, dan sampai esok kemudian hari, selama fikiran masih ada pada manusia. Setelah mencari diri dalam diri, didalam menghadapi kesukaran tetapi indah, didalam menghadapi kesulitan tetapi hendak mencari jua, timbul pulalah bermacam-macam soal lain. Dan soal yang paling penting, dan ibunya segala soal itu ialah soal tentang yang ada.
Hidup kerohanian, hidup kebatinan itulah yang dinamakan hidup bertasawuf, sudah lah  lama umurnya dan sudahlah ada pada setiap bangsa, kadang-kadang tasawuf menjadi tempat pulang dari orang yang lelah payah berjalan. Tasawuf juga juga menjadi tempat lari dari orang yang telah terdesak. Terapi tasawuf pun menjadi penguat pribadi bagi orang yang lemh, dan tasawuf pun menjadi tempat berpijak yang teguh bagi orang yang telah kehilangan tegak
Jadi tasawuf dan akhlak mempunyai hubungan yang erat kerna dari akhlaklah akan timbul baik dan buruk tapi tasawuf/batinlah yang akan menentukannya.
1.  Definisi Akhlak
Dilihat dari Ethimologi, Akhlak berasal dari (bahasa Arab) dan jamak dari kata Khuluk didalam kamus Almunjid Akhlak berarti budi pekertitingkah laku atau tabiat.[1] Didalam Da’irotul Ma’ arif dikatakan:
الأَخْلاَقُ هِيَ صِفَاتُ الْإِنْسَانِ اْلاَدَبِيَّةُ
  “ Akhlak adalah sifat-sifat manusia yang terdidik”.[2]
Ada definisi lain yang mengatakan bahwa Akhlak ialah budi pekerti, watak, kesusilaan (kesadaran etik dan moral) yaitu kelakuan baik yang merupakan akibat dari sikap jiwa yang benar terhadap Khaliknya dan terhadap manusia.[3]
Di dalam al-Mu’jam al-Wasit  juga disebutkan definisi akhlak sebagai berikut:
اَلْخُلُوْقُ حَالٌ لِلنَّفْسِ رَاسِخَةٌ تَصْدِرُ عَنْهَا اْلأَعْمَالُ مِنْ خَيْرٍ اَوْ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ إِلَى فِكْرٍ وَرُؤْيَةٍ
“Akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengan nya lahirlah macam-macam perbuatan, baik dan buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan”[4].
Senada dengan ungkapan diatas telah dikemukakan oleh Imam Ghozali definisi akhlak sebagai berikut:
اَلْخُلُوْقُ عِبَارَةٌ عَنْ هَيْئَةٍ فِى النَّفْسِ رَاسِخَةٌٍ تَصْدُرُ الافْعَالُ بِسُهُوْلَةٍ وَيُسْرٍ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ إِلَى فِكْرٍ وَرُؤْيَةٍ
“Akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulakan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memkirkan pemikiran dan pertimbangan”.
Prof.Dr. Ahmad Amin mengatakan bahwa akhlak ialah:
عَرَّفَ بَعْضُهُمُ الْخُلُقَ بِأَنَّهُ عَادَةُ اْلِإرَادَةِ يَعْنىِ أَنَّ اْلِإرَادَةَ اِذَااعْتَادَتْ شَيْئًا فَعَادَتُهَا هِيَ اْلمُسَمَّاةُ بِالْخُلُقِ
“Akhlak ialah kehendak yang dibiasakan. Ini berarti bahwa kehendak itu bila dibiasakan akan sesatu , kebiasaanya itu disebut akhlak.[5]
Apa arti kehendak dan arti kata kebiasaan dalam definsi tersebut? Bahwasanya yang disebut kehendak ialah ketentuan dari beberapa keinginan manusia setelah bimbang, sedang kebiasaan ialah perbuatan yang diulang-ulang sehingga mudah untuk melakukannya. Masing-masing dari kehendak dan kebiasaan ini mempunyai kekuatan, dan gabungan dari kekuatan itu menimbulkan kekuatan yang lebih besar dan kekuatan yang besar inilah yang disebut akhlak.
Dari definisi-definisi diatas yang kelihatannya berbeda namun didalamnya tekandung ma’na yang sama. Dan dapat disimpulkan bahwasanya   Akhlak ialah kehendak jiwa manusia yang menimbulakan perbuatan dengan mudah karena kebiasaan, tanpa memerlukan pertimbangan pikiran terlebih dahulu”.[6]
Ada istilah lain yang lazim dipergunakan disamping kata akhlak ialah apa yang disebut Etika. Perkataan itu berasal dari bahasa yunani “Ethos” yang berarti adapt kebiasaan. Dalam pelajaran filsafat, etika adalah merupakan bagian dari padanya, dimana para ahli memberikan definisi yang berbeda-beda tentang etika diantaranya:
a.    Etika ialah ilmu tentang tingkah laku manusia prinsip-prinsip yang disistimatisir tentang tindakan moral yang betul. (Webser’s Sirct)
b.   Etika ialah bagian filsafat yang memperkembangkan teori tentang tindakan yang diarahkan kepada makna tindakan. (Ensiklopedi Winkler Prins)
c.    Etika ialah ilmu tentang filsafat moral, tidak mengenai fakta tetapi tentang nilai-nilai, tidak mengenai sifat tindakan manusia, tetapi tentang idenya, karenaitu bukan ilmu yang positif tetapi ilmu yang formatif. (New American Ensy)
d.   Etika ialah ilmu tentang moral/prinsip kaidah-kaidah moral tentang tindakan dan kelakuan. (A.S. Hornby Dict)
Sesuai dengan hal-hal tersebut diatas, maka pengartian etika menurut ilsafat adalah sebagai berikut: “Etika ialah ilmu yang menyelidiki, mana yang baik dan mana yang buruk (Akhlak) dengan memperhatikan amal perbuatan perbuatan manusia sejauh yang yang dapat diketahui oleh akal pikkiran”.[7]

2.  Obyek yang Dikaji Ilmu Akhlak
Dari pengertian Etika (ilmu akhlak) yang telah dikemukakan diatas telah diketahui bahwa pokok pembahasannya adalah tingkah laku manusia untuk menetapkan nilainya, baik atau buruk. Dalam hubungan ini Dr. Ahmad Amin mengemukakan bahwa etika it menyalidiki semua perbuatan manusia kemudian menetapkan baik dan buruk.[8] J.H. Murhead menyebutkan bahwa subject matter dari etika ialah penyelidikan tentang tingkah laku dan sifat manusia.[9]  Muhd Al Ghozali mengatakan bahwa daerah pembahasan ilmu Akhlak meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (perseorangan) maupun kelompok (masyarakat).[10]
Dengan melihat lahirnya perbuatan manusia dapat diketahi bahwa perbuatan manusia itu bisa dikatagorikan menjadi dua, yaitu:
a.    Perbuatan yang lahir dengan kehendak dan disengaja.
b.    Perbuatan yang lahir tanpa kehendak dan tak disengaja.
Jenis perbuatan pertama termasuk perbuatan akhlaki (menjadi obyek ilmu akhlak).[11] Karen perbuatan ini mngandung unsur baik dan buruk. Tapi jenis perbuaan ke2 tidak menjadi lapangan ilmu akhlak karena perbuatan ini dengan menggunakan gerak reflek (tidak disengaja) dan karena tidak mengandunag unsur baik dan buruk
Dalam menetapkan suatu perbuatan bahwa ia lahir dengan kehendak dan disengaja hingga dapat dinilai baik dan buruk ada beberapa syarat yang diperhatikan antara lain:
a.     Situasi memungkinkan adanya pilihan (bukan karena paksaan), adanya kemauan bebas, sehingga tindakan dilakukan dengan sengaja.
b.    Tahu apa yang dilakukan, yakni mengenai nilai baik dan buruknya.
Suatu perbuatan dapa dikatakan baik dan buruk manakala memenuhi syarat-syarat diatas. Kesengajaan merupakan dasar penilaian terhadap tindakan seseorang. Dalam islam factor kesengajaan juga merupakan penentu dalam penetapan nilai tingkah laku/tindakan seseorang. Seorang muslim tidak berdosa karena melanggar Syariat, jika ia tidak tahu yang ia perbua salah menurut hukum islam. Dalam hubungan ini Rosululloh SAW pernah bersabda seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah dari Abi Zar sebagai berikut:

إِنَّ الله تَعَالَى تَجَاوَزَلِى وَعَنْ أُمَّتىِ الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتَكْرِهُوْا عَلَيْهِ

“Sesungguhnya Allah memberi maaf bagiku dari umatku yang tersalah, lupa dan terpaksa.
Dalam Hadits lain diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Hakim dari Umar Bahwa Rasulullah SAW, pernah bersabda sebagai berikut:
رُفِعَ اْلقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ اْلمَجْنُونِ المَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ حَتَّى يَبْرَأَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِي حَتَّى يَحْتَلِم
“Tidak berdosa seorang muslim karena 3 perkara:1) Orang gila hingga sembuh dari penyakitnya (gilanya), 2) orang yang tidur hingga terbangun, 3) seorang anak hingga dewasa”.
Dan menurut firman Allah SWT dalam surat al-Baqoroh ayat 286 yang barbunyi:
رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَ خْطَأْنَا
"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah".(Q.S. 2:286).

Menyimak Hadits dan ayat diatas, perbuatan seseorang karena lupa, tersalah atau terpaksa tidak dapat dinilai baik dan buruk dan karenanya perbuatan tersebut tidak termasuk lapangan ilmu akhlak.
Ada lagi perbuatan yan menyerupai kedua jenis perbuatan atas yaitu (mutasyabih) dan sering tidak jelas nilainya. Seperti orang yang membakar sebuah rumah didasari dengan mimpi, apakah perbuatan tersebut masuk dalam lapangan ilmu akhlak atau tida?
Dalam kasus ini para ahli ilmu akhlak mengatakan bahwa perbuatan manusia yang mutasyabih ada 2 macam, yaitu:
a.       perbuatan yang dapat diikhtisarkan agar tidak terjadi.
b.       Perbuatan yang sudah diikhtisarkan agar tidak terjadi, tapi tetap terjadi.
Perbuatan yang pertama termasuk dalam ruang pembahasan llmu akhlak, karena perbuatan yang pertama termasuk di sengaja. Sedang perbuatan yang kedua tidak termasuk dalam ruang lingkup ilmu Akhlak karena perbuatan yang kedua dalam keadaan terpaksa dan tidak mampu mencegahnya.
Dari uraian diatas bahwasanya obyek ilmu akhlak ialah segala perbuatan manusia yang timbul dari orang yang melaksanakan dan disengaja dan ia dengan sadar mengetahui hukumdari perbuatan yang ia lakukan, apakah perbuatan itu baik atau buruk. 
3. Pengertian Tasawuf
Sebutan atau istilah tasawuf tidak pernah dikenal pada masa Nabi maupun khulafaur rasyidin. Karena pada mas itu para pengikut Nabi SAW diberi panggilan sahabat. Panggilan ini adalah yang paling berharga pada saat itu. Kemudian pada masa berikutnya, yaitu pada masa sahabat orang-orang muslim yang tidak berjumpa dengan beliau disebut  tabi’in, dan seterusnya disebut tabi’it tabi’in.
Munculnya istilah tasawuf baru di mulai pada pertengahan abad III hijriyah, oleh Abu Hasyim al-Kufy (w 250 H) dengan meletakkan al-Shufi dibelakang namanya, sebagaimana dikatakan oleh Nicholson bahwa sebelum Abu Hasyim Al-Kufy telah ada ahli yang mendahuluinya dalam zuhud, wara, tawakkal, dan dalam mahabbah. Akan tetapi dia adalah yang pertama kali diberi nama al-Shufi (R.A. Nicholson, 1969).
Secara etimologis, para ahli berselisih pendapat tentang asal kata tasawuf. Sebagian mengatakan bahwa kata tasawuf berasal dari “shuffah” yang berarti emper masjid Nabawi yang didiami sahabat Anshor, ada pula yang mengatakan berasal dari kata “shaf” yang berarti barisan, seterusnya ada yang mengatakan berasal dari “shafa” yang berarti bersih atau jernih. Dan masih ada lagi yang mengatakan beradal dari kata “shufanah” yakni nama kayu yang bertahan tumbuh dipandang pasir. Namun kebanyakan pendapat mengatakan bahwa kata tasawuf berasal dari “shuf” (bulu domba) selanjutnya orang yang berpakaian bulu domba disebut mutashawwif dan perilakunya disebut tasawuf. Tetapi yang dimaksud bulu bulu domba di sini bukanlah dalam pengertian modern, yaitu pakaian bergensi yang hanya dipakai oleh orang-orang kaya, melainkan kain kasar yang ipakai oleh orang-orang miskin di Timur Tengah pada zaman dahulu orang-orang shufi ingin hidup sederhana dan menjauhi keduniaan, sehingga mereka hidup sebagai orang-orang miskin dengan memakai kain kasar tersebut.
Tasawuf juga diartikan sebagai cara untuk mencapai ma’rifat, untuk mencapai pengetahuan bukan hanya diperoleh melalui belajar atau lewat pemikiran saja, ada pengetahuan yang langsung diberikan oleh Allah, orang sering menyebut pengetahuan ini sebagai ilmu laduni.
4.   Kelahiran Tasawuf
Secara historis, orang yang tercatat menggunakan istilah tasawuf, dalam hal ini kata “shufi” adalah seorang zabid (ascetic) bernama Abu Hasyim al-Kufi dari Irak (w 150 H). Maka seolah-olah mistisme dalam Islam adalah muncul kemudian dan bukan bersamaan dengan lahirnya Islam itu sendiri. Anggapan ini lebih tajam lagi jika dikaitkan dengan munculnya anggapan bahwa lahirnya tasawuf (sufisme) itu merupakan perpaduan dari berbagai unsur ajaran agama dan bukan murni ajaran Islam. tapi menurut keyakinan sebagian besar orang, kelahiran tasawuf atau sufisme dalam Islam adalah murni bersumber dari ajaran Islam itu sendiri. Hal ini mengingat banyaknya isyarat yang tersirat atau bahkan tersurat dalam Al-Qur'an dan al-hadits sebagai sumber pokok rujukan Islam. Di dalam Al-Qur'an sendiri terdapat ayat-ayat yang mengatakan bahwa manusia sangat dekat dengan Tuhan-Nya, seperti tersurat dalam firman Allah SWT:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ (البقرة: 186)
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo`a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

Selain ayat-ayat Al-Qur'an, dalam al-hadits juga dapat ditemukan tentang isyarat atau bahkan petunjuk yang jelas tentang ajaran bagi sufisme. Dalam suatu kesempatan antara lain Rasulullah SAW bersabda:
من عرف نفسه فقد عرف ربه
“Barang siapa yang mengenali dirinya, niscaya ia akan mengenali Tuhan-Nya” (al-Hadits).

Hadits ini menunjukkan bahwa manusia dengan Tuhan sangat dekat, bahkan menyatu, untuk mengetahui Tuhannya, orang tak perlu pergi jauh, melainkan mengenali dirinya sendiri. Dengan mengenali dirinya, ia akan mengenali Tuhannya.
Namun demikian, bukan berarti kedekatan yang disebut-sebut di atas itu adalah kedekatan otomatis tanpa ikhtiar manusia. adapun cara atau ikhtiar manusia dalam rangka mendekatkan kepada Tuhan-Nya, antara lain ialah dengan memperbanyak amal Sunnah. Sehingga apabila Tuhan telah mencintai seorang hamba lantaran senantiasa memperbanyak amal dengan menambah amal-amal tambahan berupa amal Sunnah, maka apa yang diperbuat manusia tadi akan menunjukkan perbuatan manusia. Manusia menjadi dekat dengan Tuhan-Nya, karena berikhtiar secara sungguh-sungguh untuk mendekat-Nya sepenuh usaha. 

5.      Tasawuf dalam Al-Qur'an Dan Sunnah
Ada orang yang dengan segera mengatakan bahwa tasawuf tidak ada dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Oleh karena itu, tasawuf adalah bid’ah, memang benar, kita tidak akan menemukan satu kata tashawwuf pun dalam Al-Qur'an. Demikian pula halnya dalam Sunnah boleh jadi, tasawuf muncul kira-kira 5-60 tahun sesudah Rasulullah SAW meninggal dunia.
Memang, kata tasawuf sampai sekarang masih diperdebatkan asal-usulnya. Ada yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata shuf, yang berarti bulu domba. Kabarnya Nabi SAW pernah bersabda: “Hendaknya kalian memakai baju bulu (wol) agar kalian mendapatkan manisnya iman dalam hati kalian”.
 Dalam perkembangan selanjutnya, kata tersebut mengandung makna baru. Tasawuf biasanya sering dikaitkan dengan tiga pengertian. Pertama, tasawuf sering dipahami sebagai serangkaian  akhlak atau adab yang harus dijalankan manusia ketika ingin mendekati Allah. artinya, kalau kita ingin mendekati Allah, maka akhlak yang harus kita lakukan disebut tasawuf. Tasawuf juga diartikan sebagai cara untuk mencapai ma’rifat, untuk mencapai pengetahuan. Dalam kaitannya dengan filsafat, tasawuf bisa disebut sebagai madzab etika, karena ada kaitannya dengan upaya pengetahuan nilai baik dan buruk.
Dengan demikian, tasawuf adalah sebuah pandangan tentang dunia yang berpusat pada Dia saja dan tidak lagi tenggelam pada yang bukan Dia. Tasawuf adalah pandangan tentang hakikat, tentang realitas.

6.      Para Tokoh Tasawuf (Sufistik)
Diantara sekian tokoh sufistik yang sangat menonjol dan perlu diketengahkan dalam pembicaraan lebih lanjut, yaitu tokoh-tokoh besar seperti:
a)      Syekh Abdul Qodir Al-Jailani
b)      Al-Ghazali
c)      Al-Jili
d)      Rabi’ah Al-Adawiyah
e)      Ibnu ‘Arabi
f)        Al-Hallaj
a)      Syekh Abdul Qodir Al-Jailani
Nama lengkap tokoh yang satu ini adalah Sayyid Muhyiddin Abdul Qodir Bin Sayyid Musa Bin Sayyid Yahya Al-Muzahid. Beliau dilahirkan di Naif Kasawan Jailan atau Jillan, Persia pada bulan Ramadhan 470 H/1077 M. maka dari nama kawasan tempaty beliau dilahirkan itulah kemudian nama beliau selalu dinisbatkan. Sehingga dibelakang namanya, biasa disebutkan nama nisbat “Al-Jaillani” atau “Al-Jillani”.[12]
Secara kecil, Al-Jailani dikenal sangat pendiam dan berakhlak luhur, gemar merenung, bertafakur, dan sejak belajar menggandrungi dunia sufistik. Maka sejak usianya menginjak remaja, tepatnya sejak berusia 18 tahun, tampak menonjol akan keharusannya menggeluti ilmu pengetahuan keislaman dan ilmu tasawuf.
Baru di usianya yang ke 41, yakni pada tahun 521 H, Al-Jailani mendirikan perguruan (madrasah) untuk mendidik generasi muda dan masyarakat dan berkat kepandaiannya mendidik para murid (santri) dan ajarannya yang memang sangat dibutuhkan masyarakat luas, maka berduyun-duyunlah orang datang ke madrasah untuk berguru kepada beliau.
Setelah berpuluh-puluh tahun Al-Jailani mendidik dan membimbing para murid, jadilah murid-murid beliau terikat dan mengkoordinir diri dalam sebuah institusi yang bertujuan menambah ruh keislaman yang benar dan meluruskan amaliyah-islamiyah bagi segenap anggota dan masyarakat luas. Institusi itu kemudian dikenal dengan tarekat dengan nama tarekat qodariyah.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani memanglah bukan sekedar tokoh shufi belaka. Beliau di kagumi kebesaranya oleh banyak kalangan. Para orang tua pun tidak sedikit yang kemudian gemar menceritakan perihal beliau kepada anak-anaknya. Dan hampir di setiap prosesi ritual tradisional khususnya, nama besar beliau senantiasa di sebut- dan dibacakan surat Al-Fatihah yang pahalanya di rujukan kepada beliau. Ini menunjukkan adanya kekeramatan yang besar pada diri beliau.
b)      Al- Ghazali
Nama lengkap al-Ghozali adalah Abu Hamid Muhamad Bin Muhammad Bin Muhammad Al-Ghazali, lahir di kota Gazaleh dekat kota Thus, propinsi Khurasan, Persia (Iran) pada tahun 450 H/1059 M. ia mempunyai putra pertama bernama Hamid, sehingga dikenal dengan nama Abu Hamid.[13]
Sewaktu mudanya, al-Ghazali belajar di Nisapur (Nisabur) dan juga di Khurasan, dua kota pusat ilmu pengetahuan yang penting di dunia Islam kala itu. Ia berguru kepada Imam al-Haramain al-Juwaini, seorang guru besar di madrasah al-Nidzamiyah di Nisapur, dengan bidang studi teologi, hukum Islam, filsafat, logika, sufisme dan ilmu-ilmu alam. Dan pada tahun 1091 M, al-Ghazali diangkat menjadi guru di madrasah al-Nidzamiyah cabang Bagdad.
Pada tahun 499 H/1104 M, al-Ghazali mengakhiri pertualangannya dan kembali ke tanah kelahirannya di Nisapur bersamaan dengan panggilan perdana menteri Fakhir al-Mulk. Di tempat kelahirannya kota ia diserahi jabatan rektor perguruan tinggi Nisapur oleh Fakhr al-Mulk semenjak tahun 500 H/1105 M. sementara itu, ia pun mendirikan madrasah fikih di kota kelahirannya Thus dan didirikan pula sebuah khanaqah (asrama) khusus untuk membimbing tasawuf kepada para murid.
c)      Al-Jili
Nama lengkapnya al-Jili ialah Abdul Karim Bin Ibrahim Al-Jili. Ia lahir di Jili atau Jilan (gilan) di kawasan Selatan Kaspra, masuk wilayah Bagdad, pada tahun 767 H/1365 M. al-Jili kecil telah tampak kecenderungan pada dunia sufistik. Terlebih lagi setelah ia berguru kepada Syekh Syarafuddin Ismail bin Ibrahim al-Jabarti di kota Zabid, Yaman. Ia mulai tekun mendalami tasawuf dan sangat mengagumi pemikiran (ajaran) Ibnu ‘Arabi dan Jalaluddin Al-Rumi.[14]
d)      Rabi’ah Al-Adawiyah
Ia adalah seorang wanita yang lahir dari keluarga sederhana pada tahun 96 H di kota Basrah, Irak. Bahkan sering sederhananya ia sempat hidup sebagai penghambat atau budak wanita. Namun, kemudian dikemerdekaan, dalam sejarah banyak disebut-sebut, beliau pernah dicintai oleh seorang yang sama-sama menekuni kehidupan sufistik yakni Syekh Hasan Bashri yang hidup pada tahun 21-110 H. kisah yang demikian diantaranya dituturkan oleh Syekh al-Khubawi dalam kitabnya Durrah An-Nashihin Fi Al-Wa’dhi Wa Al-Irejad, pada halaman 22.[15]
e)      Ibnu Arabi
Mempunyai nama lengkap Abu Bakr Ibnu ‘Ali Muhyiddin Al-Hatimi Al-Tha’i Al-Andalusia. Ada pula yang menyebutkan bahwa nama aslinya ialah Muhammad bin Ali Ahmad bin Abdullah. Sedangkan nama Abu Bakr Ibnu Ali Muhyiddin atau Al-Hattim hanyalah nama gelar baginya. Selanjutnya, populer dengan nama Ibnu ‘Arabi atau Ibnu al-‘Arabi. Beliau dilahirkan di Murera, Spanyol (Andalusia) tenggara pada tanggal 11 Ramadhan 560 H bertepatan dengan 28 Juli 1165 M.[16]
Pendidikan keagamaan Ibnu ‘Arabi diawali dtempat kelahirannya, Murera, kepada dua orang guru suci (Zwanita Kudus). Seorang diantaranya bernama Fathimah dari Cordoba, pada usianya yang sangat beliau, 8 tahun ia telah merantau ke Irsabon untuk belajar membaca al-Qur'an dan mempelajari hukum Islam kepada Syekh Abu Bakar bin Khaaf.
Pada tahun 597 H/1201 M, Ibnu ‘Arabi menyempatkan melakukan ibadah haji ke Mekkah, hal ini menurut Afifi, dilakukan selain sebagai kebiasaan bagi kebanyakan orang sholeh, juga didorong oleh kondisi keamanan Spanyol dan wilayah Barat pada umumnya yang merupakan pusat kekacauan politik.
f)        Al-Hallaj
Nama lengkap Al-Hllaj ialah Abu Al-Mughts Al-Husain Bin Manshur Lain Muhammad Al-Baidawi. Ia lahir di kampung Tur dekat Bagdad bagian Selatan Persia. Pada tahun 244 H/ 858 M. nenek moyangnya, Muhammad, semula adalah penyembah api, pemeluk agama Majusi kemudian masuk Islam. dan ganeologis al-hallaj ada yang mengatakan masih keturunan Abu ayyub sahabat Rasulullah SAW.[17]
Sejak kecil, Al-Hallaj telah bergaul dengan para shufi terkenal, mulai usia 16 tahun ia berguru kepada tokoh shufi abad ke-3, yakni Sahl Bin Abdullah Al-Tusturi, selama dua tahun ia belajar kepada Al-Tusturi dengan latihan-latihan yang berat. Kemudian pergi ke Basrah (Irak), lalu ke Bagdad ia pernah hidup sebagai pertapa bersama guru sufinya Al-Tusturi, Amr Al-Makki, dan Junaid Al-Bagdadi pada waktu 873 -879 M.
Setelah itu, Al-Hallaj mengembara dari satu negara ke negara lain untuk menambah pengetahuan dan pengalaman di bidang tasawuf. Dari hasil pengembaraannya itu. Al-Hallaj kemudian menemukan pandangan hidupnya sendiri yang berbeda dari para guru shufi yang dimintai fatwanya. Sehingga pada usia 53 tahun, ia ramai menjadi pembicaraan para ulama, terutama karena pandangan sufistiknya yang dinilai membahayakan. Bahkan ulama fikih terkenal, Ibnu Daud al-Isfahani mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa ajaran mistik Al-Hallaj adalah ajaran sesat.
g)      Jalaluddin Al-Rumi
Mempunyai nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi. Ia dilahirkan di Balkh kawasan Persia pada tahun 604 H/1217 M. dan meninggal pada tahun 672 H/1273 M.
Beliau mempunyai pemikiran-pemikiran sufistik yang lebih bersinggungan dengan rasio, sehingga tokoh ini sangat cocok kami angkat pada bagian terakhir karena ajarannya dalam dunia sufistik lebih bisa diterima oleh akal.
Dia juga dikenal sebagai pembaharu di dunia ilmu kalam, dan juga pendiri tarekat maulawiyah, sedangkan ajaran-ajarannya yang terkenal adalah meliputi cinta tentang manusia dan ikhtiar tentang alam dan penciptaan, tentang kenabian dan pandangan yang lainnya. 

Daftar Pustaka

1.      Louis Ma’luf, “Al Munjid”, Al Maktabah Al Katulikiyah, Beirut, 1961.
2.      Asmaran, AS, “Pengantar Study Akhlak”, Raja Grafindo Persada, 1994.
3.      Soeegarda, Poerbakawtja, “Ensiklopedi penidikan”, Gunung Agung, Jakarta.
4.      Ibrohim, Anis, “al Mu’jam al Wasith”, Dar al-Ma’rifah, Cairo. 1972
5.      Ahmad, Amin,  “Kitab al-Akhlak”, Dar al-Kutub al-Misriyah, Cairo,tt.
6.      Ahmad, Mustofa, “Akhlak Tasawuf”, Pustaka Setia, Bandung, 1999.
7.      Jame, Hastings (ed), The Scope of Ethics, “Encyclopedia of Religion and Ethics”,vol 5, Charless   Scribnerrs Sons, New York, tentu.
8.      Muhd, al-Ghozali, “Khulik al-Muslim”, Darul Bayan, Kuwait, 1970.
9.      Mansur, Ali Rajab, “Ta’ammulat fi Falsafah al-Akhlak”, Maktabah al-Anjalu al Misriyah, Cairo, 1961.
10. K.h. noor iskandar al-barsangny, dr. tasawuf tarekat para shufi, Jakarta: sri gunting, 2001. 

[1] Louis Ma’luf, “Al Munjid”, Al Maktabah Al Katulikiyah, Beirut, 1961. hal 9
[2] Asmaran, AS, “Pengantar Study Akhlak”, Raja Grafindo Persada, 1994. hal 5
[3] Soeegarda, Poerbakawtja, “Ensiklopedi pendidikan”, Gunung Agung, Jakarta. hal 9
[4] Ibrohim, Anis, “al Mu’jam al Wasith”, Dar al-Ma’rifah, Cairo. 1972
[5] Ahmad, Amin,  “Kitab al-Akhlak”, Dar al-Kutub al-Misriyah, Cairo,tt. Hal 15
[6] Ahmad, Mustofa, “Akhlak Tasawuf”, Pustaka Setia, Bandung, 1999. hal 14
[7]  ibid, hal 15
[8]  Ahmad, Amin, Opcit hal 15
[9] Jame, Hastings (ed), The Scope of Ethics, “Encyclopedia of Religion and Ethics”,vol 5, Charless   Scribnerrs Sons, New York, tt, hal 414.
[10] Muhd, al-Ghozali, “Khulik al-Muslim”, Darul Bayan, Kuwait, 1970.
[11] Mansur, Ali Rajab, “Ta’ammulat fi Falsafah al-Akhlak”, Maktabah al-Anjalu al-Misriyah, Cairo, 1961. hal 15
[12] K.H. noor iskandar al-barsangny, dr. tasawuf tarekat para shufi, Jakarta: sri gunting, 2001, h. 104
[13] Ibid hal 122
[14] Ibid hal131
[15] Ibid hal 142
[16] Ibid hal 153
[17] Ibid hal 171